Lawan Bersua, Pantang Mengelak

Catatan Hari Kedua Lapuak-lapuak Dikajangi #2

Selasa, 16 Oktober 2018 menjadi hari yang tidak bisa dilupakan oleh para partisipan Lapuak Lapuak Dikajangi (LLD) #2 beserta rekan-rekan Komunitas Gubuak Kopi. Pagi hari itu menjadi pagi yang sangat melelahkan untuk bangun, disebabkan pada dini hari sekitar jam 3, para partisipan dan penghuni kamar di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Solok, dibangunkan oleh kehadiran maling yang kepergok memasuki salah satu kamar dari partisipan LLD #2, sontak membangunkan orang seisi SKB dan berhamburan berlari mengejar maling tersebut. Karenakan bangun dalam posisi terkejut para partisipan dan rekan-rekan Gubuak Kopi yang ikut mengejar masih sedikit kebingungan mencari ke mana arah maling itu lari.

Sambil berteriak “itu nyo a” (itu dia), teriak Albert berlari menuju keluar gedung bersama para partisipan dan rekan-rekan lainya.

Semua yang terbangun ikut mengejar, tapi maling itu berhasil kabur, karena di depan Gedung SKB Kota Solok ada teman si maling menunggu dengan motor. Mereka berhasil membawa 3 telepon genggam dan salah satunya milik Joe Datuak.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula, bukan malingnya yang didapat. Malam itu Albert terjatuh saat mengejar maling tersebut, alhasil lukanya cukup dalam, di kedua lutut dan telapak tangan sampai celana panjangnya robek. Untung saja ada kak Dewi, partisipan dari Pekanbaru Riau. Layaknya seorang dokter dadakan, Kak Dewi sangat sigap menangani luka pada lutut dan telapak tangan Albert.

Sembari Kak Dewi membersihkan luka bang Albert, Joe Datuak yang seharusnya sedih karena telepon genggamnya dibawa kabur maling tapi masi tetap humoris “waih, ko ba-operasi kaki mah bet” (wah, ini harus dioperasi loh, bert), sambil memasang lampu bersama saya untuk menerangi Kak Dewi yang tengah membersihkan luka bang Albert. Sementara Volta dan Hafiz mencari beberapa obat dan perlengkapan medis yang belum kami punya.

Kejadian ini tidak menjadi hambatan untuk melanjutkan kegiatan. Tepat jam 9:30 Joe membangunkan saya, berat sekali rasanya badan digerakkan karena kejadian semalam. Jam 11:00 kurang lebih kegiatan di hari kedua pun dimulai. Sekitar dua jam lebih para partisipan beserta rekan-rekan dari Gubuak Kopi menonton filem Harimau Tjampa (Djayakusuma, 1954). Filem yang juga menghadirkan konstruksi bagaimana adab dalam belajar silek di Minangkabau, serta permasalahan yang dihadapi oleh lakonnya utamanya pada filem tersebut.

Suasana menonton Harimau Tjampa (Djayakusuma, 1954) di SKB Kota Solok

Filem Harimau Tjampa yang berdurasi 97 menit ini merupakan filem Indonesia yang dirilis pada tahun 1953 dan mendapatkan penghargaan di Festival Film Indonesia pada tahun 1955 untuk kategori Skenario terbaik. Filem yang disutradarai oleh D. Djajakusuma ini melibatkan beberapa orang aktor terbaik di antaranya Bambang Hermanto berperan sebagai lakon utamanya yang bernama Lukman, Datuak Langit diperankan oleh Rd Ismail, Nurnaningsih, Titi Savitri, Wahid Chan, dan Malin Marajo. Penulis naskah Nazaruddin Naib Alwi Dahlan. Musik oleh Tjok Sinsoe.

Selesai menonton filem para partisipan dan rekan-rekan dari Gubuak Kopi pun beristirahat dan makan siang. Sebagian ada yang tidur, dan sebagian lagi ada yang ngobrol-ngobrol di luar kamar.

Sore harinya, saya bersama rekan-rekan Gubuk Kopi dan seniman partisipan, ditemani oleh salah seorang pemuda di daerah sekitar SKB Kota Solok, kami pergi bersilaturahmi bersama warga sekitar. Antara lain, Ketua RT, RW, dan pemuda-pemuda di sini. Perjalanan silaturahminya sangat menyenangkan dan lucu, di mana teman kami Palmer dari Amerika menjadi aktor penting dalam rombongan. Hampir setiap tikungan orang-orang memanggilnya.

“Dak dolai lah, jadi anak galeh” (Jadi icon), kata Joe kepada rombongan, dan semua rombongan tertawa mendengarkan.

eh, nanti kalau orang sini tanya, nama kamu siapa dan dari mana, nanti lu jawab, namo ambo Pardi, ambo dari Solok tambah Joe kepada Palmer. Seketika nama Parmer berganti saja menjadi Pardi, Setelah itu setiap orang yang menanyakan nama dan dari mana si Palmer dia selalu jawab “namo ambo Pardi, ambok dari Solok” (Nama saya Pardi, Saya dari Solok), kata palmer, dan orang orangpun tertawa.

Perjalanan berlanjut ke tengah sawah untuk menemui Pak RW yang ternyata pergi menjaga padi dari serangan burung, atau orang di sini bilang “manggaro” (menjaga sawah dari serangan hama seperti burung).

Partisipan sangan menikmati pemandangan di sawah, perlahan berjalan di pematang sawah yang kecil menuju ke pondok tempat Pak RW berada. Sesampainya di pondok Pak RW, para partisipan dan rekan-rekan dari Gubuak Kopi berhenti sejenak. Sembari duduk di pematang sawah Joe membuat Pupuik Batang Padi, semacam alat musik, ia dibuat dari ruas batang padi. Para partisipan memperhatikan Joe yang memaikan Pupuik Batang Padi, dan ikut mencoba pula. Menjelang senja rombongan pun bergerak menuju SKB.

Setalah sampai di SKB rombongan pun beristirahat sejenak. Sekitar jam setengah sembilan Buya Khairani pun datang. Beliau langsung saja melebur bersama para partisipan dan rekan-rekan dari Gubuak Kopi di halaman depan kamar para partisipan. Diskusi dan bercerita pun disambung di ruangan bersama Buya Khairani yang malam itu menjadi pemateri. Tema diskusi kali ini yaitu “Mendalami Bela Diri Silat atau Pencak Silat”.

Buya Khairani adalah salah seorang tokoh adat di Solok. Ia juga aktif memberi petuah-petuah adat di  beberapa radio di Solok. Buya Khairani pun memulai diskusi. Di sini beliau banyak memaparkan fakta sejarah tentang silek, dan apa itu silek.

Silek itu dibagi dua di antaranya pencak dan laga”, tutur Buya Kharani. Lanjutnya “kalau pencak itu biasanya untuk pementasan atau lebih mengkaji estetikanya, sedangkan laga lebih mengkaji substansi atau kemampuan si pesilat itu tadi”.

Merujuk pada pengertian silek menurut Buya Khairani silek itu berasal dari kata silah yang berarti melangkah atau langkah, atau bisa juga diartikan sebagai silaturahim dan kekerabatan. “kalau urang minang ko harus pandai basilek, silek tu bukan hanyo jo gerakan, tapi ado nanjo lidah, aaa.. tu silek lidah namonyo” (Kalau orang minang itu harus pandai bersilat, silat itu bukan hanya gerakan, tapi ada juga dengan lidah, nah itu silek lidah namanya), ujar beliau. Menurut Buya Khairani para perantauan Minang itu harus tahu dengan nan ampek (yang empat), dan harus pandai dalam empat hal juga, di antaranya; Pandai Mamasak artinya orang minang di perantauan tidak boleh hilang akal untuk makan dan mencari makan, harus tahu halal dan haram, yang kedua Pandai Manjaik (Pandai Menjahit) artinya harus pandai mengukur keadaan, yang ketiga Pandai Malangkah (Pandai Melangkah), artinya dia harus tau dan mengerti apa yang hendak dikerjakannya, dan yang terakhir Pandai Mangaji (Pandai Mengaji atau mebaca Al-Qur’an), yang mana orang minang itu identik dengan agama.

“meskipun preman di kampung, tidak pernah sholat, tapi kalau di rantau di bisa mangaji dan azan di masjid” (Walaupu dia seorang preman, di kampung tidak sholat, tapi biasanya di rantau dia mengaji dan adzan di mesjid), jawab Buya Khairani. Empat  hal tersebut merupakan modal utama untuk orang Minang pergi ke perantauan.

Dalam diskusi malam itu Buya Khairani juga menceritakan sedikit sejarah tentang asal muasal suku-suku di Minangkabau. Kata Buya ada beberapa gerakan pokok silek di Minangkabau seperti: Simpia (menungkai kaki), Gelek (Bertahan atau mengelak sabil merancang serangan), Dongkak (Terjangan), dan Tapiah (Tepis). Dan beliau juga menjelaskan mengenai aliran silek di setiap daerah di Minangkabau seperti: Sacabiak Kain Kapan dari Tiku Pariaman, Harimau Singalang dari Bukittingi, Ulu Ambek dari Padang Pariaman, Buayo Lalok dari Pesisir Selatan, Silek Darek dari daerah pegunungan daerah Minang Kabau, Silek Kabau Lia dari Sijunjung Sawahlunto.

Buya Khairani juga menjelaskan keterkaitan silek dengan agama dan pituah-pituah adat yang ada di Minangkabau. Seperti “kok lawan pantang dicari, kok basuo pantang dielakkan” (Tidak pernah mencari lawan, tapi kalau datang tidak pernah lari atau menghindar), pituah ini menjelaskan kalau seorang pesilat tidak pernah mencari lawan tapi kalau ketika lawan datang dia tidak akan lari.

“Aso ilang dua tabilang” (satu hilang dua terbilang atau terbaca), maksudnya adalah kalau hilang satu yang dua lagi terbilang atau diketahui, jadi seorang pesilat itu harus bertanggung jawab akan hal yang telah dilakukannya. Sepertinya ketika terjadi perselisihan antara pesilat yang tidak dapat dihindari, dan ketikan salah seorang berhasil melukai atau terkena serangan dari kerisnya, maka hulu dari keris itu yang tercabut dan kerisnya tertinggal. Itu merupakan pertanda atau sebagai bukti bangi seorang pesilat yang telah melakukannya.

Diskusi berjalan sangat menyenangkan karena disetiap materi yang disampaikan Buya Khairani ada saja gurauan yang disampaikannya, dan partisipanpun juga sangat mengerti dengan apa yang disampaikan oleh Buya Khairani. Beliau berharap kepada partisipan dan rekan-rekan Gubuak Kopi agar kelak tetap peduli akan sejarah, seni, dan kebudayaan. Diskusi berakhir dan Buyapun berpamitan untuk pulang.

Hari kedua kegiatan LLD #2 menjadi hari yang menyenangkan dan sekaligus melelahkan, diawali dengan musibah dan diakhiri dengan diskusi dan pembicaraan yang menghibur sekaligus menambah wawasan. Partisipan dan rekan-rekan dari Gubuak Kopi langsung kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat, karena hari ini cukup melelahkan.

Biasa disapa Dayu, lahir di Muaralabuh (1997). Penulis, lulusan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang. Sebelumnya ia aktif berkegiatan di LPM Suara Kampus, Taman Baca Mahasiswa, dan Jarang Comeback, sebuah komunitas baca di kampusnya. Ia memiliki ketertarikan di tulis-menulis. Sebelumnya ia adalah partisipan program Magang Gubuak Kopi 2018, dan kini juga aktif di Komunitas Gubuak Kopi selaku penulis. 2019 ia menjadi kolaborator untuk pameran OE dan Kampung bersama Ladang Rupa di Bukittinggi. Beberapa tulisannya juga dapat ditemui di beberapa media lokal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.