Catatan Penayangan Sinema Pojok: The Life of Oharu (Kenji Mizoguchi, 1952)
Sabtu 18 Juli 2018, seperti biasa Komunitas Gubuak Kopi menghadirkan ruang alternatif pemutaran filem melalui program Sinema Pojok. Malam itu Sinema Pojok memutarkan filem The Life of Oharu karya sutradara asal Jepang Kenji Mizoguchi. Filem yang memiliki durasi 108 menit ini menggambarkan penurunan dan jatuh bangunnya kehidupan seorang wanita bangsawan kecil selama beberapa dekade karena cinta dan keputusan buruk yang membawanya ke dalam kehidupan yang melarat.
Kisah dalam filem dibuka dengan tokoh Oharu Okui (Kinuyo Tanaka) sebagai seorang pelacur berusia lima puluh tahun sedang berada di sebuah kuil. Di sana, ia melihat wajah kekasih pertamanya, Katsunosuke (Toshiro Mifune). Kemudian alur dalam filem mundur beberapa dekade menuju tahun 1686 dan memulai ulang menceritakan kisah dari Oharu muda. Oharu merupakan anak salah seorang samurai yang bekerja pada salah satu ke Kaisaran di Kyoto. Ia bersama kedua orang tuanya mendapatkan hukuman dengan diusir dari Kyoto setelah Oharu dianggap melakukan pelanggaran karena menjalin hubungan dengan seseorang dari golongan pelayan yaitu Katsunosuke.
Ayah Oharu yang mengerikan memarahinya dan ibunya tidak dapat membantu banyak. Oharu sempat berpikir untuk bunuh diri karena mendapatkan berita Katsunosuke dijatuhi hukuman penggal, namun usahanya gagal setelah dicegah oleh ibunya.
Berawal dari kisah cinta beda kasta sepasang manusia, kemelaratan Oharu terjadi seperti tiada ampun baginya. Oharu dianggap sangat berdosa oleh ayahnya dan dijual untuk menjadi selir yang akan memberikan seorang keturunan laki-laki bagi kerajaan dengan 100 keping emas sebagai bentuk pengampunan dosa kepada keluarganya.
Setelah melahirkan seorang anak, Oharu harus menerima takdir untuk dipulangkan pada kedua orang tuanya kembali. Bukan tanpa alasan, Ia dianggap membahayakan pangeran karena kesehatannya yang tidak baik. Oleh ayahnya, Oharu dipekerjakan pada sebuah rumah bordir (prostitusi), seperti tidak ada pilihan lain bagi ayahnya untuk menutupi hutang-hutang yang terlanjur dibuat karena yakin Oharu akan mengiriminya uang setelah menjadi selir di kerajaan. Namun kenyataannya bertolak belakang, Oharu dipulangkan, semua kayakinan ayahnya sirna.
Melihat sejauh narasi yang saya coba ringkaskan ini, akan terasa sesak dan menguras emosi bila membayangkannya, bahkan ini belum setengah dari narasi yang ada di dalam filem. Emosi kita digiring pada rasa kesal terhadap keputusan yang tidak adil. Rasanya Kenji Mizoghuci sebagai sutradara berhasil membuat kita yang menonton bergumam kesal dan penuh emosi.
Mizoguchi sebagai seorang sutradara kerap menghasilkan filem-filem dengan tema yang bersimpati kepada situasi perempuan yang kurang beruntung dalam masyarakat Jepang. Saya pernah membaca sebuah artikel tentang Mizoghuci yang menyebutkan bahwa ia pernah bekerja dan berada diantara masyarakat dengan keadaan sekitar yang membatasi ruang bagi perempuan.[1] Hal ini yang kemudian mempengaruhi karya-karya salah satu sutradara terbaik Jepang itu dengan banyak manaruh perhatian pada situasi perempuan Jepang yang kurang beruntung.
Namun, The Life of Oharu dihadirkan berbeda oleh Mizoghuci. Kita banyak melihat bahwa karya-karya filem dengan tema perempuan (feminim) sering dihadirkan melihat dari sudut pandang kehebatan-kehebatan perempuan. Lain hal pada The Life of Oharu, saya hampir tidak mendapatkan narasi yang bercerita tentang keberuntungan yang berpihak pada Oharu, melainkan hanya kesalahan-kesalahan yang saling terangkai untuk menceritakan ketidak beruntungan seorang perempuan Jepang.
The Life of Oharu, oleh Mizoghuci, saya kira mengisyaratkan kita untuk dapat melihat narasi-narasi yang digambarkan dengan berbagai macam perspektif. Oharu dihadirkan sebagai subjek yang mengantarkan kita sebagai penonton untuk dapat melihat bagaimana situasi yang ada saat itu ke dalam beberapa perspektif.
Misalnya, filem ini hanya dilihat sebagai rangkaian kemelaratan dan bencana yang tidak ada hentinya serta melelahkan bagi Oharu. Meskipun demikian, gambaran lain dari filem ini tidak hanya tentang kemelaratan Oharu semata. Kita dapat melihat kelemahan moral yang ada di masyarakat sekitar Oharu masa itu. Tentang bagaimana perlakuan tidak baik dari ayahnya, pihak kerajaan yang membuangnya setelah mendapatkan apa yang diinginkan, hingga Jihei pemilik toko yang kemudian menidurinya setelah mengetahui masa lalu Oharu dan menghianati istrinya sendiri. Tidak sampai di situ saja, Istri pangeran kerajaan juga membenci Oharu, sementara ibunya beberapa kali mendukung keputusan ayahnya yang terbilang meremehkan Oharu. Bahkan seorang biarawati pun tidak memiliki simpati yang cukup kepada Oharu. Melihat karya The Life of Oharu rasanya Mizoghuci sangat berhasil mempresentasikan ini kepada dunia sebagai karya terbaiknya dari beberapa karya pamungkas Mizoghuci sebelum ia meninggal tahun 1956.
Saya teringat salah satu pemaparan yang disampaikan oleh Delva Rahman ketika kami berdiskusi setelah penayangan filem ini pada program Sinema Pojok. Delva Rahman yang juga merupakan pengurus program Sinema Pojok mengatakan bahwa, The Life of Oharu sebelumnya juga sempat dikritisi oleh beberapa kelompok di Jepang, ia dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan Jepang masa itu. Namun, filem ini justru mendapatkan apresiasi bagus dan diakui oleh kritikus-kritikus filem internasional serta memenangkan sejumlah penghargaan.
[1] http://biography.yourdictionary.com/kenji-mizoguchi