Perkenalan dengan Lombok Utara

Catatan residensi di Lombok Utara #1

Bagi saya perkenalan dengan Lombok Utara telah berlangsung sejak 2013 lalu. Saat itu saya bersama beberapa kawan terlibat dalam program AKUMASSA Bernas yang digagas oleh Forum Lenteng di Cisarua, Bogor. Di sana saya bertemu dengan Sibawaihi, salah seorang pegiat di Komunitas Pasir Putih dari Lombok Utara. Dalam proyek tersebut antara lain kita mengembangkan sebuah model pencatatan yang bernas dengan metode jurnalisme warga, dalam membicarakan isu-isu yang ada di sekitar kita. Proyek ini pula yang menjadi cikal bakal buku pertama saya, Sore Kelabu di Selatan Singkarak yang kemudian diterbitkan oleh Forum Lenteng (2018). Sibawahi sebagai salah seorang partisipan proyek ini menjabarkan ragam persoalan yang tengah ia dan organisasinya amati. Sejak itu saya selalu memantau tulisan-tulisanya di AKUMASSA dan media yang dikelola organisasinya.

Lombok Utara, adalah sebuah kabupaten yang baru dimekarkan dari utara Kabupaten Lombok Barat sepuluh tahun lalu. Ia adalah salah satu gerbang utama menuju Tiga Gili (Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan) yang menjadi situs wisata populer di Lombok. Ratusan wisatawan dunia dan nasional datang hampir setiap hari, yang mau tau tak mau saya kira mempengaruhi pula perkembangan budaya di Lombok Utara ini. Pengaruh itu barangkali tidak sesederhana pertukaran budaya saja, barangkali juga termasuk bagaimana masyarakat beralih profesi ataupun menyikapi pariwisata itu.

 

Ketertarikan saya untuk menjalankan riset dan residensi di daerah ini, tak lain juga membawa kepentingan untuk kampung saya, Sumatera Barat. Ada beberapa kesamaan antara dua wilayah ini, yang tentunya juga tidak persis, seperti daerah yang digadang-gadang oleh pemerintahnya sebagai tujuan daerah wisata dunia, wisata halal, serta latar belakang budayanya yang juga dikenal sangat agamis.

Perkenalan fisik saya dengan Lombok Utara, baru dimulai pada 2 Juli 2018, lalu. Dari pesawat saya melihat topografi alam pun tidak jauh berbeda dengan Sumatera Barat: Perbukitan, dataran tinggi dan rendah, banyak pohon kelapa, dan sawah. Barangkali saya mendeteksi ini karena persepsi awal saya yang sudah memulainya dengan melihat kesamaan tadi. Tapi pada dasarnya, kedatangan saya kesini tentunya untuk mempelajari banyak hal yang saya harap juga dapat memperkaya bagasi saya dalam membingkai dan mengkritisi persoalan kebudayaan di Sumatera Barat. Tapi sebenarnya keadaan alamnya tidak begitu sama, mungkin tidak se-lembab Sumatera Barat.

Awal tahun 2018 lalu, Sibawaihi mengundang saya untuk mengikuti residensi yang ia kuratori melalui festival yang dikelola organisasinya, yakni, Festival Bangsal Manggawe. Sebuah perhelatan seni yang menjembatani kolaborasi antara seniman dan warga, sebagai upaya untuk merevitalisasi nilai-nilai dan memperkuat identitas kebudayaan di Lombok Utara, atau sebenarnya untuk menemukan identitas baru. Sayang sekali, festival itu harus ditunda karena beberapa pertimbangan, dan beruntung saya mendapat kesempatan mengikuti residensi penulis yang digagas oleh Komite Buku Nasional dan program beasiswa unggulan, di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan kebudayaan. Saya memutuskan untuk segera melakukan riset dan residensi di sana, karena memang, di jadwal Bangsal Menggawe direncanakan saya harus menjalankan agenda lain bersama Gubuak Kopi.

***

Bertemu beberapa anggota Pasirputih di malam pertama.

Menjelang Magrib berkumandang, saya sampai di Bandara Internasional Lombok. Dari Bandara, menggunakan travel, saya langsung menuju Pasirputih, di Pemenang, Lombok Utara. Saya tidak tahu persis jalannya, saya membiarkan Siba langsung mengatakannya pada sopir travel. Pak Sopir, bercerita sejumlah kisah yang ia keluhkan malam itu. Mulai dari kisah kecemburuan istrinya dengan profesi yang membuat ia selalu bertemu dengan wisatawan cantik, kecemburuan karena ia suka memutar video klip Goyang Nasi Padang, istrinya yang ingin jadi TKW ke Arab, penolakannya sistem agen travel, hingga persoalan politik nasional.

Pak Sopir adalah salah seorang dari sekian banyak warga di Lombok yang mengambil peruntungan dalam ekosistem bisnis pariwisata. Tidak sedikit tetangga-tetangganya yang meninggalkan pekerjaan nelayan dan petani untuk menjadi bagian dari bisnis pariwisata ini. Ia sendiri dulunya seorang nelayan, dan beruntung istri keduanya memodali untuk menjadi sopir travel. Walau kemudian ia mulai risih dengan kecemburuan istrinya pada tamu-tamu, dan bahkan pada video klip nasi Goyang Nasi Padang. Karena memang, kata Pak Sopir, istri kedua ini adalah selingkuhannya waktu ia masih menjadi sopir travel mobil orang lain. Tapi nggak usah terlalu serius soal ini.

Seperti yang dinarasikan Pak Sopir, kemudian juga saya temui di lapangan, Lombok saat ini adalah Lombok yang tengah bertransisi menjadi Lombok yang baru. Berbarengan dengan peralihan profesi yang cukup masive ini sejak awal 2000-an, turut beralih pula kebudayaannya, termasuk di antaranya pola-pola sistem sosial dan arah kebijakannya. Seperti yang terjadi di Sumatera Barat, ataupun Lombok Utara khususnya, tidak jarang kita temui tradisi ataupun kebudayaan lokal hanya digadang-gadang sebagai objek visual semata, untuk daya tarik wisata, yang di belakangnya telah luntur nilai-nilai, proses, dan hanya kemasan eksotisme semata. Namun, dari yang saya temui, perubahan ini tak lantas diamini begitu saja, didampingi oleh kawan-kawan Pasirputih, saya bertemu dengan berbagai tokoh dan inisiatif warga yang berusaha membentengi agar perubahan-perubahan dibarengi dengan sikap kritis, menyadari sejarah dan kearifan lokalnya, tanpa memusuhi kesadaran untuk tetap maju dan berkembang.

Komunitas Pasir Putih adalah salah satu lembaga non-profit yang bergerak dalam bidang literasi media yang aktif mengkaji isu-isu media dan kebudayaan di Lombok Utara. Selain itu mereka juga mengembangkan upaya memediasi nilai-nilai kebudayaan lokal yang relevan dalam bentuk-bentuk nan lebih segar. Komunitas yang dikelola oleh beberapa orang pemuda Lombok ini menelurkan beberapa program berbasis literasi media dan festival. Beruntung saya dapat mengikuti beberapa programnya.

Kiri-kanan: Mitarja, salah seorang tokoh pemuda Pemenang Barat bersama Muhammad Gozali, Direktur Yayasan Pasirputih.

Selama dua bulan ke depan saya akan didampingi oleh Muhammad Gozali dalam menyimak persoalan menarik di Lombok Utara khususnya. Ia adalah salah seorang pegiat di Pasir Putih, dan kebetulan secara organisasi menjabat sebagai Ketua, seorang pegiat teater, yang juga sangat dikenal oleh banyak warga Lombok Utara sebagai Amaq Dahrun, nama salah satu peran yang pernah ia mainkan dalam filem lokal “Mendung di Wajah Kampung” (2016). Filem yang disutradarai oleh Imam Safwan ini kemudian tersebar hampir di setiap pelosok Lombok. Bekeliling dengannya, selalu disahuti banyak orang, walaupun filem itu sudah dipublikkan beberapa tahun lalu. Senang rasanya berkenalan dengan selebriti rendah hati ini.

***

Tempat yang pertama kali saya kunjungi selain markas Pasirputih adalah Bangsal. Sekitar 5 menit dari markas, ke arah utara. Di sana terdapat sebuah pelabuhan kecil yang menjadi pintu keluar masuk wisatawan dari berbagai belahan dunia. Saya ditemani oleh Gozali dan Sibawahi, tepat pula waktu itu, kedatangan kami berbarengan dengan kedatangan sebuah fast boat yang mengantar ratusan wisatawan dari Bali yang hendak transit menuju tiga pulau kecil (gili) favorit, Gili Meno, Gili Air, dan Gili Tawangan. Di pesisir ada pula perahu kayu yang cukup memuat sampai 40 penumpang, dan jumlah mereka ada puluhan.

Di lokasi itu pula pernah Pasirputih menyelenggarakan Bangsal Menggawe, yang kemudian bagi saya adalah tempat bersejarah bagi masyarakat Lombok Utara,  tempat warga sejenak merayakan pantainya.

Lo minimal sekali harus mandi di sini Bert, biar lu direstui Pemenang.” Kata Gozali, mengeluarkan ekspresi serius ala teaternya.

“Iya, tidak afdhal kalau ke Pemenang, tapi tidak mandi di Bangsal.” Tambah Siba.

Tentu saja saya tidak akan menolaknya, saya suka laut, saya suka berenang. Tapi tentunya ada kisah di Bangsal. Saya sudah baca beberapa tulisan tentang bangsal di website mereka. Sore itu, Siba harus pergi ke Mataram karena ada beberapa hal yang harus ia lakukan. Gozali mengajak saja ke pesisir timur Pelabuhan Bangsal.

“itu namanya meta keke,” kata Gozali, sambil menunjuk seorang ibu jongkok membelakangi laut dan matahari yang menuju tenggelam.

Ibu-ibu ternyata tengah mengambil keke, bahasa lokal menyebut sejenis kerang hitam kecil yang biasa ditemui di batas ombak menyapu pesisir. Ia mengumpulkannya pada gelas air mineral, yang katanya enak kalau dijadikan sup. Menurut Gozali dulunya di lokasi ini banyak sekali warga yang melakukan kegiatan meta keke setiap sore. Anak-anak, remaja, dan ibu-ibu. Tapi semua telah berubah.

Saya melihat sekeliling. Di sebelah ibu itu berjejer perahu kayu untuk mengangkut wisatawan. Di belakang kami terdapat sebuah villa yang cukup besar yang pintunya tidak sampai seratus meter di bibir pantai. Mungkin karena air sedang naik.

Saya merasa akrab dengan lokasi ini.

“Bukan kah di sini, Bangsal Cup yang menjadi bagian dari kegiatan Bangsal Menggawe pertama itu?” tanya saya pada Gozali.

“Ya”

Sore itu  saya dan Gozali melepas matahari pergi sambil menyimak aktivitas bangsal yang sibuk.

***

Selama satu minggu kami habiskan hari mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat dan lokasi-lokasi menarik. Tidak sedikit bibir pantai yang telah dikuasai oleh pemilik hotel atau villa. Bahkan perbukitan yang menghadap ke pantai.

Sebagian besar nelayan telah meleburkan diri dalam ekosistem pariwisata. Sebagian besar telah menggantung jaringnya di belakang rumah. Di beberapa dusun, nelayannya tidak lagi menggelar Nyelamatan Segara, yang biasa mereka kerjakan secara gotong royong itu. Sebuah upacara sederhana oleh para nelayan dan sebagian besar warga untuk mensyukuri hasil laut.

Peradaban terus bergerak, meninggalkan sejumlah kisah yang menarik untuk dibaca kembali, sejauh mana kita telah berubah dan menghadapi zaman ini. Setelah lebih dua minggu menyimak Lombok Utara, belum cukup rasanya melihat banyak bagian dari Lombok Utara. Setelah beberapa hari itu, saya bersama kawan-kawan Komunitas Pasir Putih, bersama-sama mendiskusikan temuan kita dan memperuncingnya untuk dibahas lebih lanjut. Antara lain bagaimana pariwisata ikut mempengaruhi Lombok Utara hari ini, serta bagaimana munculnya sejumlah inisiatif dari organisasi berbasis komunitas dan warga, untuk merespon perkembangan di sekitarnya.

Setelah meruncingkan fokus riset, saya dan Gozali mulai menyusun nama-nama dan lokasi yang harus kita kunjungi. Khususnya untuk menggali kisah, pandangan, dan merasakan atmosphere Lombok Utara yang baru saja berusia 10 tahun ini. Demikian kami menyusun pertualangan berikutnya.

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.