Berbagi Strategi Penguatan Komunitas

Pada Kamis, 10 Mei 2018 lalu, Ruang Kerja Budaya (RKB) menggelau lokakarya bertajuk “Penguatan Lembaga kebudayaan” di Sekretariannya di Balimbing, Kota Padang. Lokakarya yang disajikan dalam suasana berbagi ini antara lain membahas model-model kerja komunitas di Sumatera Barat. RKB mengundang dua orang narasumber, antara lain, Edy Utama, pegiat festival dan pimpinan grup musik kontemporer Talago Buni; serta Albert Rahman Putra, pegiat komunitas dan ketua Gubuak Kopi.

Sore itu kami datang agak terlambat karena hujan yang lebat. Kami berangkat dari Solok menggunakan sepeda motor, kami tidak enak, karena datang hanya menggunakan sendal jepit, sementara sepatu kami kantongi agar tidak basah. Sesampai di sana, kawan-kawan sudah berkumpul dan tuan rumah sudah memulai pengantar. Kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan beberapa komunitas di Kota Padang. Materi langsung dimulai oleh rekan saya Albert. Ia mengawalinya dengan memperkenalkan apa yang kami kerjakan di Gubuak Kopi dan bagaimana ia membangun organisasi ini sejak tahun 2011, yang sempat padam beberapa tahun.

“Generasi saya di sekitar tahun itu, atau setidaknya kita yang masih kurang gaul waktu itu, kehilangan model dalam membangun komunitas ini. Kami hanya meraba-raba sesuai dengan apa yang butuhkan, lalu membaca sejumlah organisasi di luar sana yang mungkin bisa kita adobsi, sampai kita bisa menyusun sendiri,” Albert memberi gambaran.

Pada tahun 2013 Albert diundang untuk terlibat dalam proyek Akumassa Bernas yang digagas oleh Forum Lenteng. Di sana ia berkesempatan membangun jaringan dengan sejumlah organisasi yang juga terlibat dalam program ini, baik itu dari Lombok, Banten, Sukabumi, Surabaya, dan lainnya. Kita saling memantau dan saling berdiskusi walau jarak jauh, katanya. Sambil terus berjalan, jaringan ini terus berkembang, dan semakin banyak kesempatan untuk saling belajar, mengenal scene, serta memperkuat jaringan ini. Namun, tentu kita juga perlu membangun jaringan dalam lingkungan lokal kita. Jaringan, itu adalah modal paling dasar memperkuat organisasi, modal sosial, tegas Albert.

Dalam kesempatan berikutnya Edy Utama menggambarkan pengalamannya mengelola sejumlah festival di Sumatera, dan membesarkan kelompok musik kontemporer Talago Buni. Ada sejumlah strategi yang harus kita bangun untuk ini, ungkap Bung Edy. Kelompok Talago Buni misalnya kehadiran Bung Edy yang bukan musisi menjadi penting untuk membaca selera dan kecendrungan produksi musik kontemporer dunia, dan ia selalu memberi masukan dalam proses kompos musik sehingga Talago Buni diterima dengan senang hati di sejumlah festival internasional.

Setelah menembus kancah Internasional, sekarang sambil jalan, Talago Buni mulai berupaya berkontribusi untuk Minangkabau sendiri. Itu hutang saya pada Minangkabau, katanya. Maka belakangan Talago Buni mulai dipentaskan di kampung-kampung di Sumatera Barat. Selain itu, ia juga mengelola sejumlah festival berskala internasional di Sumatera Barat, di antaranya adalah beberapa nomor Sawahlunto International Music Festival (SIMFest) dan sekarang ia sibuk dengan festival Padang India Ocean Music (PIOM) Festival.

Dalam sesi tanya jawab, Beni pegiat People Lab, bertanya soal bagaimana Gubuak Kopi dan Talago Buni membangun komunitas lokalnya. Dua narasumber ini memparkan hal yang hampir sama. Dalam hal ini, mereka melihat posisi kita atau organisasi adalah mendorong kelompok-kelompok yang sudah ada untuk kembali menjalakan kekuatan sosialnya di lingkungan lokal masing-masing. Sembari itu, kita sebenarnya juga belajar pada masyarakat atau sesama kelompok, dan saling mempertajam daya kritis untuk bisa membangun strategi berkelanjutan. Dan yang terpenting adalah menghilangkan “jarak” antara organisasi dengan masyarakat dengan tidak bertindak “ekslusif”.

Sore itu Bung Edy, pulang lebih awal, karena ia harus menghadiri acara lainnya. Diskusi kemudian dilanjukan dengan lebih santai. Esha Tegar Putra, selaku moderator dan pegiat RKB sebelumnya memaparkan niatnya untuk membaca model-model komunitas yang saat ini berkembang di Sumatera Barat. Saat ini banyak komunitas atau lembaga kebudayaan di Sumatera Barat, beberapa tidak terbaca atau antara ada dan tiada. Menanggapi ini, menurut Albert, memang banyak saat ini, terutama di kalangan mahasiswa yang memposisikan komunitas hanya sebagai tempat nongkrong, gaul, tapi barang kali itu proses, sampai mereka jenuh dan memutuskan untuk menyusun program dengan lebih serius. Tapi yang disayangkan, menurut Albert banyak pegiat komunitas yang menjadikan kelompoknya hanya sebagai batu loncatan agar ditarik oleh kelompok di ibu kota seperti Jogja, Jakarta, atau Bandung. Lalu hijrah, Sumatera Barat ditinggalkan bahkan diumpati suram.

Esha tertarik pada Gubuak Kopi yang berada di Solok, kemudian baru-baru ini terlibat dengan sejumlah “proyek” yang cukup besar. Hal ini memang butuh proses, Beni sempat juga ikut memancing, lalu apa kira-kira kendala komunitas lokal lainnya sehingga banyak tidak bertahan. Menurut Albert, selain niat awal: apakah ini akan hanya jadi batu loncatan atau memang kebutuhan. Untuk membangun organisasi yang serius memang kita perlu menggenal potensi kita untuk mengetahui posisi kita. Misalnya, kita perlu menghitung, apakah sudah ada organisasi serupa yang cukup baik? apa pentingnya organisasi kita di tengah masyarakat atau pemerintahan? apa modal sosial kita sebagai kelompok atau individu yang tergabung dalam kelompok, siapa jaringan kita? apa kita modal material kita, seperti sekretariat, komputer, dsb.. bagaimana potensi jaringan ini untuk saling berkontribusi? apa persoalan di sekitar kita bisa diselesaikan dengan potensi kita?  dari sini kita bisa menyusun program, lalu kegiatan.

Dengan bisa menunjukan pentingnya kehadiran atau kegiatan-kegiatan kita, di sana kita bisa bernegosiasi dengan si pemangku kepentingan. Kira-kira demikian yang saya pahami. Kalau potensi kita tidak maksimal lalu apa yang harus kita lakukan? itu juga dapat menjadi program kita. Misalnya, kalau kita kekurangan pengetahuan manajemen, atau kemampuan bahasa inggris, maka kita akan menghubungi jaringan yang bisa membantu. Atau soal pengetahuan lainnya yang juga bisa kita programkan dalam kegiatan organisasi. Untuk itu di Gubuak Kopi sebenarnya kita memposisikan kelompok ini sebagai tempat belajar, mempelajari hal-hal yang kita butuhkan untuk menjawab persoalan kita sebagai bagian dari warga.

 

 

Delva Rahman (Solok, 29 April 1993) Ia aktif menari di Ayeq Mapletone Company, sebuah kelompok tari yang berdomisili di Padang, Sumatera Barat. Pernah terlibat dalam loakarya literasi media "Di Rantau Awak Se", oleh Gubuak Kopi dan Forum Lenteng (2017). Partisipan lokakarya video performance (2017). Pernah terlibat dalam pertunjukan "Perempuan Membaca Kartini" karya sutradara Irawita Paseban di Gudang Sarinah Ekosistem (2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.