Tulisan ini merupakan catatan peluncuran buku “Sore Kelabu di Selatan Singkarak” karya Albert Rahman Putra yang digelar di Galeri Kubik Koffie, Padang, pada 21 Februari 2018 lalu. Artikel yang ditulis oleh Rendy Hakimi Sadry (Wartawan Haluan) ini sebelumnya telah dipublikasi di rubrik budaya Koran Haluan, edisi 25 Februari 2018, dan dipublikasi kembali di gubuakkopi.id sebagai pendokumentasian dan distribusi arsip.
Siapa yang salah saat sejarah “hanya” memberi tempat untuk para elit dalam sebuah perjuangan. Di mana akan tertulisnya cerita tentang prajurit rendahan yang gugur di medan perang saat melindungi komandan. Di mana tersangkutnya kabar soal tukang dapur barak yang setiap hari berpanas api memasak makanan bagi pejuang. Apakah mereka juga pahlawan. Layakkah. Entah. Membaca Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Menelusuri tokoh-tokoh yang terlibat dalam setiap alir cerita tulisan tangan— hasil pengamatan Albert Rahman Putra, seolah melihat mereka para pahlawan tak dikenal di medan pertempuran. Mereka memang tidak sedang berjuang. Tapi mereka terlibat langsung dalam kejadian yang pada satu waktu mungkin akan menjadi sejarah kemanusiaan. Tulisan-tulisan Albert, dalam buku yang bernas itu, mengisahkan mereka yang sebelumnya tak dikisahkan penulis lainnya. Tentang Singkarak yang kelabu di ujung senja, serta cerita-cerita lain yang mengundang decak, memancing emosi, mewujudkan sentimen, dan memantik kesadaran.
Pada pukul 20.00, Rabu 20 Februari lalu, catatan atas pengamatan Albert dalam tajuk Sore Kelabu di Selatan Singkarak resmi diluncurkan dan dibedah di Kubik Coffee, Padang. Kegiatan itu merupakan bagian dari program AKUMASSA Bernas yang digagas oleh Forum Lenteng. Karya Albert menghadirkan 11 tulisan seputar situasi sosial budaya dan kabar lingkungan di sekitar Danau Singkarak. Hadir sebagai pembahas dalam bedah buku tersebut, penulis Esha Tegar Putra, dan dimoderatori oleh Andini Nafsika.
Membaca karya Albert, kita seolah melihat bagaimana kemasan jurnalisme warga yang mahal. Bahkan kadang, terkesan lebih komplit dibanding hasil liputan seorang wartawan. Meski pun Albert tidak memiliki latar belakang sebagai wartawan yang pernah bekerja di media konvensional, kepiawaiannya memadu kata dan menarik pembaca ke dalam laut cerita sangat mengangumkan.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang Albert dan bukunya, mari kita kutip tulisan Paul Thompson (New Youk: Oxford University), tentang sejarah lisan. Menurutnya, “sejarah lisan memberikan sarana untuk rekontruksi masa lalu yang lebih realistis dan berimbang, memugkinkan munculnya sosok-sosok pahlawan tidak saja dari kalangan pemimpin, tetapi juga dari rakyat yang kebanyakan tidak dikenal”. Singkatnya, Paul Thompson mengatakan, dengan pendekatan sejarah lisan, lalu menulisnya dengan gaya jurnalisme warga, bisa menjadikan sejarah lebih demokratis. Agaknya, tulisan-tulisan Albert Rahman Putra dalam buku tersebut bisa dimasukkan dalam kotak tulisan sejarah lisan itu.
Lanjut ke Sore Kelabu di Selatan Singkarak, pembedah Esha Tegar Putra mengatakan, dari kerja pencatatan Albert, ia baru mengetahui informasi yang luput dari pembicaraan banyak orang yang ia temui. Seperti, di Nagari Kacang, terdapat limau yang menjadi kebanggaan dan varietas unggulan pertanian Solok pada 1970-1980-an, (Limau Kacang, hlm. 126).
“Saya pernah ditanya oleh seorang pria berusia 70 tahun mengenai Limau Kacang,” kata Esha. “Pria itu pernah merantau pada 1957 bersama orang tuanya, dan pernah bekerja belasan tahun di kedutaan Indonesia di Abu Dhabi,” kata Esha.
Selain itu, Esha mengatakan tentang para narasumber dalam tulisan Albert, khususnya pada catatan banjir di sekitar Sumani dan Singkarak, serta foto-foto yang dapat dihubungkan dengan karya Albert, memberikan informasi lain tentang fenomena perubahan daerah. Albert seperti mendapatkan suatu bukti tentang keadaan, dengan cara pengumpulan data dari beragam fenomena dan pada waktu yang berbeda-beda, sehingga si penulis bisa mengklaim kebenaran atas informasi yang disajikan.
Albert sendiri memang mengakui, ia mendapatkan data pembanding berupa foto-foto tentang sampah di pagar-pagar jembatan. Waktu itu, dengan sabar ia menunggu, untuk membuktikan bahwa sampah-sampah itu akan terus bermuara ke Danau Singkarak.
“Saya beberapa kali mengelilingi Singkarak, melihat muaramuara sungainya. Tidak salah lagi, Batang Lembang adalah penyumbang sampah terbesar untuk Singkarak. Itu tidak berlebihan. Silakan saksikan langsung, beberapa kantong sampah itu masih tersangkut di pagar jembatan yang menggantung di atas sungai ini,” tulisnya dalam buku.
Malam itu, di pertengahan waktu membedah buku, saya duduk agak ke pinggir sehingga dapat mengamati lebih luas ruangan di Galeri Kubik Koffi itu. Saya merasakan betul ada keinginan yang menguar dari setiap atau paling tidak beberapa diri di caleri itu, untuk melakukan pula apa yang dilakukan si penulis buku. Sebab memang begitu, apa yang dipikirkan Albert dan telah ia tuliskan itu, seolah luput selama ini dari pengamatan penulis atau wartawan lain. Penting atau tak penting. Bagi Albert ukurannya mungkin berbeda.
Direktur Program AKUMASSA Otty Widasari malam itu mengatakan, Albert merekam kejadian dan kisah yang bergulir di sekitaran Danau Singkarak sejak 2010. Buku yang dibedah malam itu, merupakan refleksi seorang warga lokal, yang berusaha melakukan otokritik terhadap masyarakatnya sendiri.
“Penulis membayangkan kepada siapa saja yang membaca buku tersebut, tentang dampak yang akan datang dari peristiwa-peristiwa ditulisnya itu,” kata Otty. Membedah beragam isu yang “dilumat” Albert dalam karyanya, seperti membedah kesadaran sendiri untuk meneliti dan menuliskan juga isu-isu yang berlemak-peak di sekitar kita. Mungkin ada yang mau dan tidak mau “menjadi Albert” pula. Bak salah satu lirik lagu yang dinyanyikan Orkes Taman Bunga malam itu “Biar kayak orang-orang, padahal orang ingin kayak kita”. (*
Padang, 25 Februari 2018
RENDI HAKIMI SADRY
(*Wartawan harian umum Haluan)