Jum’at, 16 Juni 2017, lalu lokakarya Kultur Daur Subur di Gubuak Kopi sudah memasuki hari ketujuh. Tiga hari lagi lokakarya akan selesai, dan akan dilanjutkan dengan presentasi publik open lab pada 07 Juli 2017 nanti, di Galeri Gubuak Kopi. Siang itu seperti biasa para partisipan mulai mencari informasi lanjutan tentang isu yang akan mereka tulis persentasikan, terkait visi Kultur Daur Subur.
Para partisipan berpencar untuk mencari informasi yang mereka butuhkan, Rizaldi dan Ogy pergi ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di Laing, Kota Solok, untuk mendalami informasi tentang Taman Bidadari. Joe Datuak ditemani Amathia Rizky berkeliling di sekitar Kampuang Jao, mencari informasi tentang petani pinang, distribusinya, dan menelusuri sungai-sungai menjadi tempat pembuangan limbah pinang dan lainnya. Setelah itu Amathia Rizky melanjutkan observasinya ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk mencari informasi tentang pemberdayaan sampah di sana.
Sementara itu, Volta dan Zekal pergi ke rumah Buya Khairani, menggali kembali informasi tentang alat-alat pertanian pada masa dulu, atau alat-alat pertanian tradisional. Selain itu mereka juga menyempat melihat koleksi kreatif terbaru Buya. Sedangkan Arif mencari informasi tentang Gang Rambutan, kebetulan ia merupakan salah satu warga dari gang tersebut. Gang Rambutan adalah gang kreatif dan merupakan wujud inisiatif dari warga di sana dalam memperindah lingkungan mereka. Teman-teman Gubuak Kopi sebelumnya juga pernah melakukan observasi di gang ini, dan kali ini akan dinarasikan oleh Arif melalui tulisan dengan prespektifnya sebagai anak yang besar di sana.
Di Gang Rambutan, pertama-tama kita akan disambut oleh gerbang yang unik dengan hiasan bunga-bunga, dan gapura yang penuh warna. Lalu, di gang tersebut nampak bunga-bunga dan tanaman sayur yang tersusun rapi di sepanjang got. Selain itu, ada juga pot kreatif dari limbah-limbah plastik dan taman mini yang dikelola oleh salah satu warga disana.
Pada sore hari, tepatnya setelah Ashar, para partisipan dan fasilitator kembali ke kantor Gubuak Kopi. Bapak Elhaqi Effendi sudah berada di Gubuak Kopi. Ia hadir untuk membagi pengalamannya dan pembacaannya tentang perkembangan pertanian di Solok. Sebelumnya, memang kami sudah mengundang beliau untuk mengisi diskusi kali ini, dan Jumat ini adalah hari yang tepat. Bapak Elhaqi atau yang akrab disapa Pak El adalah orang tua dari Albert Rahman Putra, salah seorang pegiat Gubuak Kopi juga. Pak El pernah bekerja di Dinas Pertanian sejak tahun 1976, dan sempat pindah ke Dinas Kehutanan dan Perkebunan, lalu pada 2015 ia pensiun sebagai pegawai Dinas Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Ini bukan perjalanan yang pendek untuk diceritakan, lebih kurang 29 tahun beliau menggeluti pekerjaan tersebut. Sempat belajar di sekolah kejuruan pertanian waktu itu bernama Sekolah Perntanian Menengah Pertama (SPMP) setara SMP, dan dilanjutkan di Sekolah Pertanian Menengah Akhir (SPMA) setara SMA. Kemudian mendalami pertanian di akdemi khusus pertanian. Sembari bekerja di pemerintahan, Pak El juga gemar mendokumentasikan kegiatannya melalui fotografi. Selain itu, ia juga sempat berkerja sambilan sebagai jurnalis untuk beberapa media. Waktu itu, di kediamannya kita mendapat kesempatan untuk melihat beberapa koleksi arsipnya, dan beberapa dipinjamkan untuk kita teliti di Gubuak Kopi.
Kuliah sore itu diawali dengan penjabaran situasi pertanian pada zaman Orde Lama dan masa transisi ke Orde Baru. Waktu itu padi diproduksi hanya satu sekali setahun, irigrasi pun yang belum maksimal, begitu juga dengan alat bajak atau peralatan lainnya yang belum memadai. Indonesia saat itu masih membeli beras ke Thailand untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat se Indonesia. Bahkan, waktu itu beberapa masyarakat kita yang makan nasi dicampur dengan jagung. Sekitar tahun 1970-an barulah masuk berbagai teknologi yang memadai untuk menunjang sektor pertanian. Pada masa ini, program-program pemerintah berfokus pada peningkatan produksi, sebelum berfokus pada peningkatan keuntungan. Kalau, biasanya padi dipanen satu kali setahun, saat itu secara perlahan ditingkatkan menjadi dua hingga tiga kali setahun. Mesin bajak yang memadai dan sistem irigrasi yang baik, kemudian mendorong peningkatan produksi masyarakat, hingga mencapai swasembada.
Sementara giatnya usaha peningkatan produksi pertanian, di akhir tahun 60-an hingga tahun 70-an pemerintah merancang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang kemudian memunculkan program-program seperti Panca Usaha dan lima sektor teknis untuk penigkatan produksi pangan. Diantaranya muncul Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) yang waktu itu berfokus pada pemunculan bibit pangan baru, lalu ada Pertani, kemudian di bidang perbangkan mencul BRI Unit Desa, kemudia kegiatan Bimbingan Massal (BIMAS), yang pertama Koperasi Unit Desa (KUD) untuk pengadaan sarana, dan dari pihak dinas muncul program Penyuluhan Pertanian Lapangan (PPL). Dan masih banyak program lainnya.
Saat ini, program terbaru dari Dinas Pertanian yang masih kita tunggu dampaknya yaitu Pertanian Salibu. Ini sebenarnya sudah pernah dilakukan pada beberapa puluh tahun sebelumnya, berganti, dan kemudian dikembangkan lagi. Teknisnya, padi yang sudah di panen atau dipotong dibiarkan tumbuh lagi dengan cara memberi pupuk secara teratur. Pak El baru saja tahu tentang pemberlakukan program ini dari kabar Whatsapp salah seorang mantan anggotanya yang saat ini bekerja di Dinas Pertanian, Kabupaten Solok. Program ini baru diterapkan pada daerah Saok Laweh, dan masih dalam tahap percobaan. Kita masih menunggu hasil dari percobaan Dinas Pertanian ini.
Sebelum masuknya teknologi yang serba mesin dan kemuajuan pestisida, masyarakat di Solok, dahulunya masih menjaga pertaniannya serta mengusir hama, dengan cara-cara tradisional, contohnya, Biasaya para petani mengambil darah sapi dan dioleskan ke ujung daun yang berada di sekitar ladang tersebut, agar kandiak (babi) tidak masuk ke ladang. Atau bisa juga dengan membakar rambut yang biasanya diambil dari sisa tukang cukur. Rambut yang dibakar tersebut mengeluarkan bau yang tidak disukai kandiak tadi. Lalu, untuk mengusir hama seperti pianggang (walang sangit) biasany para petani akan menuliskan beberapa ‘kalimat arab’ semacam doa di daun kelapa. Sekarang ini kepercayaan seperti itu sudah sangat jarang kita temui, karena masyarakat telah diarahkan untuk menggunakan pestisida atau racun untuk mengusir hama. Tapi cara-cara terbaru ini, tidak jarang pula bisa berdampak negatif bagi kesehatan kalau pemakaian yang salah dan berlebihan. Pak El juga menceritan, di Nagari Kubang Duo pernah racun ini membunuh babi, yang kemudian babi itu hanyut dan membusuk di sungai. Alhasil, sungai tercemar, warga yang minum air dari sungai tersebut terkena penyakit begitu pula ikan-ikan yang berada di sekitar sana.
Setelah 2 jam kuliah dan berdiskusi tidak terasa waktu berbuka sudah hampir masuk, dan kami pun bersiap untuk berbuka puasa. Sebenarnya masih banyak materi yang ingin disampaikan oleh Pak El, dan akan kita sambung di lain waktu. Menarik sebenarnya untuk mengetahui lebih lanjut dampak-dampak kebijakan pemerintah terhadap petani, baik itu soal ekonomi jangka panjang, kualitas panen, kulitas lingkungan dan lainnya. Setelah berbuka, seperti biasa para partisipan dan fasilitator saling meng-update perkembangan riset lapangan dan mendiskusikannya.
Wooo daebakk 👏👏👏
Ntap Ski…