Monthly Archives: August 2016

Komunitas dalam Pengembangan Pengetahuan Sinema

Pada tanggal 20 Agustus 2016 lalu, ARKIPEL social/kapital – 4th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival menggelar program Forum Festival, Panel ke-5 yang bertajuk “Komunitas dan Pengembangan Pengetahuan Sinema”. Pada bagian forum festival ini, salah satu pembicaranya adalah Albert Rahman Putra.

Albert adalah salah satu pegiat Gubuak Kopi, dalam forum ini ia mempresentasikan aktivitas yang dilakukan bersama Gubuak Kopi di Solok, serta pandangannya terkait aktivitas komunitas film di Indonesia. Selain Albert, materi dalam panel ini juga diisi oleh yaitu Dimas Jayasrana, Fauzi Ramadhani, dan Yuli Lestari. Forum ini dimoderatori oleh Hafiz Rancajale, salah satu pendiri Forum Lenteng dan ruangrupa.

Continue reading

Catatan Tentang “Sampah dan Orang Sisa-sisa”

Berangkat dari pengantar kuratorialnya, Ronny Agustinus menekankan pergulatan yang tak terelakan oleh semua negara di dunia dengan latar belakang ekonomis apa pun, yakni masalah sampah sebagai sisa-sisa kapitalisme industri. Pemimpin redaksi penerbit Marjin Kiri tersebut mempersembahkan dua filem dalam program kuratorialnya, Sampah dan Orang Sisa-sisa, di Kineforum pada hari Senin, 22 Agustus, 2016  pukul 13:00. Seperti pada program kuratorial ARKIPEL Ronny Agustinus pada tahun-tahun sebelumnya, Amerika Latin kembali diangkat sebagai latar tempat dan budaya.

dscf6327

Ilha Das Flores (1989) merupakan filem pembuka program kuratorial ini dengan durasi 13 menit. Hasil garapan Jorge Furtado, sutradara Brasil, filem ini menggunakan objek tomat sebagai media pengantar penonton menelusuri tahap-tahap kapitalis menuju apa yang disebut kurator sebagai residu lain dari kapitalisme industri, masyarakat yang hidup dari sampah. Ilha das flores memiliki arti harfiah “Pulau Bunga”, namun jauh dari makna denotasi namanya, nama tersebut mengandung sarkasme karena tempat tersebut tidak lebih dari sekedar tempat pembuangan sampah akhir.

Ronny Agustinus.

Ronny Agustinus.

“Deus não existe”, begitulah kalimat pembuka dari filem yang ekuivalen dengan kalimat “Tuhan tidak ada”. Ilha das flores adalah tempat yang penuh keputusasaan tanpa secercah harapan. Filem ini mengandung rasa yang sangat pesimis, tidak ada antusiasme untuk mencari solusi. Narator yang sarkastik mengalienasikan dirinya dari manusia dengan kian menyebut manusia sebagai pihak ketiga dan dengan sengaja tidak ada usaha untuk menarik penonton sebagai bagian dari manusia yang tampak pada layar.

dscf6319

Hal di atas sangat kontras dengan filem kedua. Landfill Harmony (2015) adalah filem kedua yang diputar dengan durasi 101 menit. Disutradarai oleh sutradara asal Amerika Serikat, Brad Allgood, filem ini merupakan produksi Paraguai yang menunjukkan perjalanan sekelompok pemusik anak-anak. Hal yang membuat mereka berbeda ialah latar belakang mereka sebagai anak-anak dari para tukang sampah atau gunchero di sebuah kota tempat penampungan sampah bernama Cateura, serta pemanfaatan sampah yang didaur ulang sebagai alat musik.

_abe7704

_abe7695

_abe7690

_abe7689

Bertolak belakang dengan filem sebelumnya, Landfill Harmony bernada jauh lebih optimis sekaligus memberikan inspirasi. Pendekatan artistik yang terdapat dalam filem menunjukkan tahap yang berlawanan arah dari filem pertama. Ditampilkan secara kronologis, keterpurukan diangkat menjadi titik berangkat. Dipupuk oleh kerja keras dan semangat, hasil akhirnya adalah sesuatu relatif jauh lebih pantas dari sebelumnya. Pada awal filem, anak-anak tersebut tidak lebih dari pemusik amatir yang bahkan masih gemetar menyentuh alat-alat musik daur ulang, namun pada akhirnya mereka berhasil bersanding dengan pemusik internasional

Di hadapan dua belas penonton lainnya, Albert dari Forum Lenteng memberikan tanggapan, khususnya terhadap filem kedua. Bagi Albert, perspektif dari filem kedua cukup kapitalis. Pengakuan media-media besar seperti yang ditunjukkan dalam filem tentang eksistensi para tokoh adalah salah satu kode kapitalisme. Ronny Agustinus menyetujui pendapat tersebut dan demikianlah yang ingin ia tunjukkan, bahwa ada dua sikap dalam membahas wacana antroposen ini.

Antroposen sendiri merupakan istilah yang kerap digunakan kurator dan sesungguhnya merupakan istilah yang terhitung baru dan belum cukup populer. Antroposen merujuk pada kondisi dan situasi perubahan yang berlangsung di bumi yang kian dipengaruhi manusia. Melihat ke belakang, alam telah berjuta-juta tahun lamanya berperan dalam menentukan nasibnya, namun sejak tahun 1950-an, manusialah yang memiliki pengaruh ekstrem.

Mungkin memang kurang adil membandingkan kedua filem tersebut mengingat keadaan demografis Brasil dan Paraguai jauh berbeda. Sebagai negara terluas kelima di dunia, Brasil mengalami kesulitan dalam meluruskan sistemnya. Meskipun demikian, Ronny Agustinus memang menyajikan kedua filem yang kontras ini sebagai bahan pertimbangan dan refleksi.


Artikel ini sebelumnya pernah dipublikasi di arkipel.org dengan judul Catatan Tentang “Sampah dan Orang Sisa-sisa”

oleh Aprilia Agatha Gunawan.

Aprilia A. Gunawan

Aprilia A. Gunawan

 lulusan Sastra Prancis, Universitas Indonesia, tahun 2012. Selain mengajar, saat ini ia juga aktif berkegiatan di Kineforum, Taman Ismail Marzuki. Menggemari filem, bahasa asing, dan kebudayaan Irlandia.

Peran Komunitas dalam Pengembangan Pengetahuan Sinema

Perkembangan sinema sampai sekarang tak luput dari pihak-pihak yang berkontribusi untuk mengembangkan pengetahuannya, salah satu pihak yang memegang peran penting dalam hal ini adalah komunitas. Meskipun bukan organisasi resmi, komunitas kerap dijadikan wadah untuk melakukan aktivitas di bidang perfileman sebagai sarana apresiasi, eksibisi, forum diskusi, dan lain-lain. Dalam realitanya, program yang dijalankan oleh komunitas sering kali memiliki tantangan tersendiri baik dalam konteks eksternal maupun internalnya.
Bertempat di GoetheHaus, Jakarta, pada tanggal 20 Agustus 2016 ARKIPEL social/kapital – 4th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival menggelar program Forum Festival, Panel ke-5 yang bertajuk “Komunitas dan Pengembangan Pengetahuan Sinema”. Pada bagian terakhir dari forum festival ini hadir deretan panelis penggiat filem dalam komunitasnya, yaitu Albert Rahmat Putra, Dimas Jayasrana, Fauzi Rahmadani, dan Yuli Lestari, dan dimoderatori oleh Hafiz Rancajale, salah satu pendiri Forum Lenteng dan ruangrupa.

Dimas yang pernah mendirikan filmalternatif.org dan menjadi programer di IFI Jakarta, dan kini adalah pegiat Festival Film Purbalingga menyebutkan kegiatan utama komunitas adalah berdiskusi dan berdialog untuk menyebarkan pengetahuan mengenai sinema. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat masyarakat Indonesia masih minim exsposure kepada sinema karena terbatasnya jangkauan kepada media tersebut. Sebagai alternatifnya, perlu diadakan festival filem, lokakarya, dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat menyebarkan pengetahuan mengenai sinema, seperti sejarah dan wacana estetika. Dimas juga merasa terbantu oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sehingga arus pertukaran informasi terkait filem menjadi cepat dan mudah.

Kemudian, Fauzi yang pernah menjabat menjadi Direktur Program Layar Kamisan Jember, Koordinator JAFF Community Forum, serta Ketua Divisi Litbang UKM Dewan Kesenian Kampus, menceritakan keadaan komunitas produksi filem di Jember yang menjamur, namun masih sulit ditemui komunitas yang menyediakan ruang putar filem bagi masyarakat. Sedangkan di Banyuwangi, pemutaran filem dijadikan sebuah sarana untuk diskusi suatu isu yang sensitif bagi kalangan tertentu. Tak jarang, kegiatan ini ditekan oleh pihak-pihak yang merasa terancam. Fauzi  berpendapat bahwa perlu adanya diskusi terarah dan struktur untuk membahas suatu isu tersebut.

Albert, yang merupakan pendiri dan penggiat komunitas Gubuak Kopi dan aktif berkegiatan di Solok, Sumatera Barat, menyebutkan bahwa tugas utama komunitas adalah memahami persoalan yang ada dan menemukan referensi sinema yang cocok untuk dijadikan umpan dalam diskusi. Komunitas harus pintar dalam menggiring perhatian publik untuk sadar akan kebudayaan sinema, tak terkecuali di daerah. Pengalaman Albert sendiri adalah membuat layar tancap di daerah-daerah dan melakukan diskusi ringan pasca menonton untuk menyalurkan pengetahuan sinema kepada masyarakat setempat. Namun, hal ini bukanlah mudah karena sebagian penonton akan enggan untuk berdiskusi. Adalah tugas besar dari komunitas sinema untuk menyadarkan bahwa filem bukanlah sekadar hiburan, tetapi juga sebagai teks yang perlu diuraikan.

Di Malang, realita kegiatan produksi filem kebanyakan dilakukan oleh pelajar untuk melengkapi tugas sekolah. Oleh karena itu, Yuli beserta komunitasnaya, Kine Klub UMM, membuat acara yang bertujuan untuk menanamkan kecintaan dan apresiasi terhadap filem, salah satunya eksibisi filem. Namun, kegiatan-kegiatan seperti ini ditanggapi kurang baik oleh pihak eksternal. Sekolah-sekolah, misalnya, menentang siswanya untuk mengikuti karena dirasa tidak akan memberikan manfaat baik kepada siswa maupun sekolah. Padahal, dengan mengadakan screening dan apresiasi, ada umpan balik yang diberikan oleh penonton yang bisa membantu membangun karya di masa depan.

Forum Festival ARKIPEL social/kapital, Panel 5 kala itu, dikunjungi oleh 50 peserta yang mempunyai antusiasme dan keingintahuan tinggi. Itu ditandai dengan total 8 pertanyaan yang diajukan. Topik modal materiil untuk keberlangsungan komunitas disinggung dalam pertanyaan, dan kemudian ditanggapi oleh penanya selanjutnya dengan menanyakan bagaimana menjaga keberlangsungan komunitas itu sendiri. Dimas memberikan strategi seperti donasi, sinema berbayar, program sekolah sinema jangka pendek bertarif. Yuli menambahkan bahwa perlu mendekati birokrat dan menyisihkan uang pribadi. Sementara itu, untuk masalah keberlansungan, Albert menyatakan perlu bagi komunitas untuk melakukan penelitian dan evaluasi, dan Dimas lebih menekankan kepada inisiatif dan intensitas kegiatan yang dijalankan. Moderator kemudian menambahkan bahwa modal materiil bisa dilakukan dengan metode alternatif. Bagian terpentingnya adalah bagaimana membangun kepercayaan di tingkat lokal dan masyarkat.

Masalah regenerasi juga disinggung dalam pertanyaan, karena regenerasi juga menjadi faktor utama untuk keberlanjutan komunitas itu sendiri. Fauzi menyebutkan bahwa belum ada jawaban yang tepat untuk mengatasi masalah regenerasi. Poin menarik dari Dimas adalah komunitas mempunyai hak untuk mempertahankan status quo karena komunitas bukanlah badan resmi. Semua hal diserahkan kepada kesadaran dari komunitas itu sendiri. Forum ini kemudian ditutup dengan kesimpulan dari Hafiz bahwa yang menentukan identitas komunitas adalah kepublikannya, yang bisa dihitung secara kuantitatif dengan jumlah orang yang berpartisipasi dalam kegiatan yang ada, ataupun kualitatif dari isu-isu yang ditawarkan dan dianggap penting. Banyak cara alternatif untuk menjaga komunitas sekaligus menyebarluaskan pengetahuan mengenai sinema, seperti lokakarya, dan proyek bersama dengan pihak-pihak eksternal. Saat Forum Festival Panel 5 ini ditutup oleh moderator, tampak beberapa peserta masih ingin bertanya dan berdiskusi, namun urung karena waktu yang telah usai.

 


Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di arkipel.org dengan judul Festival Panel 5 oleh Nadia AdilinaNadia Adilina(lahir di Jakarta, 18 Maret 1996), mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi. Menaruh perhatian pada bidang seni visual

KULTUR DAUR SUBUR DAN AGENDA LAINNYA

Sore itu, 01 Agustus 2016, Solok diguyur hujan yang lebat sedari siang nan lengang. Hari itu juga merupakan hari jadi Komunitas Gubuak Kopi, hari pertama kalinya kelompok ini diperkenalkan pada publik tahun 2011 lalu. Kali ini kita berjanji merayakannya bersama anak-anak di sekitar markas kita setelah semalam berpesta dan berevaluasi. Kali ini dalam dengan tajuk “Kultur Daur Subur”, yang memang sudah kita agendakan dalam program Kelas Warga.

Kegiatan ini pada dasarnya kita tujukan sebagai respon atas sampah yang selama ini semata-mata menjadi keluhan. Ini bukan pertama kali nya kita “bermain-main” dengan sampah, selain markas kita yang memang dihiasi “sampah”, sebelumnya persoalan ini juga mendasari lahirnya kegiatan “Aku, Kita, dan Kota” pada tahun 2012. Tak lama sebelum kegiatan “Aku, Kita, dan Kota”, kota kecil ini mendapat penghargaan “adipura”, semacam penghargaan pemerintah pusat untuk kota yang bersih. Piala kebersihan itu, oleh Walikota diarak keliling jalan protokol dengan penuh kebanggan. Sebagian besar pengawai negeri ikut merayakannya dihadapan publik, sementara di saat itu kami sibuk menonton publik yang kebingungan, atau tidak antusias. Continue reading