Lelaki tua itu biasa saya sapa Pak Gaek (Pak Tua). Suatu hari ia meletakkan kopi di hadapan saya. Saya sering mampir di kedai kopi kecilnya setiap kali dalam perjalanan malam Solok ke Padangpanjang. Seperti biasa, ia tidak banyak bicara. Ia senang duduk di kursi malasnya yang berdekatan dengan meja tempat ia biasa membuat kopi. Di meja yang padat itu, tersusun beberapa mi instan, tabung kopi, gelas, kaleng susu dan sebuah radio tuanya. Kalau sudah lewat pukul sembilan malam, biasanya radio tua itu melagukan tembang-tembang Pop Minang. Kemudian ia bersandar menikmatinya sambil memegang senter dan telepon genggam. Ia sering kali terlihat menahan kantuk menikmati lagu-lagu itu, maka saya putuskan untuk mengganggunya.
“Manunggu telpon sia, Pak?” (Sedang menunggu telepon siapa, Pak?)
“Haa? Ndak ado. Pacik-pacik se, kadang anak manalepon” (Apa? Tidak ada. Jaga-jaga saja, kadang anak saya menelpon)
Di kedai kecil ini Pak Gaek menghabiskan harinya setiap sore hingga dini hari. Baginya, berkedai kopi hanya untuk mengisi kebosanannya di rumah. Rumahnya tidak jauh dari sini. Ia biasa pulang kalau kedai kopinya sudah mulai sepi. Ia tinggal menghidupkan sepeda motor kesayangan yang dibelikan oleh anaknya dari rantau.
“Pak Gaek, ceritakan saya soal Singkarak!” tiba-tiba saya meminta.
Pak Gaek, terlihat bingung, “Apo kan ka ambo caritoan, ambo kurang tahu lo tentang Singkarak” (Apa yang hendak saya ceritakan, saya kurang mengerti tentang Singkarak).
***
Singkarak adalah nama salah satu dari lima danau di Sumatera Barat. Ia juga dikategorikan sebagai danau yang cukup besar untuk wilayah Sumatera. Singkarak berada pada nomor urut dua terbesar di Pulau Sumatera, setelah Danau Toba yang terletak di Sumatera Utara. Luas Singkarak mencapai 107,8 km², lebih dari empat kali luas Kota Bukittinggi, atau 9% luas Danau Toba. Secara administratif, saat ini Singkarak dikelola oleh dua daerah kabupaten, yaitu sekitar 6.550 ha berada pada wilayah Kabupaten Solok dan 6.420 ha Kabupaten Tanah Datar.1
Soal nama, Singkarak sebelumnya hanyalah nama sebuah kampung di tepian danau ini (danau yang sekarang juga disebut Danau Singkarak). Ketika kita berada di Ombilin, yang juga merupakan kampung di tepian danau, lalu bertanya di mana dermaga di tepian danau ini, maka orang Ombilin akan menjawabnya: di Singkarak. Begitu juga ketika kita bertanya pada orang Malalo, Sumpu, dan daerah lainnya di sekitaraan danau. Singkarak seakan memang bukan nama danau itu, melainkan nama kampung kecil di salah satu sisi danau. Sedangkan, kalau orang-orang tua dari Agam dan Tanah Datar, dulu menyebut danau ini dengan Lauik Sumpu. Lauik Sumpu maskudnya adalah lautnya orang Sumpu.
Sumpu juga merupakan sebuah kampung kecil di tepian danau ini, letaknya saling berseberangan dengan kampung Singkarak. Sumpu terletak di bagian paling pangkal Kabupaten Tanah Datar, dan Singkarak terletak di bagian paling pangkal Kabupaten Solok. Penggunaan nama Singkarak untuk menyebut danau ini secara utuh, sejauh yang tercatat, dimulai oleh seorang pelukis, filsuf, dan juga seorang alhi biologi berkebangsaan Jerman. Dia adalah Ernst Heakel. Dulu, ia berkunjung ke Indonesia untuk mendokumentasi aneka spesies hewan dan tumbuhan. Kemudian, pada tahun 1901, ia juga membuat sebuah lukisan pemandangan danau, perkampungan Minangkabau, dan bukit-bukit. Lukisan ini dibuatnya pada Februari tahun 1901. Di bagian bawah lukisan itu terdapat coeratan namanya, dan tulisan “Singkarak”.2
Sulit untuk melacak dari mana si pelukis merekam keindahan danau itu pada kanvasnya. Jika melihat latar bukitnya, lukisan ini dibuat di sekitar wilayah Ombilin, Malalo, atau Sumpu. Tapi saya tidak berani memastikan, karena tidak ada gambar yang benar-benar seperti itu saat ini. Singkarak sudah mengalami banyak perubahan.
Dalam Tambo Alam Minangkabau atau dalam perbincangan adat (hikayat dalam bentuk lisan dan tulisan yang dituturkan secara turun temurun), sedikit banyaknya juga menyinggung nama Singkarak dan Laut Sumpu sekaligus. Seperti hikayat adat yang satu ini:
Lauik Sumpu Danau Singkarak,
Bamuaro dakek ka Umbilin.
Tahu mukasuik urang banyak,
Itulah sipaik dek pamimpin
(Laut Sumpu, danau Singkarak // Bermuara dekat ke Ombilin // Tahu dengan maksud orang kebanyakan //Itulah sifat seorang pemimpin)
***
Perkenalan saya sendiri dengan Singkarak bermula sejak saya masih kecil. Saya tidak ingat pasti kapan tahunnya, tapi menurut orang tua saya, saya sudah sering ke Singkarak sejak saya masih balita. Yang saya ingat, saya penah mandi di sini, dan saya sering bermenung menyaksikan betapa luasnya danau ini setiap kali Bapak mengajak ke Bukittingi. Bapak selalu punya cerita menarik untuk saya, kalau sedang jalan-jalan. Suatu kali ia memergoki saya sedang asik menyaksikan Danau Singkarak, di sebelah kiri jalan. Di tengah pandangan kosong saya, Bapak menunjuk ke arah salah satu dari dua gunung di hadapan kami.
“Lai tau itu gunuang apo?” (Kamu tahu itu gunung apa?)
Kalau kita berangkat menuju dari Solok menuju Bukittinggi melewati Singkarak, memang kita akan disuguhkan pemandangan yang sangat indah, setidaknya begitu pendapat saya yang saat itu masih jarang keluar rumah. Di sekeliling danau, kita bisa melihat barisan bukit-bukit. Dan ke arah Utara, kita bisa melihat dua gunung yang berhadapan. Gunung yang ditunjuk bapak saya itu adalah Gunung Marapi, dan yang satu lagi adalah Gunung Singgalang. Sedangkan saat kita menuju Selatan Danau Singkarak, jalan pulang ke Solok, kita juga bisa melihat Gunung Talang yang berdiri gagah di antara lembah. Terus terang, saya sering terbalik menamai dua gunung di hadapan kami itu. Marapi, atau Singgalang. Baru setelah tamat SMA saya mengenalnya dengan pasti, dan memutuskan untuk menaikinya. Ada alasan khusus kenapa saya ingin menaikinya.
Bapak menatap saya dari kaca spion depan mobil, ia seakan tidak sabar ingin menunjukan apa yang dia tahu.
“Itu namanya Gunung Marapi,” lalu Ia tersenyum, dan menatap saya dari spion, seakan memastikan saya ingin bertanya lebih lanjut, “Disitu lah asa niniak kito” (Di sanalah asal nenek moyang kita)
Saya sebenarnya ingin bertanya apa itu ‘niniak’, tapi tiba-tiba iya melantunkan sebuah pantun:
Dari ma asanyo palito,
dari telong nan batali.
Darima asa niniak kito,
dari puncak Gunuang Marapi
(Dari manakah asalnya pelita // dari lentera yang bersumbu // Dari manakah asal nenek moyang kita // dari puncak Gunung Marapi)
Menurut Tambo, niniak atau nenek moyang orang Minangkabau berasal dari puncak Gunung Marapi. Dalam pantun-pantun atau dendang, juga sering muncul pameo “sajak Gunuang Marapi sagadang talua itiak” (sajak Gunung Marapi sebesar telur itik). Kalimat ini seakan ditujukan untuk menjelasakan hitungan mundur ketika peradapan baru saja akan dimulai. Seperti pantun percintaan berikut ini:
Bungo cinto kok layua, hati den cameh,
nan den harokkan manyiram yo Uda surang.
Sajak umua maningkek labiah tujuah baleh,
badan ndak lamak, lah takuik lalok sorang.
(Jika bunga cinta layu, cemaslah hatiku // yang kuharapkan hanya Abang seorang yang datang menyiram // Sejak usia bertambah melewati tujuh belas // badan gelisah, takut tidur sendirian)
Balasannya:
Jikok itu nan kini Adiak takuikkan
denai kan datang manyiram bungo adiak
rindu lah lamo samo ditangguangkan
sajak Gunuang Marapi sagadang talua itiak.
(Jika itu yang Adik cemaskan // Abang kan datang menyiram bunga Adik // Rindu telah lama kita tanggung bersama // sejak Gunung Merapi masih sebesar telur itik)
Terdapat sebuah kepercayaan di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, bahwa nenek moyang kita, orang Minangkabau, adalah seorang pelaut. Dari kejauhan di tengah samudera terlihatlah sebuah daratan, yang konon itu adalah puncak Gunung Marapi sekarang. Lalu air laut tiba-tiba surut. Nenek moyang kami turun dari puncak dan membuka lahan. Nageri pertama adalah Pariangan, lalu Padangpanjang dan seterusnya. Singkarak adalah sisa-sisa dari laut yang surut itu.
Di lain versi, diceritakan seorang anak yang sering ditipu oleh orang tuanya: Alkisah seorang anak tunggal yang masih kecil, sebut saja namanya Buyuang. Suatu ketika ia meminta makan pada bapaknya, kemudian bapaknya marah padanya. Si Buyuang katanya terlalu banyak makan, bapak dan ibunya merasa lelah mencari makan untuk dia. Suatu hari si bapak menyuruh anak kecil ini mencari ikan di laut, sudah cukup lama tapi ia tidak mendapatkan apa-apa. Si Buyuang akhirnya menyerah dan pulang. Sesampai di rumah ia, sedih melihat bapak dan ibunya tertidur sementara di dekat mereka terlihat banyak kerang pensi (sejenis kerang kecil yang banyak terdapat di Danau Singkarak) yang sudah dimakan. Di sekitar mereka, piring bekas makan berserakan tak bersisa. Kemudian si Buyuang menceritakan kejadian itu pada ayam kesayangannya. Si ayam merasa bersimpati, akhirnya membawa Buyuang yang bergayut di kakinya terbang meninggalkan rumah. Tapi ternyata batu besar yang sebelumnya ia duduki, melekat di antara kaki dan bokongnya. Lalu di ketinggian batu itu terlepas dan membelah bukit Rambatan, maka terciptalah sebuah aliran yang menerobos bukit itu, laut menyusut. Air laut itu mengalir pada sela bukit yang terbelah, aliran itu di sebut Batang Ombilin, ia terus mengalir hingga Riau.
Kisah ini, sebagai cerita rakyat, bagi saya kurang menarik, terutama karena bagian batu yang melekat di bokong si anak. Bagian itu, batu yang terlempar dan surutnya laut menjadi danau terkesan terlalu dipaksakan dan tidak berkaitan langsung dengan situasi antara si anak dan orang tuanya. Cerita ini memang tidak berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hampir tidak ada masyarakat di sekitaran Singkarak yang saya temui mengenali cerita ini. Beberapa yang mengetahui, itu karena ia membaca cerita yang sama dengan yang saya baca di salah satu situs cerita rakyat di internet.3 Tapi cerita ini menjadi menarik bagi saya, menyadari apa yang terjadi di Singkarak hari ini: sebuah kemerosotan. Kalau di cerita Si Buyuang tadi, air laut semakin hari semakin surut secara fisik. Kini singkarak, bagi saya terlihat surut dalam banyak hal, fisik ataupun kualitas, dan itu jelas disebabkan oleh kemerosotan moral manusia karena mementingkan diri sendiri.
***
Kopi saya sudah habis setengah, Pak Gaek sepertinya memang tidak punya cerita tentang Singkarak. Mungkin Pak Gaek memang tidak tertarik mengenai cerita Singkarak. Atau mungkin ia dan kawan-kawan sebayanya memang jarang membicarakan ini.
Pak Gaek masih tetap tidak banyak bicara, ia tetap menyandar dengan senter dan telepon genggamnya yang tidak juga berbunyi.
“Alah pernah Gaek ka Gunuang Marapi?” (Bapak sudah pernah ke Gunung Marapi?)
“Alun lai, wa’ang alah?” (Belum, kamu sudah?) saya tersenyum, lalu ia lanjut bertanya, “Apo nan nampak jak situ?” (Apa yang tampak dari sana?)
“Singkarak,” tegas saya.
Pak Gaek sepertinya mulai penasaran. Katanya dia sewaktu muda memang sering berencana naik ke gunung itu, tapi belum juga kesampaian. Ia meminta saya menceritakan apa yang saya lihat di gunung. Saya pun jadi bersemangat melihat lelaki paruh barya ini mulai banyak tanya.
“Di puncak itu ada yang namanya Puncak Marpati, yaitu bagian paling tinggi di Gunung Marapi. Dari sana kita bisa melihat sebagian besar daerah Minangkabau, bukit-bukitnya, bahkan laut.”
Pemandangan yang sering menarik perhatian saya ketika berada di puncak Gunung Marapi adalah Danau Singkarak. Saya biasanya akan turun sedikit ke arah Selatan, bersantai menikmati kopi dan menghisap sebatang rokok di taman edelweis, menatap Singkarak. Di seberang sana, terlihat Gunung Talang, ia tampak perkasa di seberang Danau Singkarak sana. Di sini, saya merasa seakan Gunung Talang dan Marapi adalah sepasang tangan yang mengulurkan keindahan pada Singkarak.
Saya terkadang masih bertanya-tanya, benarkah nenek moyang kami datang dan turun dari sini. Itu bisa jadi benar, tapi saya kira itu tidak penting lagi. Yang saya lihat dari puncak gunung ini adalah Singkarak, muara yang di kelilingi pebukitan; Bukit Barisan. Ia menjadi tempat berlabuh banyak sungai: Sungai Paninggahan, Sungai Sumpu, Batang Kuok, Imang Godang, Aripan, Sumani, serta sungai yang terlihat mengalir dari Gunung Talang sana. Sungai ini biasa disebut Batang (sungai) Lembang.
Batang Lembang mengalir dari salah satu danau yang berada di kaki Gunung Talang. Sungai ini kira-kira memiliki panjang sekitar 40 km lebih, hingga bermuara di Singkarak, dan tentunya ia telah melewati banyak kampung. Saya teringat pemandangan suatu sore di jembatan dekat persimpangan jalan, tempat orang naik-turun bus yang sering disebut bypass Salayo, Solok. Seseorang dari dalam mobil yang berjalan pelan, membuka jendelanya, kemudian muncul tangan melempar kantong plastik yang berisi penuh ke arah sungai dari atas jembatan. Kantong plastik itu terbentur pagar jembatan, kantong yang ternyata berisikan sampah itu berserakan jatuh ke sungai. Melihat hal itu, tidak heran sebenarnya kalau banyak yang terserang penyakit, tiap kali sungai ini meluap. Batang Lembang hampir setiap tahun meluap hingga merendam kota Solok dan sebagian besar Nagari (desa) Salayo. Ini baru pertengahan dari Batang Lembang, ada banyak hal yang bisa terjadi sebelum air sungai ini mengalir hingga melewati Salayo. Seterusnya, Sungai Batang Lembang melewati Kota Solok, melewati banyak punggung rumah, melewati pasar, melewati jembatan-jembatan.
Rata-rata, di jembatan yang ada di Solok hingga jembatan terakhir Batang Lembang ini di Sumani, akan terlihat banyak kantong plastik yang tersangkut di pagarnya. Tentu maksud sebenarnya untuk dibuang ke sungai, tapi mungkin tidak berhasil. Sungai itu terus mengalir melewati banyak rumah dan jembatan, hingga berakhir di bagian paling hulu muara Batang Lembang.
Di ujung Batang Lembang, saya juga teringat seorang anak yang disuruh ibunya untuk membuang sampah. Tanpa banyak tanya, ia langsung melemparnya ke sungai yang coklat itu. Sampah plastik itu melayang di atas air bersama kantong lainnya. Tak jauh dari sana, juga terlihat seonggok bangkai binatang, mungkin bangkai anjing atau bangkai kambing. Tubuhnya, sudah membengkak tak jelas lagi rupanya. Dan semua komposisi itu terus mengalir menuju danau Singkarak.
***
Pak Gaek masih menyimak cerita saya. Ia meletakkan senter dan telepon genggamnya di atas meja. “Di Singkarak ko, ciek batang Ombilin tampek aia kalua nyo yo pak?” (Di Singkarak ini hanya satu batang Ombilin, ya, Pak, yang jadi pintu keluar air?) tanya saya. “Iyo,..,” Pak Gaek diam sejenak, lalu melanjutkan, “Tapi ado ciek lai, trowongan PLTA di Sumpu.” (Tapi ada satu lagi, terowongan PLTA di Sumpu).
Dari tujuh sungai besar yang mengalir ke Danau Singkarak, memang hanya Batang Ombilin yang jadi jalan keluar utama air danau. Lalu pada tahun 1998, PLTA membobol salah satu sisi Bukit Barisan menuju Lubuak Aluang. Bukit ini dilobangi kurang lebih sepanjang 19 km untuk mengaliri air penggerak generator PLTA yang akan menghidupi listrik untuk sebagian besar wilayah Sumbar, Riau, dan Jambi. Batang Ombilin pun dikontrol oleh pihak PLTA untuk mencegah kekeringan danau. Pintu keluar air itu, baik Batang Ombilin maupun terowongan PLTA, disaring agar tidak ada sampah yang lewat. Mereka, sampah-sampah itu, melayang lalu mengendap di Muara ini.
“Ndak sagaaknyo banyak sarok di Singkarak ko kini gaknyo nak, Pak” (Tidak terhingga banyaknya sampah di Singkarak saat ini, ya kan, Pak?)
“Iyo,“ hanya begitu komentar Pak Gaek.
Saya mengerti kenapa Pak Gaek tidak ingin berkomentar banyak soal itu. Pembicaraan kami memang sedang mengarah pada situasi yang tidak mengenakkan. Sebenarnya, saya juga merasa tidak enak membicarakannya, tapi apa yang saya ketahui tentang Singkarak lah yang menghantarkan pembicaraan pada soal itu.
Pak Gaek adalah salah satu pemilik dari sekian banyak kedai tanpa izin di selingkaran Danau Singkarak. Kedai Pak Gaek sebelumnya berada di lapangan Ombilin tempat sekarang dibangun dermaga. Lain dengan bangunan lainnya yang menjorok ke danau. Saya sering menyebutnya rumah di atas air. Rumah, resto, kedai, dan rumah makan lainnya banyak berdiri di antara danau dan bibir danau. Mereka memancang pondasi di dalam danau. Saya kira pembangunan seperti ini sangat berisiko. Selain merusak keindahan fisik danau, ini juga berisiko bagi si penghuni bangunan. Terlebih kita tahu Sumatera Barat sering digoncang gempa. Tapi kedai-kedai itu, sejauh yang saya tahu, memang terlihat baik-baik saja hingga sekarang, malah jumlahnya terus bertambah. Tentu saja bertambah banyak, pikir saya, di sini orang-orang seakan tidak perlu membeli tanah, cukup memilih lokasi strategis, lalu langsung mendirikan bangunan dan berdagang. Tapi yang menyedihkan bagi saya adalah melihat limbahnya, baik itu sampah atau limbah domestik, yang meluncur ke danau. Saya hanya takut mebayangkan apa saja yang menjadi komposisi air danau ini. Barangkali, menurut si pemilik kedai ini, jumlah sampah tidak sebanding dengan luasnya air danau. Seperti pendapat teman saya, sekali dua kali buang air kecil di sini, ia akan lenyap seketika di antara genangan air danau yang luas itu.
Sebenarnya, pemerintah setempat sudah melarang pembangunan ini jauh-jauh hari. Sudah banyak plang pemberitahuan agar tidak membangun di sepanjang bibir danau. Kalau ingin mendirikan bangunan, setidaknya harus berjarak 100 meter dari bibir danau, dan harus ada izin. Tapi apalah daya, bahkan bangunan ini muncul di sebelah plang pemerintah itu. Kadang, saya hanya bisa tertawa menyaksikan itu, toh Singkarak memang sering jadi tempat mampir pengendara, dari Sijunjung, Sawahlunto, Jambi, Sangir, atau Solok, menuju Bukittinggi. Hal ini dimanfaatkan oleh para pedagang untuk menyediakan kopi, mi rebus, dan makanan lainnya yang mungkin bisa membantu pengunjung, sehingga tidak perlu repot-repot membawa bekal pikniknya dari rumah.
Tapi terkadang saya juga kesal. Saya pribadi, atau mungkin beberapa orang juga, merasakan kehilangan tempat yang leluasa untuk menikmati keindahan Singkarak. Mungkin sendirian, merenung, atau nongkrong bersama teman-teman atau pacar.
Tempat dengan pemandangan cantik, rata-rata, telah dikuasi pemilik kedai. Baru-baru ini, tangga umum yang dibangun untuk publik, agar bisa turun dari jalan ke danau, juga sudah dikuasai satu pedagang lagi. Ia tepat mendirikan kedai di sisi datar di atas jembatan itu. Sehingga untuk turun ke danau melalui tangga itu, kita harus masuk ke dalam kedai itu. Akhirnya kita hanya bisa memarkir kendaraan di sisa-sisa bibir danau, membakar rokok, membuka termos kopi, menatap jauh ke sebarang, membiarkan matahari sore hilang di balik bukit. Atau melihat ke puncak gunung, dan pura-pura tidak tahu keberadaan bungkus-bungkus plastik yang melayang, terombang ambing bersama air berbuih tepat di hadapan kita.
Degradasi moral yang dalam karangan cerita rakyat Si Buyuang tadi, seakan menjadi dalil kompleksnya degradasi yang terjadi di Singkarak saat ini.
Akhir 2014 lalu, Pak Gaek sudah tidak kutemui di bibir danau lagi. Lokasi itu kini dibangun dermaga wisata. Pak Gaek mendirikan kedai kopi kecil di depan rumahnya di Ombilin.∎
Footnote
1. | ⇑ | Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2011, Profil 15 Danau Prioritas Nasional. |
2. | ⇑ | Lihat: Berkas: Heackel Singkarak.Jpg di Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Bahasa Indonesia |
3. | ⇑ | Lihat cerita lengkapnya: “Asal Mula Sungai Ombilin dan Danau Singkarak”. Dalam cerita ini si tokoh anak-anak bernama Indra. Nama sengaja saya pakai agar pembaca tidak buru-buru menolak cerita ini. |