Gerakan Seni Lukis di Sumatera Barat

Teks ini merupakan arsip ceramah Oesman Effendi pada tahun 1976, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Artikel yang berjudul Gerakan Seni Lukis di Sumatera Barat ini dipublikasi kembali oleh Komunitas Gubuak Kopi, mengingat sebagian besar isu yang dibicarakan masih relevan untuk mengkritisi perkembangan seni rupa dan persoalan kebudayaan di Sumatera Barat saat ini.

_____________

Gerakan Seni Lukis di Sumatera Barat

Oesman Effendi

 

Berikut dibicarakan secara ringkas tentang seni lukis di Sumatera Barat. Terpaksa ringkas sekali, karena saya tak sempat, tak sanggup melakukan suatu penyelidikan yang agak lumayan.

Ceramah ini  diadakan bersamaan dengan pameran lukisan oleh pelukis‐ pelukis Padang di TIM (Red_Taman Ismail Marzuki, Jakarta) ini. Ceramah ini jangan sampai dianggap sebagai kata pengantar dari pameran ini. Sebenarnya pameran dari pelukis‐pelukis Sumatera Barat akan lebih menarik dilihat dari sudut ragam dan nilainya. Tetapi Pusat Kesenian Padang tidak menyanggupinya karena kesulitan teknis.

Bicara tentang seni lukis dari suatu daerah seberang, maka sangat diharapkan  pada  para  peminat  sekali‐kali  jangan  terseret  oleh  suatu  asosiasi bahwa di situ telah ada berkembang suatu seni lukis yang berarti, yang sesuai dengan pengertian yang umum tersimpul; dalam imaji pencinta seni di Ibukota. Walaupun imaji itu gampang ditimbulkan oleh kehadiran beberapa orang pelukis tenar yang tinggal di ibu kota, berasal dari Sumatera  Barat (Sumbar).

Sebetulnya ceramah ini lebih tepat disampaikan oleh Kepala Bagian Seni Rupa dari Jawatan Kebudayaan Sumbar. Karena dialah yang menangani dan mengurus  seluruh bidang seni rupa di Sumbar. Saya sendiri sebenarnya, baru sesudah mendapat permintaan ceramah ini mengadakan kontak dengan Pusat Kesenian Padang atau dengan para seniman di Padang; yaitu setelah 3,5 tahun lebih tinggal di Sumbar.

Istilah seni lukis dalam ceramah ini dimaksudkan dalam arti yang sederhana sekali. Yaitu: di Sumbar ada pelukis, ada orang belajar melukis, ada sekolah seni rupa, ada pendidikan guru seni rupa, ada orang  hidup  dari  kepandaiannya melukis, ada orang senang dengan lukisan, ada banyak anak‐anak  berbakat melukis.

Dengan  kata  lain,  di  Sumbar  orang  sedang  melukis  sungguh‐sungguh. Kalau membicarakan sesuatu tentang daerah, orang ingin tahu tentang latar belakangnya dan bagaimana pula proses penyesuaian diri dari kebudayaan tradisional memasuki kebudayaan nasional yang sedang dibentuk bersama sekarang.

Karena ini mencakup semua kegiatan hidup dengan segala dramanya, tentu jawaban yang agak memuaskan akan diperoleh dari mereka yang ahli dalam berbagai bidang pengetahuan dengan catatan tentu kalau telah ada di antara meraka yang mulai menyelidiki bidang‐bidang kehidupan tadi secara tekun dan kontinyu.

Memang di Sumbar telah pernah diadakan beberapa seminar tentang sejarah dan kebudayaan Minangkabau dan tentang adat Minangkabau. Dan memang  telah  pula  berdiri  suatu  lembaga Minangkabau  dengan  majalahnya. Tetapi sayang, tenaga ahli yang mencurahkan seratus persen dalam masalah‐masalah yang bersangkut‐paut dengan kebudayaan daerah ini serta perkembangannya belum banyak. Publikasi dalam hal ini sangat sedikit sekali.

Mungkin dalam bidang seni rupa atau seni lukis pada suatu saat bisa diharapkan sarjana‐sarjana dari IKIP Padang – bagian seni rupa‐nya, akan mengadakan penyelidikan  dan pembahasnnya secara kontinyu.

Penguraian  berikut  tentu  tak  akan  memadai,  karena  hasil  dari  seorang awam  ilmu pengamatan.

Lukisan “Agam” karya Oesman Effendi, 1978. (Koleksi arsip DKJ)

Daerah Sumbar atau lebih tepat Minangkabau adalah suatu daerah yang unik di tengah   bangsa  daerah   Indonesia.   Kelainan   ini   disebabkan   karena kehidupan berkeluarga mereka bergariskan matriarchaat atau menurut garis ibu. Walau   pun   penduduknya   menganut   agama   Islam, yang notabene dalam kehidupan berkeluarga menurut   garis   bapak,   orang   Minangkabau   dalam kehidupan sehari‐hari secara lahiriah dapat mengawinkan dua aliran hidup ini. Malahan dalam menghadapi pengaruh kehidupan dunia Barat yang diperoleh dari pendidikan, atau dari gaya pergaulan, tidak begitu meluarkan mereka dari rel hidupnya.

Memang kalau dijejaki secara ilmu jiwa tentu manusianya dihinggapi oleh jiwa penuh pertentangan atau perpecahan. Untuk mengatasi ini, manusianya seolah‐olah mempunyai suatu senjata ampuh, yaitu suatu sifat yang telah bersatu dengan intuisi yang berupa ilmu penyesuaian diri dengan situasi di mana mereka berada dan kecekatan dalam bertindak praktis dan menguntungkan. Menguntungkan di sini lebih banyak dalam arti material. Karena keberhasilan atau sukses sama sekali lebih banyak diukur dengan jumlah materi yang diperoleh.

Kembali kepada hidup secara matriarchaat tadi, kehidupan berpusat pada keluarga ibu,  kumpulan  keluarga  dari  yang  berdekatan merupakan  satu kaum atau suku dan kumpulan suku merupakan satu nagari atau kampung. Kepala keluarga (saudara laki‐laki dari ibu)  memelihara  kesentosaan keluarga.  Kepala kaum atau suku memelihara kesentosaan kaum atau suku dan kepala nagari memelihara kesentosaan anak nagari. Dan kumpulan nagari adalah ranah Minangkabau.

Pegangan atau dasar falsafah hidupnya berguru kepada alam dan hukum pergaulannya berdasarkan  adat  dan  agama  Islam.  Kemajuan  hidupnya berdasarkan pendidikan modern yang berasal dari Barat. Sekarang mereka berada dalam lingkungan Republik Indonesia yang  berdasarkan  Pancasila  dan membangun daerah dan kehidupannya menurut pola pembangunan kesatuan bangsa. Keberhasilannya dalam membangun manusia Minangkabau, adalah keberhasilannya membangun manusia Indonesia.

Dalam kehidupan sehari‐hari umumnya orang akan bertemu dengan orang Minang di daerah Sumbar sebagai seorang yang mengerti adat sedikit, beragama sedikit dan semangat ingin maju dalam pengetahuan, kedudukan, dan ekonomi. Sama  halnya  dengan  bangsa  yang  masih  agraris,  kehidupan  belum  begitu makmur, materi masih dianggap sebagai bintang penolong utama. Kalau dilihat dari kehidupan orang Minang bersifat kolektif yaitu berkaum dan pergaulan dibatasi oleh pagar adat dan agama, maka sesungguhnya bagi meraka yang lebih banyak  termakan  pendidikan  atau  kebudayaan  Barat  atau  mereka  yang  sadar harus berprestasi, ruang gerak untuk maju memang agak seret atau sempit sekali.

Inilah penyebab utama mereka pergi merantau atau didorong oleh pangilan mengembara yang terpendam dalam jiwanya,  keturunan dari nenek moyangnya.

Uaian agak lama berhenti pada latar belakang kebudayaan Minangkabau, karena terbukti orang Minang yang maju dan besar atau matang di rantau umumnya tidak bisa bebas dari pengaruh kebudayaan Minang, walaupun dia bersumpah  setengah  mati  dengan  tak  mau  kenal  Minang  lagi.  Justru  dalam puncak kedudukannya, dia lebih komplit  kelihatan Minangnya. Misalnya, pelukis Zaini dan Nashar yang mencapai kedudukannya di rantau, walaupun mereka seolah‐olah telah putus hubungannya dan tak suka kepada kebudayaan Minang lagi, justru Minangnya pada kedua pelukis ini sangat menonjol.  Mungkin mereka tidak menyadari hal ini. Untuk membicarakan kedua pelukis ini berada di luar scope uraian seni lukis di Sumbar. Begitu pula pelukis Rusli, seorang peranakan Minang, dia dalam seni lukisnya seorang Minang tulen; walaupun dia tak akan mau mengakuinya. Anggaplah ini teka‐teki yang saya berikan kepada tiga orang pelukis ini.

Lukisan “Mesjid” karya Oesman Effendi, perkiraan tahun 1969-1978. (koleksi arsip ivaa-online.org)

Mari dimulai dengan menguraikan seni lukis di Sumbar semenjak zaman Belanda. Seni lukis atau lukisan yang disebut secara teknik dan pandangan Barat, tak akan salah rasanya kalau disebut baru mulai muncul sejak di sekolah guru di Bukittinggi mulai diajarkan mengambar. Baru meningkatnya ketika pelukis Wakidi, datang dari Jawa, jadi guru gambar di sekolah tersebut. Boleh dikatakan seluruh gaya melukis di Sumbar, boleh juga dikatakan di seluruh Sumatera, karena murid‐muridnya berasal dari berbagai daerah Sumatera, dipengaruhi oleh Wakidi. Begitulah  seorang  guru yang baik bisa memonopoli satu mazhab seni lukis di Sumatera.  Ada  kira‐kira  60  tahun  atau  3  generasi  gaya  Wakidi  menjadi  di Sumatera.

Di samping dia mengajar disekolah guru, dia juga jadi guru di sekolah INS Kayutanam yang termasyur itu, jadi guru di sekolah lanjutan dan dahulu ada pula menerima murid di rumah. Cukup banyak pelukis hasil didikannya yang dikenal oleh masyarakat. Dan lagi dia sadar dengan kedudukannya dan ini dibuktikannya dengan ikut jadi anggota Persagi (Persatuan Ahli‐ahli Gambar Indonesia) di tahun 1938 dan kalau tak salah pernah ikut dalam pameran bersama Persagi di Jakarta.

Yang paling mengesankan dari riwayatnya ialah di zaman Belanda, dia telah dikenal oleh masyarakat Belanda. Dan sering dibeli lukisannya dengan harga tidak kalah dari harga yang dibayarkan kepada pelukis Belanda. Dan sampai sekarang masih ada orang Belanda dari negeri Belanda memesan lukisannya. Umurnya sekarang mendekati 90 tahun. Walalupun dia bukan orang Minag asli, namun apa yang  dicapainya  dalam  seni  lukisnya,  dia  terutama  pelukis  pemandangan  di daerah Minangkabau, susah membayangkan bahwa dia bukan anak alam sana.

Karena pengertian berguru kepada alam, dasar falsafah dan kebudayaan Minangkabau,  secara visual, pada seni lukis Wakidi inilah yang paling lengkap dikemukakan.  Manusia,  bintang,  rumah,  kampong  dan  alam  sekitar  dalam susunan yang organis dan harmonis paling maksimum dirasakan dalam lukisan Wakidi; dan ditambah lagi suasana yang diambil betul‐betul suasana pilihan, sehingga para muridnya tidak mungkin lagi menemukan suasana lain yang lebih murni atau agung. Apalagi suasananya bernafaskan ketenangan yang benar‐benar lahir dari batinnya. (pelukis Wakidi terkenal sebagai manusia yang paling tenang yang dipencarkan oleh sifatnya yang sangat sabar). Nada ketenangan ini dicapainya dengan kecendrungannya membulatkan atau melengkungkan garis lentur dan meredupkan semua warna walaupun berada dalam suasana warna yang kontras. Walaupun seni lukisnya seolah‐olah tak kenal pergolakan kebudayaan dunia Barat yang dilahirkan seni lukis yang dianutnya, namun berkat pengabdiannya kepada bakat sampai juga dia atau berhasil juga dia mencapai suatu puncak yang bisa dijajaki oleh seorang seniman komplit. Yaitu, dia telah sempat menciptakan istana seni lukisnya sendiri, khas dia punya. Itulah perkembangan hasil wajar dari seorang pelukis atau oleh tiap pelukis yang mengabdikan seluruh kehidupannya, seluruh jiwanya kepada bakat melukisnya dan itu semua dilakukan dengan penuh kejujuran dan kerendahan hati. Taruhlah dia sebagai seniman dalam mata dunia seni lukis sekarang kurang berarti, tetapi pengaruh melukis terhadap dirinya, dan pengaruhnya terhadap murid‐muridnya, disenangi selama tiga angkatan, wah itu, hebat sekali, ini namanya kebudayaan, ini  namanya  kemenangan  (dicapainya  tanpa  rangsangan  politik  kebudayaan Belanda ‐‐ politik ini di Sumbar tidak ada).

Seni lukis benar‐benar lahir dari orang‐orang yang senang mengembangkan bakatnya. Syukur dengan adanya seni lukis mazhab Wakidi ini hidup kesenian di Sumbar tak sampai begitu kering. Ini adalah suatu contoh kalau dalam suatu masyarakat kebetulan ada seorang yang sadar memenuhi panggilan bakatnya dan orang‐orang yang berbakat dekat dengan dia akan ikut terpengaruh kalau tak ada yang menghalangi. Sesuatu yang muncul dan tumbuh akan mempengaruhi yang di sekitar. Tetapi mereka yang berbakat yang tidak dekat dengannya tidak akan ikut  terpengaruh. Harga bakatnya tak  akan  disadarinya.  Karena  itulah  banyak bakat mati di tengah jalan di zaman kolonial Belanda.

Tetapi ada kemalangan pula pada mazhab ini, dia  seolah‐olah buta terhadap  yang  terjadi  di luar  daerahnya. Mereka tak kenal apa itu seni lukis modern. Mereka tak kenal apa itu kebudayaan Barat. Artinya, mereka tak tahu bahwa segala sesuatu mesti ada akarnya, ada pertumbuhan dan pergolakannya. Mesti menjalani sesuatu kehidupan penuh berisi dan berarti bagi perkembangan hidup manusia. Mazhab Wakidi ketika itu tak pernah sempat atau punya kesempatan membandingkan diri dan  mengukur diri dan menggariskan suatu cita garis juang. Tetapi, karena mazhab Wakidi ini begitu lama berkuasa, dapat pula dipulangkan kepada jiwa masyarakat  agraris yang bersifat statis, manusianya hidup dalam kolektivisme, sebagai manusia individu segan meluarkan diri dari kelompok yang banyak. Manusianya cepat menutup diri terhadap sesuatu yang baru, dan yang datang dari luar.

Terhadap ini dia bersikap waspada seolah‐olah ada sesuatu yang mencurigakan, ada sesuatu yang mungkin mengancam keutuhan jiwanya. Atau dapat  pula  dijawab,  karena  kesetiaan  murid  pada  guru kuat tertanam budi seorang guru yang pertama membukakan mata hati dan karena itu, yaitu akan kebenaran jalan yang ditempuh. Walaupun dalam kelanjutan perkembangan hidupnya mungkn dia banyak belajar lebih mengarahkan jiwanya dari berbagai kesempatan, umumnya  tetap dia akan menngatakan  gurunya,  yang  pertama itulah.

Pelukis‐pelukis Sumbar yang telah dikenal di zaman kolonial Belanda diantaranya Nasrun A.S., Dahlan, Ilyas, Sabirin, Mudahar, Beduice (Buyung Dese), Hasan Jaffar, Ramli, Bahar, Zainal Abidin (juga seorang pelukis tulisan Arab), Oesman  Kagami  (Oeska)  Mismar,  Madjizir  dan  lain‐lain.  Pelukis‐pelukis kebanyakan lepasan INS, umumnya bermunculan pada permulaan Republik Indonesia di antara lain Mara Karma, Noerdin B.A, Anwarsjam, A.A. Navis, Nurdin, Hasan Basri, Dahlan, Arbi Sama, Haznil, Gani Lubis, Huriah Adam dan lain‐lain.

Peminat seni lukis Wakidi dan murid‐muridnya, tentu ditemukan di kalangan menengah. Di kalangan masyarakat biasa, soal lukisan atau soal gambar cukup merata dikenal. Kalau tak salah raba, mulai munculnya tentu sejak foto atau reproduksi dikenal di daerah Sumbar. Pengaruh foto ini luar biasa sekali. Semua rumah memilikinya. Tapi orang yang agak berada ingin memiliki foto yang diperbesar. Sampai sekarang ‘tukang  gambar’ yang pandai memperbesar foto masih laku. Dan teknik gambarnya boleh dikatakan lumayan. Apalagi telah merupakan keterampilan yang telah lama dimiliki.

Di samping seni memperbesar foto ini, rakyat juga senang sama lukisan yang dibikin di atas kaca. Kalau dilihat pada mulanya (masih di zaman Belanda) pelukis‐pelukis kaca ini suka menggambar burung‐burung dan bunga‐bunga, dan baru belakangan melukis motif‐motif dunia Islam. Nampaknya ilmu ini diperoleh dari pelukis Cina, yang banyak menghiasi rumah‐rumah Cina kaya dengan lukisan‐ lukisan kaca.

Sampai sekarang seni rakyat ini masih banyak dibikin, hanya sayang mutunya sudah terlalu rendah. Karena umumnya mengejar pesanan yang banyak dan murah. Seorang  pelukis sanggup membikin 20 lukisan kaca sehari (ukuran k.l. 20 x 30 cm).

Ada lagi yang dapat dimasukkan dalam seni rakyat. Yaitu kesukaan pemilik otobus menghiasi badan belakang bus dengan lukisan. Dan ini merupakan lukisan pemandangan luas. Kalau dilihat dari jarak jauh, cukup mengesankan dengan lukisan apa orang berhadapan. Dan cara melukisnya boleh dikatakan seenaknya, tak ada kejar istimewa, namun kesannya mesti seperti benar. Lukisan rakyat itu dapatlah digolongkan kepada alliran ‘impressionisme‐kerakyatan’. Tapi ada kalanya bercampur dengan ekspressionisme. Ini dicapai kalau si pelukis tanpa sengaja ingin mengejar “dari jauh warna mesti tegas kelihatan,” sehingga kelompok warna yang bicara kalau dilihat dari dekat. Otobus bergambar ini belakangan tidak dilakukan lagi pada bus‐bus diesel baru. Rupanya keindahan desain bus itu telah cukup menarik bagi si pemilik; atau si pemilik tanpa disadarinya telah dididik seleranya oleh serba hasil baru teknologi Barat, sama halnya seperti semua orang Indonesia telah pandai memakai pakaian menurut mode mutakhir.

Kalau dilihat dari sudut pengetahuan rakyat di Sumbar di zaman kolonial tentang seni lukis, rasanya tidak ada orang yang tak kenal dengan nama Raden Saleh, lengkap dengan dongeng‐dongengnya. Begitulah kira‐kira situasi seni lukis di Sumbar di zaman kolonial Belanda.  Belanda  tidak ada  punya pikiran untuk campur  tangan  dalam  kebudayaan  rakyat  Minangkabau.  Rakyat asik dengan dirinya sendiri. Semua tenang‐tenang saja. Anak Minang yang dapat didikan Belanda menunggu mendapat kedudukan sebagai pegawai dan pensiun.

Bakat melukis menjadi kesenangan ala kadar. Mana di antaranya bisa mendapat penghasilan dari   kepintaran melukis, mereka ini pulalah yang kebetulan membentuk tanpa sadar ada kehidupan lukis‐melukis. Kebudayaan Belanda membiarkan rakyat bodoh untuk selama‐lamanya. Membiarkan rakyat miskin selama‐lamanya. Tetapi politik serakah Belanda menutup dirinya terhadap kemungkinan‐kemungkinan pengaruh dari kebudayaan Barat, dari pengaruh kemajuan teknologi dan hasil industri, dan pengaruh membalik dari kapitalisme dan imperialisme pada bangsa Indonesia yang dijajah. Dan ini semua di luar perhitungan  politik  kolonial  Belanda.  Sesudah merdeka Indonesia menyadari bahwa kemajuan kebudayaan Barat itu menimbulkan pertentangan batin dalam tubuhnya, sehingga menelorkan dua kali peperangan dunia, mana pengaruhnya terhadap dunia sampai sekarang tak bisa diperkirakan.

Karena itu pulalah, bangsa Indonesia pagi‐pagi hari sesudah merdeka telah menentukan  sikap  terhadap pengaruh kebudayaan asing. Sikap ini diikrarkan dalam beberapa Kongres Kebudayaan  Nasional. Proses pengaruh kebudayaan asing lebih banyak diserahkan kepada hukum akulturasi atau adaptasi. Sebetulnya dari zaman Jepang sampai Republik sekarang pengaruh kebudayaan asing melalui teknik audio‐visual terhadap kebudayan rakyat Indonesia umumnya dan Sumbar khususnya, tak terkirakan besar dan luas dimensinya. Segala sesuatu yang baru seolah‐olah dimakan, dilalap begitu saja dengan tidak ada pikir sedikit juga untuk memeriksa dan menelaahnya lebih dahulu. Seolah‐olah semua itu rezeki jatuh dari langit. Semua orang seolah‐olah takut ketinggalan zaman. Tempat berpijak bersama dalam menentukan sikap diri sebagai manusia yang berbudaya seolah‐ olah telah mustahil, tidak mungkin diketemukan. Karena itu di mana‐mana orang memacu diri dengan mengadakan seminar‐seminar dengan jarang kelihatan bukti follow‐up-nya.

Dan yang paling mengerikan ialah angkatan muda dengan laju larinya seolah‐olah tidak terturutkan lagi oleh orang tua. Segala apa yang baru bangun seolah‐olah mengagumkan dan menelan diri. Alhasil, kita seolah‐olah tidak mau tahu segala ini akan ke mana perginya.

Secara kecil‐kecilan begitu pulalah terjadi dalam dunia kesenian di Sumbar. Semua pengaruh baru melalui audio‐visual, rakyat mengambil apa yang dirasakan akan lebih  menyenangkannya.  Bahwa sesuatu itu asal‐usulnya  dan  banyak ceritanya  itu tidak terbayang dalam pikirannya. Secara  kebudayaan kita mengambil kulitnya saja. Dan dengan seenaknya kita kawinkan dengan seni atau selera yang kita miliki. Asal dirasakan hasilnya tidak bernada sumbang menurut rasa kita. Pokoknya fantasi berjalan terus. Bagaimanpun juga ini suatu kehidupan. Untuk memperbincangkan tidak ada waktu. Tidak tahu‐tahu lahirlah semacam warna daerah.

Kalau dalam bentuk seni rupa, akibat perbenturan dengan seni atau desain modern, kita banyak menemui bentuk yang ingin melebihi atau memaniskan bentuk yang asal. Yang asal diberi bungkus, diberi selendang pemanis. Karena kita lebih suka melagak dengan untaian hiasan luar. Bagaimanpun juga dia akan tetap menarik; kalu pandai dan mahir bersolek dia akan  mempesonakan. Perkembangan waktu akan memasukkan hasil seni gado‐gado ini tetap sebagai hasil seni daerah. Soal nilai, soal nanti. Ini contoh akulturasi atau adaptasi dari kebudayaan asing, yang telah meresap di jiwa rakyat.

 Kita teruskan dengan seni lukis di Sumbar

Perkembangan  seni  lukis  di  Sumbar  bergeraknya  tak  cukup  di  daerah Sumbar  saja.  Kalau  di zaman  kolonial  manusia  Minang  pergi  merantau  untuk mencari tambahan kekayaan kaum di kampung, menambah dan meningkatkan pendidikan dan kedudukan di masyarakat di rantau, dan sebagainya; kalau dia pulang kampung seolah‐olah dia tidak banyak membawa pengaruh alam rantau atau jiwanya masih merasa bahwa kampung halamannya adalah tempat dia bertolak dan tempat dia kembali. Tetapi sesudah Indonesia merdeka, rantau tiba‐ tiba  seolah‐olah  telah berubah  sebagai  tempat  mengubah  jiwa  anak  Minang, adalah adat tempat dia bersalin rupa lahir batin; dan manusia Minang di rantau dan di kampung seolah‐olah tidak bisa dipertemukan lagi. Cinta kampung cukup dibuktikan dengan pengiriman bantuan uang saja. Sebenarnya, perubahan jiwa ini tandanya  kurang  berdayanya  manusia  menghadapi  pengaruh‐pengaruh bertumpuk dari berbagai pergolakan, dan krisis‐krisis dalam negeri, dan pengaruh kebudayaan modern yang tidak begitu kita kenal jiwanya, tetapi yang dapat mengubah kita asing dengan kebudayaan sendiri.

Tentang   kebudayaan modern kita telah seia‐sekata mengatakan   ini kemajuan namanya. Mau maju, ini suatu kata makjizat bagi anak Minang di kampung.  Karena itu semuanya mau hijrah ke rantau. Rantau di sini berarti Jakarta, pulau Jawa dan ada kalanya Medan. Selama kemerdekaan, hijrah ini mengambil dimensi yang tak terkirakan, sehingga seolah‐olah tenaga‐tenaga yang terbaik, lebih‐lebih anak‐anak muda yang sedang pada pucuk semangatnya habis terkuras  dari  Sumbar.  Lebih‐lebih  lagi  kekayaan  yang  ikut  hijrah  ke  rantau. Sehingga pada suatu saat ada orang mencatat, bahwa pembangunan yang paling terbelakang adalah di Sumbar.

Begitu pula dunia seni lukis Sumbar pada suatu saat terjadi suatu peristiwa yang ikut mempengaruhi perkembangan seni lukis di Sumbar. Arus pelukis merantau bertambah. Peristiwa ini ialah suatu pameran seni lukis yang dibawa pelukis  Kusnadi atas  nama  Pemerintah  Pusat. Pameran lukisan  dari  kumpulan karya‐karya pelukis Pusat diselenggarakan di Bukit Tinggi di tahun 1952. Buntut dari pameran ini adalah pengiriman beberapa pelukis (dari INS) oleh pemerintah daerah untuk meneruskan studi ke ASRI Yogya. Ada dua kali pemerintah mengeluarkan beasiswa. Yang pertama ke bagian pelukis Anwarsjam, Dahlan dan Hasan Basri. Yang kedua ke bagian pelukis‐pelukis Arbi Sama, Jalaludin dan Husni. Sebelum dan sesudah ini telah ada beberapa orang pelukis pergi merantau untuk mencari kemajuan diri. Dan mereka berhasil dalam perjuangannya.

Di antaranya bisa dimasukkan pelukis Zaini, Mara Karma, Hasan Jaffar dan Mahyuddin, Aziz BA. Pelukis‐pelukis yang berhasil di rantau ini tidak bisa dimasukkan dalam mereka yang ikut membentuk seni lukis di Sumbar. Mereka menemukan bentuknya di rantau dan harapan mereka akan kembali ke daerah tipis sekali. Pada masa permulaan Republik, ada juga perkumpulan seniman di Sumbar, “Semi” (Seniman Muda Indonesia) di Bukit Tinggi. Di antara pengurusnya A.A.  Navis.

Salah satu usaha pembaharuan yang terpuji ialah usaha tipografi, pelukis Baharuddin datang dari Jakarta ke Padang Panjang. Dia memperkenalkan seni lukis modern di sekolah INS yang sedang bertempat di Padang Panjang di tahun 1952‐1954. Prestasinya ialah pelukis Nurdin. Sesudah itu pelukis Baharudin pergi merantau lagi.

Memang sesudah gelombang pertama ini ada juga tenaga‐tenaga berbakat pergi ke Jawa melanjutkkan studi, tapi mereka ini masuk kategori tenaga‐tenaga hijrah yang membesarkan  rantau. Gerakan  merantau  ini  betul‐betul mengeringkan daerah Sumbar dari tenaga yang dapat membangun daerah itu. Perkenalan dengan serba yang datang dari luar tenaga hijrah Minang mengubah mereka jadi manusia pintar dan cerdik dan tahu harga diri dan pengaruh yang paling hebat ialah terjadi suatu revolusi dalam jiwa terhadap penilaian segala soal. Dia menjelma jadi manusia Minang baru. Sebenarnya itulah Minang. Yaitu di mana ada langit di atas bumi yang dipijak, di sana dia bisa hidup. Hanya sayang dalam fase perubahan jiwa ini mereka terlalu disilaukan oleh kemenangan mengejar keuntungan materi sebanyak‐banyaknya, sehingga  banyak  menjelma jadi manusia materialistis yang tak “sedia berbagi” dengan kaum, itu suatu sifat luhur dari nenek moyangnya, sedapat mungkin dalam penjelmaan baru ini dihindarkan.

Kalau secara adatnya namanya: matriarchaat ditukar dengan patriarchaat. Begitulah mereka yang telah hidup secara patriarchaat di rantau jangan diharap mau pulang kampung. Adalah suatu kemustahilan atau tindakan gila kalau ada seorang yang mencapai kemajuan di rantau akan mau pulang kampung; pulang Cina  namanya.  Semua  orang  pintar  dan  kaya  di  rantau  berkata,  dia  tak  bisa pulang, apalagi untuk membangun, disebabkan tata hidup matriarchaat   tidak bisa dipertahankan lagi dan di kampung akan hidup penuh dengan kegelisahan dan mau mengubah diri dan perongrongan batin. Dalam segala hal kata hati bisa bertemu. Irama jiwanya tidak sama lagi dengan irama jiwa orang kampung. Kata orang‐orang pintar ini biarlah daerah dibantu dari jauh saja, dan baru mereka mau pulang kalau  daerah  sedia  menerima  kehidupan  bergaris  patriarchaat. Artinya kesentausaan kehidupan berkeluarga seseorang jangan diganggu.

Hanya sayang orang‐orang pintar di rantau lupa apa yang dapat diharapkan dari mereka yang tinggal di kampung yang kurang punya potensi dalam daya pikir sampai daya berbuat. Jadi sebenarnya jurang pertemuan pengertian dari dari segala kehendak cita dan pembangunan menyeluruh dalam arti akan mengisi semua  cabang  kehidupan, antara mereka yang di daerah dengan mereka yang maju merantau, terlalu lebar.

Artinya, kalau orang daerah ingin maju, mesti diperoleh dengan kekuatan tenaga sendiri. Bagaimanapun juga pada suatu saat, akibat kesadaran bahwa bangsa Indonesia ini toh mesti dibangun secara serempak, daerah tak akan lagi mengalirkan tenaga‐tenaga terbaik ke luar terus‐menerus dan panggilan nasib mempertahankan  hidup  serta  mengembangkannya  mesti  disadari  berada  di tangan sendiri.

Ujian hukum bertahan untuk melanjutkan hidup ini, daerah Sumbar telah mengalami dan melampauinya atau mengatasinya menjelang tahun 1970, Sumbar telah melewati  titik  jenuh  pengeringan  tenaga.  Menjelang  tahun  ini  daerah Sumbar telah mulai membangun daerahnya dengan tenaga sendiri hasil tamatan fakultasnya atau perguruan tingginya. Begitu pula dalam seni lukis, IKIP Padang bagian Pendidikan Seni Rupa diasuh oleh tenaga lepasan ITB, yaitu Adrin Kahar, sannggup berdiri sendiri. SSRI dibawah pimpinan lulusan ASRI Yogya. Kebudayaan Bagian Seni Rupa dikepalai Arbi Sama lulusan ASRI Yogya. Wisran Hadi, lulusan ASRI, pengaruh pendidikan seni rupa di INS Kayu Tanam.

Pemerintah   sedang   giatnya   membangun   sarana‐sarana   kesnian.   IKIP Padang baru‐baru ini telah punya ruang ameran dan studi.   Di Pusat Kesenian Padang telah berdiri suatu Teater Tertutup. Museum Minangkabau sedang giat dibangun dan tahun depan akan dibangun ruang pameran.

Nyata daerah Sumbar dengan tenaga sendiri sedang giat membangun, termasuk pembagunan kesenian. Mungkin dengan perkembangan baru ini, orang Minang di rantau dan yang di kampung akan dapat bertemu dalam semangat bersama membangun. Karena daerah Sumbar jauh ketinggalan waktu dalam pembangunan  kesenian, namun ada juga keuntungan  karena  dapat  belajar banyak dari suka‐duka usaha daerah‐daerah yang maju, yang lebih berpengalaman. Yang dapat mempercepat Sumbar berada dalam dinamik kehidupan kesenian, di antaranya bisa diperoleh dari kerjasama dengan Badan Kesenian dari daerah‐daerah lain, terutama dengan Jakarta.

Tentu tiap‐tiap daerah punya kecenderungan ingin membedakan diri dari daerah lain, yaitu mencari warna sendiri. Kalau si senimannya betul‐betul mau hidup 100% sebagai seniman, tetap wajar  dan  jujur  mengikuti  perkebangan  gerak  jiwa  seninya,  tentu  dengan sendirinya dia pada suatu saat akan membedakan dirinya dari seniman‐seniman lain. Dan tentu pula kelompok seniman dimana dia jadi salah seorang anggotanya akan mempunyai warna tersendiri, lain dari kelompok seniman dari daerah lain.

Tetapi usaha yang paling berat dan yang akan banyak minta perhatian terus‐menerus di Sumbar, ialah usaha memasarkan seni lukis atau seni rupa ini. Karena tujuan akhir dapatkah si seniman itu hidup dari sambutan masyarakat.

______________________

Oesman Effendi (sumber foto: wikipedia.org)

Oesman Effendi lahir di Padang, Sumatera Barat, tahun 1919. Pada awalnya, Oesman tidak pernah menjalani pelatihan seni formal, tetapi pernah memenangkan lomba ex libris untuk Bataviasche Kuntskring tahun 1938. Baru pada tahun 1947 ia mendalami seni lukis sebagai anggota kelompok SIM (Seniman Indonesia Moeda), mula-mula di Solo, kemudian pindah ke Yogyakarta dan kembali ke Jakarta pada tahun 1949. Di Jakarta ia menjadi anggota GPI (Gabungan Pelukis Indonesia) tahun 1949-1951. Ia dikirim ke Belanda oleh Bank Indonesia pada tahun 1951 untuk membuat disain uang kertas. Oesman Effendi mengambil bagian dalam pameran-pameran seni lukis Jakarta pada tahun 1960 dan 1962, dan kemudian memenangkan penghargaan di Pameran Besar Lukisan Indonesia II pada tahun 1976. Tahun sebelumnya, 1974, ia menerima diploma dalam seni grafis dari Academie Della Arte del Disegno di Firenze, Italia. Oesman adalah anggota DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) dan seorang dosen seni di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Ia sering menulis untuk majalah dan surat kabar.

Oesman Effendi meninggal di Jakarta pada tahun 1985. Sejak tahun 1950-an Oesman mulai dikenal sebagai perintis gaya abstrak bersama pelukis-pelukis lainnya seperti: Zaini, Nashar dan Rusli. Mereka  mengungkapkan dunia, obyek-obyek, tema-tema dalam irama ungkapan yang geometris, meditatif, puitis, dramatis bahkan magis.

______________________

Sumber: Arsip ivaa-online.org

*artikel ini merupakan Ceramah di TIM, dalam Pekan Seni Antar Dewan Kesenian, 18 juli 1976. Dan pernah dimuat dalam Budaya Jaya No.100 TH.IX, September 1976.

*gambar cover: Lukisan “Kutup Selatan” karya Oesman Effendi (1969-1978)

Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok belajar seni dan media yang berbasis di Kota Solok, sejak tahun 2011. Kelompok ini berfokus pada pengembangan seni sebagai metode riset. Serta menjembatani kolaborasi profesional (seniman, peneliti, dan penulis) dan warga dalam mendedah persoalan-persoalan budaya lokal di Solok secara khusus dan Sumatera Barat secara umum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.