Mozaik Isu di Hari Kelima

Catatan hari kelima lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi

Hari kelima Lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi, 22 September 2017, setelah shalat Jumat dan makan siang, para partisipan kembali memulai aktivitas untuk pergi mencari data ke lapangan. Partisipan dibagi menjadi dua tim, yang satu adalah Diva dan Kiki, dan satu lagi adalah saya dan Hafiz.

Kami pun berangkat berpencar meninggalkan kantor Gubuak Kopi, Kiki dan Diva memulai melakukan perjalanan observasi berkeliling kota solok, dan tertarik untuk singgah pada tempat persediaan hasil tambang atau disebut stockpile, yang berlokasi di Laiang, Solok.

Dan Saya bersama Hafiz, yang merupakan teman sekaligus partisipan dalam kegiatan lokakarya ini, juga berkeliling Kota Solok. Kita sempat mengitari Terminal Bareh Solok, untuk mengambil beberapa data yang dibutuhkan, dimana terminal ini kini telah tidak selapang dahulu karena banyaknya aktivitas pembangunan di sekitar terminal tersebut. Tidak banyak data yang dapat dikumpulkan, kami pun melanjutkan perjalanan kembali.

Tak jauh dari lokasi sebelumnya, pandangan kami tertuju pada susunan mozaik di tepi jalan dan memutuskan untuk mengambil beberapa gambar dan video, dan tertarik menemui seniman pembuat mozaik tersebut. Banyaknya mozaik yang terpampang di tepian jalan ternyata hanya dibuat oleh seorang pengrajin saja. Bapak ini biasa disapa, Pak Iwan. Pak Iwan telah menjalani pekerjaan ini selama kurang lebih 12 tahun di Solok. Ketertarikannya dimulai saat belajar secara otodidak di Sawahlunto. Dulunya pada tahun 50-60an mozaik cukup banyak diminati, namun kini peminat dari mozaik yang dicetak secara manual telah kalah saing oleh pabrik yang bisa memproduksi cetakan secara instan.

(kiri-kanan) Pak Iwan dan Hafiz di studio mozaik Pak Iwan

Mozaik terdiri dari bahan baku yang cukup mudah ditemui seperti, batu, semen, kerikil, cetakan, dan bensin sebagai poles atau pengkilap, juga  berupa alat tambahan lainnya. Ketertarikan Pak Iwan dengan mozaik juga tak lepas dari kesadarannya akan alam, dia juga menemukan batu menyerupai tengkorak kepala manusia, yang katanya berasal dari proses pendinginan lahar selama berabad-abad tahun yang lalu, serta beberapa batu unik lainnya. Dalam sehari Pak Iwan dapat memproduksi 16 cetakan, serta pengeringan yang juga memakan waktu sehari. Di samping rutinitasnya, ia memproduksi mozaik untuk dijual. Pak Iwan juga membuat karya lukis dengan campuran media batu.

Pak Iwan mengaku tidak mempunyai saingan selain pabrik, di Solok.  Selain itu Pak Iwan juga dengan mudah menumpangkan mozaiknya di halaman sebelah studionya. Karena tetangga juga tidak terganggu dengan kehadiran mozaiknya yang terpajang. Ia juga tidak terlalu berhubungan dengan Dinas Pariwisata, yang  hanya masuk dalam agenda proyek saja, selain itu juga tidak terlalu menguntungkan karena Pak Iwan merasa terbebani karena ada saja pajak tambahan dari pihak pemerintahan. Selain mencetak mozaik ia juga membuat ukiran cetakan berbahan gipsum untuk menambah variasi dari mozaik tersebut. Pak Iwan juga senang bereksperimen dengan mencampurkan media-media tambahan untuk memperkaya bentuk mozaiknya.

 

Tambang pasir di Banda Panduang.

Tambang pasir di Banda Panduang.

Setelah cukup berbincang-bincang seputar mozaik dan mendokumentasikan beberapa data dari situ, kami berdua izin pamit kepada Pak Iwan untuk melanjutkan observasi. Tak lama berkeliling, kami berdua singgah di sebuah warung dan tanpa sengaja melihat pohon getah karet serta beberapa tempurung kelapa sebagai penampung getah, membuat kami tertarik mendokumentasi beberapa data di sana termasuk bunyi-bunyian hewan yang ada di situ. Setelah rasanya cukup, kami berdua pun kembali ke kantor Gubuak Kopi untuk memindahkan data-data yang telah di ambil untuk di diskusikan kembali. Pada pukul 20.30 sehabis makan malam kami pun mulai mendiskusikan apa yang sudah di dapat dari hasil observasi tadi, Para partisipan pun mulai mempersiapkan bahan yang akan di presentasikan.

Presentasi pertama dimulai oleh Hafiz, mempresentasikan data hasil observasi tentang mozaik serta memperjelas kelanjutan risetnya tentang manggaro atau tali oyak-oyak untuk mengusir burung di sawah. Serta presentasi kedua dilanjutkan Joe Datuak, karena terkendala saat akan observasi terkait berita duka tadi siang, Joe datuak mempresantasikan kegiatannya di hari ketiga yaitu tentang silek “sinpia”. Dan dilanjutkan oleh Kiki yang menjelaskan tentang ketidak terbukanya pemilik pada tempat persediaan hasil tambang atau disebut stockpile, yang berlokasi di Laiang, Solok. Setelah itu, hari telah menujukkan pukul 11.00 malam dan kami menutup sesi presentasi. Presentasi kali ini juga dihadiri oleh salah satu teman bernama Ridho yang rencananya juga ingin menjadi partisipan lokakarya, namun tertunda karena terkendala urusan tugas akhir kuliannya. Sementara Vera, izin untuk mempersiapkan wisudanya besok.

Zekalver Muharam (Solok, 11 Juni 1994), adalah mahasiswa Jurusan Senirupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Aktif sebagai pengurus di Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2015. Selain itu ia juga aktif membuat karya komik, mural, dan lukisan. Tahun 2018, bersama Gubuak Kopi, ikut berpameran di Pekan Seni Media, di Palu. 2018, sebagai seniman partisipan dalam proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi #2. Dan aktif menjadi fasilitator bersama Program Daur Subur, sebuah platform studi kebudayaan masyarakat pertanian yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.