“apa lagi di buku-buku kesenian sekolahan, sebagian besar muatannya adalah Jawa.”
Palmer Keen adalah seorang pengarsip seni tradisi dari Los Angles-USA, Sejak empat tahun terakhir juga aktif mendokumentasikan dan mempublikasi kesenian tradisi (lokal) di Nusantara melalui situs yang dikelolanya http://www.auralarchipelego.com. Menurutnya kasus serupa sebenarnya tidak hanya terjadi di Sumatera Barat, tapi juga terjadi di banyak daerah di Nusantara (Indonesia). Kurangnya informasi dan publikasi dalam bahasa Inggris menjadi salah satu asalan Palmer untuk menjalani proyek ini. Sungguh pun begitu, kegiatan yang ia lakukan tidak hanya untuk orang di luar Indonesia saja tetapi juga untuk komunitas lokal.
“bagi saya idealnya mengembangkan dan melestarikan seni tradisi adalah tanggung jawab komunitas lokal itu sendiri, tidak pemerintah, ataupun universitas.”
Bagi Palmer hal itu harus segera dilakukan mengingat sedikitnya regenerasi dari kesenian yang sangat menarik dan langka. Beberapa kesenian yang diteliti waktu itu diantaranya: Talempong Sambilu (Silungkang, Sawahlunto), Saluang Sirompak (Taeh Baruah, Payakumbuh), Talempong Batu (Suliki, Limopuluah Koto), Basijobang (Sungai Tolang, Payakumbuh), dan Muluk (Lintau). Kesenian ini pada dasarnya merupakan kesenian yang hanya ditemukan di daerah itu saja.
Dalam diskusi tersebut Palmer juga menyampaikan kekagumannya atas aksi Pak Umar yang berusia sekitar 80 tahun namun masih kuat bermain dan membuat alat musik tersebut. Sebenarnya kesenian ini juga pernah dikenalkan di sekolah-sekolah di Sawahlunto namun di daerah Silungkang itu sendiri tidak ada regenerasinya.
“sedangkan kesenian itu adalah kesenian Silungkang bukan Sawahlunto, artinya ia adalah representasi daerah lokal itu, daerah yang asri pebukitan Silungkang, bukan Kota Tambang, Sawahlunto.”
Menanggapi Talempong Botuang, Albert yang sebelumnya juga pernah menulis tentang ini, menambahkan, bahwa kesenian ini memiliki dua repertoar (lagu) yang menarik, yakni berjudul “Malereng Ngarai Basurek” dan “Mandaki Ngarai Basurek” dua lagu ini sebenarnya representasi dari aktivitas masyrakat Silungkang itu sendiri, terutama daerah tempat bapak Umar ini. Ngarai Basurek adalah nama tempat pebukitan disana, malereng (menurun) dan mandaki (mendaki) adalah aktivitas yang mereka lewati setiap harinya untuk berkebun dan berinteraksi dengan warga lainnya. Hal ini lah ciri khas musik di Minangkabau, yang sangat dekat keadaan lokanya dan juga sebagai dokumentasi keseharian mereka. Secara musikal lagu-lagu ini kedua lagu ini memiliki krakter kontras, yang satu contour (kontur/pola gari nada) nadanya naik, dan yang satu lagi turun, sesederhana itu, kira-kira begitu cara mereka menikmati keseharian mereka.
Kemudian temuan menarik juga mereka ditemukan di Suliki, tak jauh dari rumah kelahiran Tan Malaka. Di sana terdapat Talampong Batu yang bisa dikatakan sangat kuno. Seperti yang dikatakan Palmer, Jarang sekali ada peradapan yang memainkan musik dari media Batu. Yang membuatnya menarik adalah keterputusan sejarah mengenai musikal dari kesenian ini. Sebelumnya batu itu menurut warga lokal merupakan batu-batu yang terpencar. Kemudian disusun berdasarkan ukuran, lalu setelah datangnya beberapa akademisi dari Aski Padangapanjang (ISI Padangpanjang) susunan batu ini ditata untuk bisa diamainkan seperti kesenian Talempong Pacik yang sangat umum di Minangkabau. Warga lokal sendiri tidak mengetahui alasan pengulangan susunan itu, selain agar bisa dimainkan seperti talempong pacik. Palmer sangat menyayangkan hal itu, kesenian ini menjadi tidak lagi organik.
Berikutnya adalah kesenian Muluk, sebuah kesenian vokal yang melantunkan syair berupa pujian terhadap nabi Muhammad selaku pemimpin umat Islam. Syair yang berbahasa Arab itu menurut Palmer terasa ‘sangat minang’. Ia mengaku walau tidak mengerti bahasa Arab ia bisa merasakan nyanyian itu cukup menyentuh perasaannya. Dengan demikian, seperti yang ditambahkan Albert, kesenian ini digunakan sebagai salah satu dakwah dan cara pengembangan agama Islam di Minangkabau. Ada beberapa kesenian lokal lainnya yang melakukan hal seperti, negosiasi antara “Agama dan kebudayaan” yang tercermin dalam kesenian. Dari sini kita bisa mengimajinasikan bagaimana agama itu begitu melekat dalam diri Orang Minang.
“Tentunya cara ini sangat berbeda dengan cara yang dibawa oleh Imam Bonjol ataupun seperti banyak ulama yang ‘kearab-araban’ sampai di Indonesia.” Albert
Ada banyak peristiwa kesenian lokal lainnya yang juga menarik untuk dibicarakan malam itu. Nantikan kuliah dan diskusi menarik lainnya di Program Kelas Warga Gubuak Kopi.
___________
(hms)