Tag Archives: Kultur Sinema

DOC. SINEMA POJOK 7

Dokumentasi penayangan: Emak Bakia (Leave Me Alone) karya Man Ray (France, 1926), 16 Menit, bisu; dan Marah di Bumi Lambu karya Hafiz Rancajale (Indonesia, 2014), 93 menit. Bahasa Indonesia.

Sabtu, 20 Februari 2016

19.39 Wib
at Palanta Sinema Pojok Gubuakkopi.
Jln Yos Sudarso, 427, Kelurahan Kamp. Jawa, Kota Solok. (TK Al quran lama)

Link terkait: Poster Sinema Pojok #7 


foto oleh

Taufik, Dhely, Albert

Mengenal Bahasa Puitis Ivens

Pada Jumat, 06 November 2015, lalu Komunitas Gubuak Kopi melalui Sinema Pojok mengadirkan tayangan spesial bertajuk: bahasa filem yang puitis. Dalam rangkaian kurasi sederhana itu dipilih beberapa karya Joris Ivens pada awal karirnya – yang juga masa awal kehadiran filem. Karya tersebut diantaranya: Movement Studies in Paris (Studi Gerak di Paris) diproduksi tahun 1927, Regen (Hujan) produksi tahun 1929, dan A Valparaiso diproduksi tahun 1965. Continue reading

KURANGNYA RUANG DISKUSI FILEM DI KOTA KAMI

Oleh: Fauzia Fuaddy

Belum lama ini teman saya, Albert Rahman Putra, ketua dari Komunitas Gubuak Kopi, berkunjung ke salah satu event festival filem internasional di Ibu Kota, yakni ARKIPEL, Jakarta Internasional Documentary & Experimental Film Festival yang diselenggarakan oleh Forum Lenteng pertengahan Agustus lalu. Aber, begitu kawan – kawan memanggilnya. Seperti biasa setiap kepulangan rekan-rekan Komunitas Gubuak Kopi dari “jalan-jalan” kita akan berbagi pengalaman untuk saling menambah ilmu. Di kepulangannya beberapa waktu lalu, Alber berbagai tentang wacana dan perkembangan filem yang ia dapati dari komunitas atau kelompok yang hadir di sana, seperti Komunitas Pasir Putih, Akumassa, Kotak Hitam, dan komunitas pegiat seni media lainnya. Pada event Arkipel ini, Aber juga belajar bagaimana sebuah komunitas membangun kepedulian dengan menghasilkan suatu karya yang mungkin bisa dijadikan objek kritis masyarakat. Misalnya melalui Filem Dokumenter atau filem yang mungkin belum pernah kita jumpai di televise – yang mayoritas hanya menyajikan filem hiburan. Continue reading

Peluncuran Sinema Pojok

Sinema Pojok adalah sebuah bioskop non-komersial yang berbasis di Kota Solok, Sumatra Barat. Program ini merupakan inisiatif dari Komunitas Gubuak Kopi atas kebutuhan akan pengetahuan sinema, serta mendistribusikannya melalui kegiatan pemutaran film reguler. Film-film yang akan diputar oleh program Sinema Pojok ini adalah film-film yang bisa menjadi pilihan lain / alternatif untuk ditonton oleh publik. Program ini akan banyak menyediakan berbagai jenis film mulai dari film klasik, kontemporer, film panjang maupun pendek, film lokal maupun luar negri, film aktifisme, film experimental, film non arus utama, serta film-film yang dianggap penting dalam sejarah dunia. Ruang ini juga diadakan sebagai tempat bertemunya para pencinta film dan berbagi kecintaan tentang film serta sejarah sinema dunia.

DSC06440

Albert (Ketua Komunitas Gubuak Kopi) saat memperkenalkan program Sinema Pojok

Jum’at yang lalu, tepatnya pada tanggal 02 Oktober, Komunitas Gubuak Kopi menggelar acara grand opening program Sinema Pojok di Ruang Terbuka Hijau, Kota Solok. Dengan mengandalkan sosial media yang sedang marak dikalangan anak muda jaman sekarang, program ini cukup dikenal oleh media berkat bantuan @infosumbar, forum lenteng, dan juga Radio Fanesha 5 FM. Acara ini dibuka dengan pertunjukan perkusi oleh group Ethnic Percussion, Padang Panjang, dimeriahkan juga dengan penampilan arkustik pengamen jalanan pada acara penutupannya. Film yang ditayangkan pada malam pertama Sinema Pojok ini adalah Harimau Minahasa yang disutradarai oleh Andang Kelana & Syaiful Anwar. Film Harimau Minahasa ini berdurasi 63 menit. (lihat poster terkait: Poster Harimau Minahasa)

Film Harimau Minahasa sendiri berkisah tentang seorang pemuda rantau dari Jember yang bernama Ateng, bekerja di perkenbunan Pala, Minahasa Utara. Kultur Minahasa Utara sendiri mayoritas berupa identitas homogen dalam sebuah sistem keyakinan tertentu: tampak dari simbol-simbol yang menghiasi sepanang jalan pada halaman rumah-rumah penduduk. Namun, Budiono, nama asli pemuda tersebut, bisa diterima oleh warga untuk bekerja, dan tinggal di sebuah rumah perkebunan. Di perantauan, ia tak bisa mngungkiri keterikatan identitas asl muasal leluhurnya. Hal itu terungkap dalam alam bawah sadarnya; ia dirasuki leluhurnya sendiri. Dialog dalam peristiwa kesurupan itu mempertegas identitas asal tersebut; komunikasi yang tak terjembatani akibat perbedaan bahasa, identitas asal merupakan hal yang selalu hadir dan menyertai Ateng di manapun ia berada. Inilah sekilas ringkasan dari film Harimau Miahasa yang ditayangkan perdana oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam program barunya Sinema Pojok.

DSC06463

DSC06458

Suasana menonton filem Harimau Minahasa karya Andang Kelana & Syaiful Anwar

12112453_1081210068557372_7430663820393748393_n

Fauzia saat membacakan deskripsi filem

12109224_1081209958557383_4551929353456943367_n

Pertunjukan dari Ethnic Percussion Padangpanjang

DSC06474

Pertunjukan kolaborasi kelompok seniman/pengamen jalan Kota Solok dengan Ethnic Percussion Padangpanjang.

DSC06527

Foto bersama: Komunitas Gubuak Kopi, Minangpalal (Bukittinggi), Mahasiswa Ummy (Solok), Ethnic Percussion (Padangpanjang) dan teman-teman penonton lainnya dari Padang, Solok, dan Padangpanjang

Harimau Minahasa dan Sinema Solok

Ateng tiba-tiba kehilangan dirinya, ia mengejang berlagak seperti harimau, mencakar, jungkir balik, lalu berbicara dalam bahasa Jawa. Tubuh itu kini mengaku sebagai eyangnya Ateng. Ateng kerasukan roh eyangnya. Entah benar entah tidak. Tapi ia benar-benar geram ketika bahasa Jawa nya dibalas dengan bahasa Indonesia oleh Andang (sutradara). Pertanyaan-pertanyaan eyang sering kali mendapat jawaban yang tidak nyambung, karena si Andang pun tak mengerti bahasa Jawa. Percakapan tidak terjembatani. Ia geram tapi tak berhenti bertanya.

Continue reading

Nostalgia Kultur Sinema di Batu Kubung

Sabtu, 26 September 2015 lalu adalah sebuah peristiwa yang sarat sejarah bagi masyarakat Perumahan Batu Kubung. Setelah cukup lama absen, sinema sebagai kultur massa kembali menghiasi ruang publik masyarakat Perumahan Batu Kubung. Malam yang menjadi malam pembubaran panitia 17-an Agustus lalu, pemuda Perumahan Batu Kubung menggelar penayangan filem.

Bagi saya, kegiatan yang diinisiasi oleh WADADIBAKU atau Wahana Pemuda Pemudi Batu Kubung ini menggiring ingatan pada situasi puluhan tahun lalu, pada suasana layar tancap. Saya masih ingat, sebelumnya, semasa masih dibangku Sekolah Dasar, di tempat yang sama, dilapangan yang sama, setiap 17-an juga digelar kegiatan layar tancap. Namun, suasana itu telah lama hilang seiring dinamika kultur sinema di Solok. Belakangan ini, sinema sebagai kulutur massa hanya bisa ditemui di ruang-ruang privat, ruang keluarga maupun kamar. (baca juga: Nostalgia Layar Kejayaan) Continue reading

Referensi Yang Buram

Catatan dari pameran “Jajahan Gambar Bergerak” dan Ngobrol Sinema Bersama Kuratornya

Malam itu, 19 Agustus, 2015, kami, para pengunjung, diajak memasuki sebuah ruangan yang gelap. Di dalamnya, beberapa layar bercahaya bergantungan dan menempel di dinding-dinding, membingkai citra diam dan citra bergerak hitam-putih. Di lantai pertama, gambar-gambar yang tersaji merupakan materi arsip terkait sejarah sinema yang didatangkan ke Hindia-Belanda. Arsip-arsip itu dikumpulkan dan dikurasi oleh Mahardika Yudha untuk program Peradapan Sinema dalam Pameran #2 yang bertajuk “Jajahan Gambar Begerak: Antara Fakta dan Fiksi”, bagian dari ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, yang telah berlangsung dari tanggal 19 – 29 Agustus, 2015. Tajuk tersebut adalah lanjutan dari Peradaban Sinema dalam Pameran #1 di perhelatan ARKIPEL Electoral Risk – 2nd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival tahun lalu, yakni “Jajahan Gambar Bergerak: Lumière (1896-1900)”.

Continue reading

Nostalgia Layar Kejayaan

Bagunan tua itu terletak di jantung kota, Simpang Surya, tepatnya arah memasuki terminal angkot Kota Solok. Dua tahun lalu kita masih bisa melihat sebuah layar yang dilukis grafis di pekarangan bangunan, lengkap dengan jam tayang, sebuah poster filem yang akan tampil minggu ini. Poster itu terabaikan ditengah sibuknya aktivitas pasar dan terminal. Di bibir pagarnya sampah – sampah berserakan dan para pedagang memarkirkan becak mereka diperkarangannnya. Kini (29 January 2014) bangunan ini telah diisolasi dengan seng setinggi kurang dua meter, di dalamnya tengah terjadi sebuah pembangunan komplek toko yang mungkin bisa dimanfaakan oleh beberapa pedagang. Sejak itu Solok resmi tidak punya bioskop.

Continue reading

Catatan Aku Kita Dan Kota

“Kita” Inisiatif Kolektif, Lebih Dari Sekedar Adipura.

 

Beberapa bulan lalu tepatnya 22 April 2012, hari itu saya sebagai warga Solok bangga akhirnya kegiatan Aku Kita Dan Kota (AKDK) yang sudah menjadi wacana bertahun-tahun ini terlaksana. “Aku” adalah individu, “kita” adalah kelompok individu (kolektif), dan kota adalah tempat bermuaranya si”Aku” dan “Kita” tadi. Apa yang dilakukan “aku” dan “kita” adalah bagian penting yang membentuk karakter kota tempat mereka berkembang tersebut. Continue reading