Siang itu, 7 Maret 2017, sekitar jam 10.20 di Terminal Angkot Kota Solok, cuaca sangat bersahabat. Tampak suasana terminal yang sudah ramai dan menimbulkan kebisingan akibat suara mesin angkutan kota (angkot). Tidak hanya angkot yang ada di terminal itu, tetapi banyak juga ojek dan pedagang d ipinggiran Terminal Solok yang mengisi ruang-ruang di area tersebut. Kurang-lebih sudah 50 tahun terminal ini berdiri dan menampung ribuan kendaraan bermotor yang melewatinya. Di dalamnya, banyak juga gedung-gedung tua berdiri di sekitar Terminal Angkot Kota Solok. Ada sebuah gedung di tengah terminal yang dulunya merupakan tempat menjual karcis angkutan bus kota, tapi sekarang sudah menjadi toko-toko kecil, terlihat dari tekstur bangunan yang berada di tengah-tengah Terminal Angkot Kota Solok. Dan juga pos penjaga terminal, yang menjadi saksi bisu dari kerasnya kehidupan di terminal. Sementara itu, gedung pertokoan yang berada di sebelah pos penjaga Terminal Angkot Kota Solok tersebut, dahulunya adalah sebuah bioskop lokal di Kota Solok. Warga menyebutnya “Bioskop Karia”. Continue reading
Tag Archives: Bioskop
Di Pasar, Kita Bersinema
Sinema di Pojok Pasar Kita, adalah perayaan sinema yang bertepatan di Hari Film Nasinonal. Dalam hal ini, Komunitas Gubuak Kopi, menjadikan perayaan Hari Film Nasional ini, sebagai check poin untuk mengevaluasi perkembangan sinema kita dari tahun ke tahun. Sinema di Pojok Pasar Kita, adalah perayaan pertama yang dilakukan oleh Komunitas Gubuak Kopi. Kali ini Komunitas Gubuak Kopi merealisasikan kegiatan ini bersama Rumah Kreatif, salah satu kelompok yang juga berbasis di Solok.
Dalam kesempatan pertama ini, kita mengajak masyarakat para pecinta film ataupun umum, untuk membaca kembali situasi perkembangan kebudayaan sinema di Solok, secara khusus, dan Sumatera Barat, secara umum. Kita mengajak publik menyoroti keberadaan bioskop terakhir di Kota Solok, yakni Bioskop Karia yang telah dirubuhkan pada tahun 2014, dan kini telah berganti dengan bangunan toko. (baca juga: Nostalgia Layar Kejayaan, 2014) Bioskop ini dirubuhkan atas rembukan berbagai pihak, baik itu dari si pemiliki perusahaan, pegawai, investor, dan pemberi subsidi. Bioskop Karia Solok, dalam hal ini hanyalah salah satu bioskop yang kalah dalam monopoli distribusi film di Indonesia. Menarik pula, tidak ada keinginan dari pemerintah untuk mengambil alih gedung ini.
Dalam hal ini kita tidak pula ingin menyebut-nyebut bioskop yang tua ini adalah ‘barang antik’, ataupun dulu bioskop ini lah sumber pendapatan terbesar di Solok, seperti yang sering disebut orang yang menyayangkan keruntuhan bangunan itu. Berdasarkan wawancara saya bersama bapak Haji Nasionalis, seorang projectionis Bioksop Karia Solok, sempat ada usaha negosiasi dari pihak perusahaan bersama pemerintahan untuk mengambil alih gedung ini. Namun, pemerintah atau pemangku kebijakan saat itu, menilai bahwa Bioskop ini tidak lagi memiliki lagi nilai ekonomis, malah sering kali disebut sebagai tempat maksiat. Saya sendiri, menilai persitiwa ini pertanda ketidak-berpihakan pemerintah terhadap kebudayaan sinema, dan yang lebih malang lagi adalah ketidaksadarannya pemerintah untuk melihat sinema sebagai sebuah kebudayaan. Mungkin akan berbeda kalau “bioskop” lebih dikenal dengan “taman budaya” atau “taman belajar” atau “gedung kebudayaan” dst.
Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daniel)Sulit pula menyalahkan pemangku kebijakan begitu saja. Di sini bioskop atau kebudayaan sinema memang semata-mata hanya dipahami sebagai “industri komersil” semata. Hal ini juga dipahami serupa oleh sebagaian besar masyarakat dan pemangku kebijakan di berbagai daerah di Indonesia. Di sini pemahaman mengenai sinema sebagai sebuah “kebudayaan” hampir tidak mendapat tempat. Pendidikan sejarah dan perkembangan sinema, itu barang kali yang kita tidak dapat selama itu. Infrastruktur, barang kali ada, namun prakteknya selalu mendahulukan kepentingan komersial semata. Hal ini tentunya berkaitan pula dengan tradisi rezim sebelum reformasi yang sangat lama membungkam kritik dan hal-hal yang bersifat aktivisme. Seiring dengan itu, kita sadar kebudayaan yang tidak eksotis, menjual, membangun mental kritis, hampir tidak mendapatkan tempat. Bahkan latah itu masih kita rasakan hingga sekarang.
Sengaja kita memilih Hari Film Nasional, untuk mengkampanyekan kesadaran ini: terlepas dari term film komersil atau tidak, film dan sinema juga harus kita sadari sebagai sebuah kebudayaan. Setidaknya pada kesempatan ini, kita bicarakan kembali cita-cita mulia “bapak perfilman” kita Usmar Ismail, tentang apa itu film Indonesia. Di antaranya, cita-cita mengembangkan sinema sebagai pembangunan kebudayaan dan persatuan. Kita bisa melihat kondisi saat itu, Indonesia sebagai negara baru membutuhkan yang namanya “kebudayaan bersama” yang bisa meningkatkan rasa persatuan kita. Lebih dari itu, kita sangat mengapresiasi kesadaran Usmar Ismail yang melihat dan mengkampanyekan sinema sebagai kebudayaan. Dari sini kita bisa tarik kembali secara runut apa itu sinema, film, dan perkembangannya di berbagai belahan dunia. (baca juga: Kurangnya Budaya Diskusi Film di Kota Kami, 2015)
Berangakat dari kesadaran itu, Komunitas Gubuak Kopi melalui program penayangan ‘bioskop alternatif’: Sinema Pojok, berupaya menghadirkan ruang berbagi pengetahuan sinema itu. Di sini kita menayangan sinema-sinema yang akui secara kritik maupun riset sebagai sinema-sinema penting di dunia. Selain itu kita juga berupaya mengembangkan kebudayaan sinema atau kebudayaan menonton kita dalam bentuk “layar tancap” yang memberi kita peluang untuk berakrab-akrab dan bertemu. (baca juga:Nostalgia Kultur Sinema di Batu Kubung)
Malam itu, di depan pasar semi modern Kota Solok, diseberang RTH Kota Solok, ratusan masyarakat mampir, mampir untuk menonton, sekedar beramai-ramai, mencari hiburan, dan sebagainya. Tidak lupa, selebaran dan orasi film sebagai kebudayaan selalu kita galakan.
Daftar dan pengantar film yang ditayangkan, baca disini: (Poster) Sinema di Pojok Pasar Kita
Sampai bertemu di penayangan reguler kita berikutnya, maupun di perayaan tahun mendatang.
Koleksi foto lainnya:
Koleksi Foto: Roni Daniel
Koleksi foto dari Papa Dzaki
Baca juga: hariansinggalang.com: Komunitas Gubuk Kopi Adakan Nonton Bareng
Nostalgia Layar Kejayaan
Bagunan tua itu terletak di jantung kota, Simpang Surya, tepatnya arah memasuki terminal angkot Kota Solok. Dua tahun lalu kita masih bisa melihat sebuah layar yang dilukis grafis di pekarangan bangunan, lengkap dengan jam tayang, sebuah poster filem yang akan tampil minggu ini. Poster itu terabaikan ditengah sibuknya aktivitas pasar dan terminal. Di bibir pagarnya sampah – sampah berserakan dan para pedagang memarkirkan becak mereka diperkarangannnya. Kini (29 January 2014) bangunan ini telah diisolasi dengan seng setinggi kurang dua meter, di dalamnya tengah terjadi sebuah pembangunan komplek toko yang mungkin bisa dimanfaakan oleh beberapa pedagang. Sejak itu Solok resmi tidak punya bioskop.
Bioskop Tua Solok
Beberapa waktu lalu (01/04/2012), saya bersama kawan – kawan di Komunitas Gubuak Kopi dan juga bersama kawan-kawan dari komunitas Sarueh Padangpanjang mengunjungi salah satu bioskop di Kota Solok. Informasi yang kami dapatkan di Solok dulu hanya terdapat dua Bioskop, yaitu bioskop Karia dan bioskop Wirayudha. Bioskop Wirayudha telah mati total karena tidak ada lagi peminat bioskop. Hingga saat ini satu-satunya bioskop yang bertahan adalah bioskop Karia yang berada masih di kawansan pasar raya Kota Solok. Walaupun dapat dikatakan tidak aktif lagi namun bioskop karia tersebut lebih memilih untuk tidak diruntuhkan seperti yang terjadi pada beberapa bioskop lainnya. Atau mungkin belum. Continue reading