Presentasi Publik Kurun Niaga #4

Open lab atau pameran proses artistik berbasis arsip yang dilakukan di Rumah Tamera ini diinisiasi untuk menampilkan proses yang didapatkan selama lokakarya kepada publik. Open lab dibuka dengan pengantar oleh Albert Rahman Putra selaku koordinator project “Kurun Niaga #4 – How is the story told after it’s over?“, yang memperkenalkan aktivitas partisipan selama sepuluh hari terakhir. Open lab ini bukanlah merupakan hasil akhir melainkan proses dari pengarsipan itu sendiri. Sebelum project ini dimulai, Komunitas Gubuak Kopi melakukan pemetaan sederhana mengenai kelompok atau inisiatif-inisiatif warga berbasis kegiatan pengarsipan yang terdapat di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Riau. Menelusuri beragam medel praktik pengembangan arsip sebagai modal dalam pendidikan kontekstual di berbagai daerah. 

Setelah pemetaan, Komunitas Gubuak Kopi mengundang sejumlah partisipan yang memiliki ketertarikan untuk mengembangkan modul praktek pengarsipan bersama-sama untuk memproduksi pengetahuan muatan lokal ataupun inisiatif pendidikan kontekstual, dengan pendekatan artistik. Lokakarya ini adalah labor pengembangan modul tersebut. Albert menyebutkan juga menghadirkan sejumlah narasumber tamu untuk memperkaya perspektif partisipan terhadap arsip: memperluas defenisi arsip, artsitektur dan ruang ingatan, praktik merebut narasi, membongkar arsip dari sudutpandang akademisi, produksi buku secara mandiri, dan topik-topik lainnya.

Setelah menyampaikan pengantarnya, Albert memanggil teman-teman partisipan ke depan panggung dan diperkenalkan satu persatu. Mereka adalah Mellya Fitri (Komunitas Gajah Maharam Photography-Kota Solok), Eka Dalanta (Ngobrol Buku–Medan), Debora Angelina/Dea (Komunitas Solu–Balige), Yogi/Awang (Komunitas Pondok Belantara-Riau), Faris (Manual Kampar-Riau), Irvan/Spansan (Forum RT05-Payakumbuh),  Diska/Icung (Sekolah Gender-Padang), Fauzan (Teater Balai-Bukittinggi), Dani (Non Blok Ekosistem-Pekanbaru), Riki (Paninjauan Saiyo- Tanah Datar), Sandro (Titik Abdi-Langkat), Rozi Erdus (Tikalak, Sumatera Barat).


Open lab atau pameran sederhana ini dihadiri tim kurator dari Fase Rawat Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2024, yaitu Handoko Hendroyono dan Nyak Ina Raseuki atau yang biasa disapa Ubiet. Ada Pak Handoko yang memberikan sambutan bahwasannya penting sekali melakukan penyadaran literasi dari proses pengarsipan. Proses itu membuat kita lebih mengenal diri dan lingkungan. Pak Handoko mengaku hampir setiap hari melakukan eksperimen pengarsipan. Dalam ‘fase rawat’ PKN ini mudah-mudahan menjadi gayung bersambut, berharap antusiasme ini dipelihara karena prosesnya masih panjang. 

Potensi kearsipan ini akan memperoleh perhatian yang lebih serius. Bukanlah sebuah hambatan untuk menggali kearsipan dari berbagai daerah. Ditambahkan juga oleh Mbak Ubiet bahwa Komunitas Gubuak Kopi adalah salah satu dari sub-hub sumatera, kalo disini penekanannya pada arsip, di Bangka Belitung bidangnya ke seni musik keroncong, dan Sekolah Seni Tubaba di Lampung yang mengangkat kesenian di daerahnya.

Selanjutnya pengunjung, partisipan, kurator, dipandu fasilitator memasuki ruang tengah Rumah Tamera, yang menjadi ruang pameran open lab ini. Karya-karya yang dipajang, seperti yang disampaikan Albert sebelumnya, bahwa ini bukanlah sebuah hasil akhir, melainkan modul kerja artistik dan draft poryek. Karya pertama yang didatangi adalah milik Sandro, partisipan dari Langkat. Sandro memberi judul karyanya : Mencari Aras Napal, merupakan desa tempat mengabdinya belakangan ini. Menggambarkan seorang pria yang terjebak di hutan dan menemukan tiga pintu. Pintu ini menggambarkan 3 metode pencarian arsip tentang Aras Napal. Di pintu pertama, ia melihat sekelompok masyarakat dan dukun sedang melakukan ritual pemanggilan begu jabu (roh leluhur). Lalu pada pintu kedua dinamakan pintu persentabian manraspati taneh yang mana masyarakat sedang melakukan pembukaan lahan. Sementara di pintu ketiga bernama pintu nini lau, pria itu melihat masyarakat memancing dan ada yang meracun di sungai. Demikinalah tahapnya Sandro menceritakan pencarian arsip di Aras Napal. Sandro berharap projek ini bisa dikembangkan menjadi buku cerita anak nantinya.

Di samping karya Sandro, ada karya Irvan/Spansan dari Limapuluh Kota. Ia memilih menampilkan food note bertema rendang. Ia mengajak pengunjung menelusuri pengalaman bersama rendang. Spansan memajang gambar-gambar rempah dan bahan baku pembuat rendang. Ia berharap pengunjung bisa berbagi cerita tentang pengalaman sensorinya dan pengalaman berkesan yang berkaitan dengan rendang. Pengunjung diminta membuat food note sendiri dengan menempelkan bahan-bahan pembuat rendang dan ini akan menjadi arsip sendiri nantinya. Ada setidaknya empat orang pengunjung yang sudah berbagi pengalamannya terkait rendang.


Setelahnya ada Riki dari Paninjauan Saiyo yang memajang karya arsip tentang water leideng tahun 1913. Bangunan ini didirikan sebagai sumber irigasi di sekitar desa Paninjauan dan merupakan sumber air minum untuk kota Padang Panjang. Pada masanya dioperasikan untuk keperluan sumber air kolonial karena mereka banyak bermukim di kota Padang Panjang. Bangunan ini dibuat seperti menara khas zaman kolonial. Sampai saat ini bangunan lama itu masih berdiri tegak dan tidak lagi dimanfaatkan. Water leideng ini berdiri di tengah lahan pertanian masyarakat, tapi karena ia sudah tua membuatnya seperti artefak berhantu dan tidak lagi dipedulikan warga. 

Selanjutnya ada karya pameran oleh Dani dari Non Blok, Pekanbaru. Ia memajang karya berjudul: Rumah Wan, Sebuah Rencana Pameran. Rumah Wan atau rumah nenek ini dihadirkan Dani sebagai eksplorasi ingatan sensorik pengalaman masa kecil yang gambarnya tidak sepenuhnya utuh. Fragmen ingatan sensorik ini mengajak pengunjung mendengar bunyi-bunyian dan aroma yang terdapat di rumah nenek. Ia merekam audio dan visual yang terdistorsi, pengunjung bisa mendengarkan suaranya melalui headphone yang disediakan. Dani juga memajang fragrance card berupa aroma dari diffuser dan oli mesin jahit yang bisa dicium langsung oleh pengunjung.

Di samping karya Dani, terdapat karya berjudul: “Merajut Memori Stasiun Solok” ialah sebuah karya dari Mellya Fitri, pegiat komunitas fotografi kota Solok. Mellya atau yang biasa kita sapa Nimel ini, membuat karya berupa linimasa perjalanan stasiun kereta api Solok dari masa ke masa. Ia memajang foto-foto penampakan stasiun zaman pendudukan kolonial di kota Solok. Nimel juga mengajak pengunjung untuk berbagi pengalaman ingatan tentang bangunan dan ruang di stasiun Solok. Pengunjung bisa memberikan komentar atau menceritakan ingatannya di sebuah note dan ditempel di dinding.

Sementara karya Eka Dalanta dan Dea ditampilkan di sebuah instalasi lanskap. Karya mereka berdua berlatarkan sebuah kota dan kabupaten di Sumatera Utara. Eka membuat sebuah dummy novel berjudul: Sinuan Bunga. Judul ini diambil dari nama sebuah perkebunan tembakau di Deli Serdang sebelum berubah menjadi Arnhemia pada tahun 1871 dan berubah menjadi Pancur Batu saat dinasionalisasi pada tahun 1958. Eka menampilkan temuan teks seperti ungkapan tentang: Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa kini, dan Sumatra adalah masa depan. Dalam hipotesanya dinyatakan bahwa kehadiran perkebunan tembakau Deli selain menghilangkan nama Sinuan Bunga juga mematikan perkebunan tembakau rakyat yang sudah ada sebelum masuknya Deli Maatschappij (penguasa perkebunan tembakau Deli pada masa penjajahan). Tembakau Deli hanya diperuntukkan bagi tuan-tuan konglomerat karena harga dan kualitasnya yang tinggi. Hal ini juga memicu beberapa pertanyaan kunci seperti apa dampak kehadiran perkebunan tembakau Deli terhadap dunia global, apa yang berubah atau hilang dengan hadirnya perkebunan tembakau, peristiwa besar apa yang terjadi ketika tembakau tersebut hanya dikonsumsi tokoh tertentu, serta bagaimana masyarakat Karo memandang kekerasan dan kolonialisme? Eka juga melibatkan pengunjung untuk memberikan komentar terkait pengalaman tentang tembakau Deli.

Di sebelah karya Eka, ada dummy buku Dea yang bentuk accordion yang didirikan dan memuat informasi tentang harimonting/karimunting Balige. Dea menghadirkan pengalaman masa kecil dari sebuah tanaman karimunting. Dea memajang foto-foto bangunan masa lalu Balige yang memiliki kaitan dengan tanaman karimunting ini. Tentang bagaimana buah ini yang banyak dijual di sekolah, depan rumah sakit, dan sepanjang jalan menuju gereja. Buah ini mendapatkan posisi penting pada masa kejayaan ulos Balige karena dijadikan sebagai pewarna alami. Tak lupa, Dea  menampilkan buku-buku ingatan tentang Balige masa lalu yang dibuatnya bersama rekan-rekan Balige Writer Festival. Dea juga mengajak pengunjung berbagi pengalaman bersama buah karimunting.

Di depan karya Dea, ada proyektor yang menayangkan cuplikan aktivitas masyarakat Kampar oleh Fariz. Sebuah video berupa aktivitas di bendungan bernama Oeway Stuwdam semasa pendudukan kolonial yang diresmikan pada tahun 1934. Bendungan ini merupakan sumber irigasi untuk desa di sekitarnya. Fariz mengambil perspektif warga terhadap bendungan yang dibangun oleh Belanda di masa sekarang. Bendungan Uway sekarang menjadi tempat bagi warga melakukan tradisi manguo (memanen ikan) dan menjadi tempat destinasi wisata. Kedepannya proyek ini akan dilanjutkan bersama teman-teman Manual Kampar dalam pembacaan alam ingatan warga tentang bendungan/tempat bersejarah tersebut. 

Icung dari Sekolah Gender Sumbar memberi judul karyanya: Belum Berakhir Di Sini. Ia memajang karya berupa zine, puisi, kumpulan artikel, dan instalasi baju penyintas pelecehan. Dalam pamerannya Icung berharap agar pengunjung dapat teredukasi perihal kasus yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Bahwa pelecehan seksual dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki. Melalui pameran ini, Icung berharap bahwa setiap pengunjung bisa mendapatkan kesadaran akan pentingnya menjaga diri dan menciptakan ruang aman dimana dan kapanpun. Arsip-arsip ini tidak hanya berujung disini, melainkan bisa dikembangkan pada proyek selanjutnya.  

Sementara Fauzan dan Awang melakukan sebuah performance di Halaman Belakang Rumah Tamera. Fauzan menyebut-nyebut kalimat “pimpiang jo sarai dikawinkan manjadi tabu”, teks, intonasi, bunyi, dan gestur, dari sebuah praktik penggilingan tebu di kampungnya. Ia mencoba memanggil ingat masa kecilnya, menghadirkan tubuh dan suaranya sebagai medium arsip itu, secara peformatif, ia menutup matanya dan mulai berputar-putar laksana kerbau memutar kincir penggilingan. Sementara Awang membuat sumur dengan cara menempel potongan artikel dari kertas di sebuah ember. Konsepnya juga tak jauh beda, yakni mencari arsip tentang sumur. Di dalam ember juga diputarkan suara-suara yang menggema, liriknya memuat puisi tentang sumur dan mitos-mitos yang melekat padanya. Pada akhir performance Fauzan dan Awang minum kopi bersama dan segelas kopinya diperuntukkan bagi inyiak penunggu kebun tebu.

Malamnya tim fasilitator Kurun Niaga #4 bersama partisipan juga kurator PKN melakukan diskusi terkait kegiatan yang telah dilakukan selama sepuluh hari belakang. Masing-masing partisipan diminta memperkenalkan diri dan memberikan pemaparan tentang apa yang didapatkan selama lokakarya juga tentang proyek artistik yang dilakukan. Menarik menyimak refleksi para partisipan, tidak hanya belajar tentang metode pengarsipan tetapi juga belajar bagaimana cara menjalankan kolektif itu sendiri.

Diskusi ini juga dimoderatori Albert dan ia mengatakan bahwa Komunitas Gubuak Kopi sebagai kelompok belajar juga banyak belajar bersama partisipan selama lokakarya berlangsung. “Sebenarnya kami mengundang narasumber biar bisa belajar, dan mengundang kawan-kawan kesini biar belajarnya tidak sendiri, makin rame dan seru” kelakar Albert. Dalam diskusi juga hadir dua orang narasumber yakni Akbar Yumni dari Jakarta dan Prasetya dari Yogyakarta.


Akbar menyampaikan bahwasanya pertukaran itu berlangsung, arsip yang sifatnya non-dokumen itu banyak didapatkan dari pengalaman partisipan. Seperti bangunan kolonial yang sangat fenomenal misalnya, fungsi ruang itu selalu mengalami kerelatifan oleh warga. Tentang bagaimana sebuah ruang yang dibangun dengan motif kekuasaan tetapi diartikan secara lain oleh warga. “Jalan-jalan kecil kebudayaan itu sebenarnya lebih dekat dengan kalian, karena kalian yang berkaitan langsung dengan warga”, ujar Akbar. Jalan-jalan ke masa lalu selalu menarik untuk dilakukan. 

Begitupun dengan Pras dari Sokong Publisher, “disini saya bukan mengfungsikan diri sebagai narasumber, malah saya ingin jadi peserta” ungkap Pras. Sokong sebagai penerbit mandiri punya model penerbitan skala kecil. Terdapat keterbatasan skala besar untuk melihat buku sebagai fungsi pengetahuan. Kami juga menawarkan buku sebagai media presentasi yang lebih luwes dan tidak seperti pada umumnya. “Mendengar bang Akbar berbicara tentang hantu itu juga membuka perspektif baru bagi saya. Bahwa hal yang tidak bisa dilihat pun bisa dijadikan sebagai arsip”, tutup Pras.

Mic kemudian beralih ke tim kurator, Mbak Ubiet menyampaikan bahwa ia dan Pak Handoko sebenarnya ingin melihat kegiatan partisipan saja. Fokusnya disini arsip sebagai metode, di tempat lain mungkin ketemu metode lain. Gambar, coretan, garis, dan sebuah narrative bisa dipelajari banyak orang. Prinsip berhimpun itu penting, bagaimana metode lumbung itu sudah terkumpulkan. “Sumatera tengah saja sudah sekaya ini, apalagi jika digabungkan seluruh Sumatra”, tutur Ubiet. 

Komunitas Gubuak kopi sebagai komunitas sudah banyak melakukan kegiatan kolektif seperti ini, multi-media, multi-bidang, multi-disipilin ilmu. Jalan masuknya beda, kita bisa melihat kehidupan bisa saling terkait. Counter pointnya artefak, bunyi, ruang, lalu cerita itu saling kait mengkait. Ini adalah bagian dari kuratorial, bagaimana ini bisa menjadi sebuah cara agar ini lebih dikenal luas bagi orang lain yang tidak punya kesempatan seperti ini. Kita tidak selalu melihat arsip itu normative, tidak harus selalu dari Leiden, bisa juga dengan perspektif warga dan pengalaman mereka. Melihat kembali apa yang kita punya dan bagaimana kita melihat ke dalam lalu mempersepsikan kembali. 

“Tadi kita ke stasiun Solok, kita tak melulu harus menunggu pemerintah, bagaimana kita juga berupaya melihat ruang fisik itu menjadi ingatan yang bisa dipersepsi ulang. Saya juga baru tahu ternyata jalurnya sampai ke sawahlunto, tempat yang sangat saya senangi” terang Ubiet. Ada banyak cara bagaimana kita melihat masa lalu di masa sekarang. Inilah cara kita mengkritik diri sendiri, bagaimana dunia akademik itu lupa bahwa kehidupan sehari-hari ternyata lebih kaya. Ini baru 10 hari bagaimana jika dilakukan 2 semester? Karena saya orang musik, jadi ada kebun di telinga ini dan bagaimana cara memanennya, apakah akan jadi sebuah manuskrip? Tidak harus normative, ia bisa ditemukan dalam bentuk zine dan beragam bentuk lainnya.

Sementara Handoko bercerita tentang arsip menurut pandangannya, arsip sebagai metode berpotensi untuk menjadi kekuatan yang luar biasa walaupun perjuangannya masih panjang. “Arsip yang saya tahu yang tidak bisa saya lupa, antara gabungan arsip dan komisioning”, ujar Handoko. Artist komisioning itu memberi kebebasan untuk sebuah narasi menjadi lebih menarik. Seperti pameran oleh Geger Boyo yang merespon kopi secara artistik di museum nasional yang akhirnya dibawa ke museum di Qatar. 

Saya mencoba menghubungkannya dengan komunitas, karena mewakili partisipasi publik dan mewakili gerakan yang memiliki sifat inklusif sehingga mempunyai alat diplomasi yang kuat. Hal itu membuka mata saya untuk belajar arsip. Seperti yang juga terjadi di Lokananta ketika Irama nusantara punya nilai jual. Di Doha, Qatar mereka tidak sekaya kita memori kolektifnya, berbeda dengan kita yang bisa diformulasikan menjadi arsip. Jika ini menjadi disiplin, bisa menjadi kekuatan yang luar biasa. Gerilya kebudayaan seperti ini yang sangat dibutuhkan. Jika dilakukan bersama akan menjadi jejaring yang kuat, tutup Handoko.

Malam semakin tinggi, kemudian diskusi ditutup oleh Albert. Kita mencatat banyak hal dan merekam perbincangan selama Kurun Niaga #4 ini berlangsung. Pada ‘fase rawat’ PKN ini kita berfokus merawat dan mendistribusikan ide-ide lebih lanjut. Teman-teman juga bisa melihat dan menakar peluang-peluang berjejaring-bekolaborasi. Tahun berikutnya ada ‘fase panen’, semoga kita bisa menghadirkan hasil dari tindak lanjut proyek kawan-kawan, tutup Albert. Diskusi kemudian diakhiri dengan berfoto bersama. 

Amelia Putri,
Solok, 19 Oktober 2024

Amelia Putri, S.TP (Padang Pariaman, 1993) biasa disapa Amel. Sehari-hari berkegiatan di Galanggang Raya Farm, sebuah peternakan dan ruang berbagi inspirasi petani milenial di Gelanggang Betung, Kota Solok. Juga mendirikan sebuah pustaka kecil @pustakagrfinstitute yang digarap untuk mengundang anak-anak di sekitar farm agar gemar membaca. Ia juga menjadi salah satu Inkubator Literasi Perpustakaan Nasional (ILPN) Prov. Sumbar th 2022. Pertengahan tahun 2021 merupakan awal mula berkenalan bersama Komunitas Gubuak Kopi dalam agenda Daur Subur #6 di Kampung Jawa, Kota Solok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.