Senin, 21 Agustus 2023, sehabis zuhur kami mengunjungi rumah Buya Khairani. Beliau biasa kami sapa Buya, sapaan hormat pada orang yang bijak dalam bidang agama dan adat. Ya, ia adalah salah seorang tokoh agama dan adat di kelurahan kami, Kampung Jawa, Solok. Sesampai di rumahnya, ternyata beliau belum pulang. Sebelumnya kami membuat janji untuk bertemu Buya di rumahnya sehabis zuhur. Setelah setengah jam menunggu, Muhammad Riski mengabari bahwa buya masih di sebuah acara, kata buya ‘biar beliau nanti yang pergi ke Rumah Tamera (markas Komunitas Gubuak Kopi). Tak lama kami di sekre, saat kami ingin makan siang, Buya datang dengan sepeda motornya, kami langsung menawarkan Buya makan, lalu beliau jawab dengan candaan ‘pitih selah’ yang artinya dalam bahasa Indonesia ‘uang saja’. Beliau memang sering berguyon jadi kami sudah akrab dengan jokes Buya Khairani.
Sambil kami makan bersama-sama, kami memperkenalkan Devi dan Cenks seniman Residensi Lumbung Kelana kepada Buya Khairani. Buya memang sudah sering kali berbagi cerita dan pengetahuannya di Komunitas Gubuak Kopi. Kata Buya beliau dari Masjid Agung Al Muhsinin dan beliau juga singgah menghadiri peresmian Camat baru. Tokoh agama dan adat seperti beliau memang sering diundang dalam berbagai acara pemerintah di Kota Solok.
Obrolan siang itu diisi pertanyaan Buya apa kegiatan yang biasa Devi dan Cenks lakukan ketika berada di Sulawesi dan bagaimana menurut mereka Kota Solok ini. Obrolan terus berlanjut dan semakin menarik di saat kami mulai bertanya tentang sejarah Minangkabau kepada Buya.
Buya bercerita sejumlah versi kisah nenek moyang orang Minangkabau berasal dan kenapa sampai mereka menetap di Gunung Marapi (salah satu gunung di Sumatera Barat), menurut Buya, legendanya, bahwa daratan Indonesia sekarang dulunya tertutup air, dan hanya gunung-gunung tertinggi saja yang bisa tempati oleh manusia. Walau sering kali Buya dikenal sebagai tokoh agama, tapi sebenarnya beliah banyak mengetahui hal-hal di luar konteks agama, mulai dari topik-topik sejarah, politik, sampai ilmu tentang geografi. Buya suka membaca dan beliau juga seorang penyiar radio. Ia salah satu yang sering meminjam koleksi-koleksi buku di perpustakaan Komunitas Gubuak Kopi. Selain itu, katanya, setelah beliau selesai kuliah jurusan keagamaan, ia pun sering ikut seminar keilmuan apapun di luar mata kuliah beliau dahulu.
Beliau bercerita bahwa orang dari Gunung Marapi menyebar ke seluruh daratan yang kini disebut dengan “rumpun Melayu”, dan bagaimana sejumlah suku-suku (klan) yang sudah terlebih dahulu menghuni daratan Gunung Merapi, memilih hidup berpindah-pindah, karena mereka menolak kebudayaan yang ditegakan nenek moyang orang Minangkabau pada saat itu. Mendengar Buya bercerita seperti kuliah 3 SKS. Beliau hampir bisa menceritakan apapun yang kami tanyakan. Buya juga masih terlibat aktif sampai sekarang menjadi pengisi kajian, di sebuah acara Saluran Radio di Solok dari tahun 80an.
Selain itu, kami juga pergi mengunjungi kediaman Pak RT, memperkenalkan teman-teman yang residensi, serta melanjutkan bertemu dengan beberapa pelaku kreatif di Kota Solok. Sorenya kami pergi ke suatu tempat di tepi sawah Kota Solok yang baru-baru ini jadikan tempat nongkrong dan tempat jualan berbagai macam jajanan, dan saya melihat pengelolaan sampah yang masih kurang dipikirkan, oleh pedagang dan pengunjung terlihat dari sampah yang berserakan di sekitar lokasi. Ya, selalu begitu…
Mampir ke hamalan Lumbung Kelana #2 – Gubuak Kopi