Dimulai dari kerinduan bersilaturahmi dan berkumpul yang tertangguhkan selama hampir tiga tahun oleh pandemi, pemuda Kampung Jawa, Solok lantas mencoba mengambil momen di perayaan HUT RI yang ke-77 untuk mengobati rindu berkumpul. Di akhir Juli 2022, sambil ngopi di Pos Ronda, sebuah obrolan sampai pada agenda perayaan 17-an. Oret-oretan rencana pun disusun dan akan disampaikan kepada Pak RT dan Pak RW sekaligus meminta restu.
Esok di sore harinya, sambil jalan-jalan sore membeli cemilan di Pos Ronda, kami mampir ke rumah Pak RT yang berada tak jauh dari Pos Ronda. Kami disambut oleh Pak RT yang rambutnya sudah tersisir rapi selesai mandi dengan sebatang rokok tergenggam di tangannya. Pak RT masih terhitung muda, usianya sekitar 30 tahun. Seperti hari-hari biasa, pertemuan kami diawali oleh gurauan sambil menceritakan rencana kegiatan untuk perayaan 17-an. Rencana kami direspon baik oleh Pak RT. Ketika kami asyik bercerita, Bu RT keluar dari rumah membawa beberapa gelas kopi dan ia pun ikut bergabung dengan kami. Ternyata sejak tadi, Bu RT telah menyimak obrolan kami dari dalam dan ia menyatakan siap membantu. Ia juga menyampaikan kesiapannya untuk mengkoordinir ibu-ibu lainnya.
Obrolan sore itu berlangsung begitu hangat hingga Bu RW lewat dengan motornya. Sontak Bu RT berteriak, “Hoiii singgah lu!” (Mampir dulu!). Kami sedikit kaget mendengar cara Bu RT memanggil Bu RW. Dengan sigap Bu RW memutar motornya yang sudah terlewat dari rumah Bu RT. Yap, lengkap sudah tim yang biasa membuat kehebohan dan keseruan kegiatan warga di Kampung Jawa, terutama di RW 6 ini. Bu RT dan Bu RW saling melempar ide mulai dari game sampai agenda makan bajamba (makan bersama) lengkap dengan menunya. Obrolan itu pun membuat kami tahu harga cabai yang sedang meroket mencapai Rp95.000,- per kilogram saat itu.
Kesimpulan pada sore itu ialah Bu RT dan Bu RW bertanggung jawab untuk “Makan Bajamba”. Makanan nantinya akan dimasak di rumah Bu RW sekaligus berkoordinasi dengan ibu-ibu lainnya. Berhubung Pak RW sedang tidak dinas, kami diminta Bu RW menelpon Pak RW via Whatsapp untuk koordinasi selanjutnya. Dalam telfon, setelah maksud kami tersampaikan, di akhir percakapan Pak RW mengundang kami ke sebuah hajatan warga untuk melanjutkan pembahasan sambil makan malam di sana.
Sekitar pukul 20.00 WIB, kami bergerak menuju tempat hajatan. Pak RW pun memperkenalkan kami kepada sebuah Paguyuban yang bernama BSG, yaitu akronim dari “Badunsanak Sampai Gaek” (Persaudaraan Sampai Tua) yang baru dibentuk beberapa bulan lalu. Kata Pak RW, kelompok ini adalah kelompok sosial yang bertujuan untuk membantu anggotanya dalam acara kematian maupun hajatan layaknya sebuah klan atau suku. Kelompok ini juga akan saling mendukung dalam berbagai kegiatan sosial untuk kampung, sekaligus media bersilaturahmi sesama warga.
Di Kampung Jawa, warganya cenderung majemuk dan multi-etnis, multi-religi dan sampai hari ini juga terus berdatangan warga baru. Secara otomatis, sangat sedikit yang mempunyai karib kerabat dan bertali darah secara langsung. Kata Pak RW, di sini kita disatukan oleh tali budi (budi baik). Kebetulan, tuan rumah yang mempunyai hajat ini adalah salah satu anggota dari BSG dan kami di sini membantu secara bergantian dari kemarin untuk menyiapkan kegiatan dan memberikan sedikit bantuan hasil dari iuran anggota ala kadarnya, tanpa mematok tarif dan tidak harus dengan uang. “Diharapkan ke depannya kelompok ini bisa menjadi layaknya keluarga di Kampung Jawa ini.”, imbuh Pak RW.
Setelah diperkenalkan, Pak RW juga menambahkan bahwa kegiatan 17-an kita ini juga akan didukung oleh kelompok BSG. Selanjutnya, Pak RW meminta untuk mengagendakan pertemuan di Pos Ronda dengan warga lainnya. “Silahkan kalian tentukan jadwalnya, nanti akan saya umumkan ke warga”. Dua hari berselang, kami bersama pemuda lain bergerak menuju ke Pos Ronda. Di sana, sudah terlihat Pak RW, Ayah Alek, Pak RT, Mas Anto dan bapak-bapak lainnya yang telah berkumpul. Pos Ronda penuh dengan sekitar 30 orang duduk melingkar dalam Pos Ronda ditemani oleh kue kering dan kopi hitam yang selalu standby di Pos Ronda. Pertemuan ini dipimpin Pak RW dengan durasi yang tidak berlangsung lama. Kegiatan perayaan disepakati dibuka dengan pameran arsip dari Komunitas Gubuak Kopi dan warga tentang Kampung Jawa.
Pameran itu dilaksanakan di Pos Ronda pada tanggal 14-17 Agustus. Pada 16 Agustus, kami pun nobar alias nonton bareng. Acara 17 Agustus pun ditutup dengan berbagai permainan di siang harinya, lalu ada panjat pinang dan makan bajamba pada malamnya. Beberapa jadwal untuk goro dalam rangka persiapan acara pun telah disepakati, mulai dari pemasangan bendera dan marawa di sepanjang jalan di Kampung Jawa, hingga membersihkan lapangan dan pencarian batang pinang.
Hari hari berikutnya adalah hari menyenangkan penuh canda dan gurauan, diawali dengan pemasangan marawa sepanjang jalan. Setiap sore sekitar pukul 15.00, warga mulai berdatangan ke Pos Ronda membawa berbagai peralatan tempurnya. Agenda pertama sore itu adalah mencari batang pinang yang sudah tua dan bambu untuk gapura. Batang pinang yang dicari ternyata sudah disiapkan oleh warga yang siap menyumbangkan batang pinangnya. Batang pinang yang dicari adalah batang pinang yang tua yang sudah tidak produktif lagi dan tidak menghasilkan buah. Pohon-pohon semacam ini emang biasanya juga akan ditebang.
Batang pinang mempunyai tekstur yang rapuh dan berserat. Ia juga tidak tahan lama jika dijadikan untuk bahan bangunan. Warga hanya memanfaatkan bagian luarnya saja untuk kandang ayam di belakang rumah dan hanya memakai bagian luarnya saja karena bagian dalam dari batang pinang teksturnya lebih lembek lagi. Menyumbangkan hasil perkebunan atau sesuatu untuk warga menjadi posisi tawar di masyarakat dan juga sebagai media berkenalan di daerah yang majemuk ini.
Di Kampung Jawa, masih banyak terdapat lahan warga yang masih aktif sebagai kebun dan ladang yang ditanami berbagai macam pepohonan. Jadi, tidak perlu jauh-jauh ke hutan untuk cari batang pinang, begitu pun dengan bambu juga tersedia di sekitar rumah warga. Bagian paling seru dari sini adalah bagian menumbangkan batang pinang agar tidak merusak tanaman lain dan kita harus mengarahkannya ke tempat yang aman. Kita menggunakan tali yang diikat ke batang pinangnya dan menarik bersama- sama kemudian menggotongnya ke pinggir jalan. Di pinggir jalan, kami sudah ditunggu oleh truk sampah yang dikendarai oleh warga yang bekerja sebagai sopir yang mengangkut sampah dari rumah warga ke pembuangan akhir yang tidak jauh dari sini. Di sela-sela kami bekerja, berdatanganlah kopi, es teh dan cemilan dari ibu-ibu secara sukarela. Tim inti pun terjadi karena ini terjadi secara alami yang sudah kami lihat semenjak 2017 lalu.
Setelah semua material terkumpul, aktivitas di Pos Ronda di sore-sore berikutnya adalah menghias dan memasang gapura, membersihkan batang pinang dan mempersiapkan pameran. Pekerjaan warga di Kampung Jawa juga beragam, mulai dari petani, pedagang dan pegawai kantoran. Kegiatan seperti ini agak sulit memang bagi para pegawai untuk membantu dan hadir. Akan tetapi, mereka tetap mampir walau hanya sekedar singgah dan ngopi. Ada yang cuma mengantar gorengan dan kembali ke kantor. Ada pula yang datang hanya meramaikan. Aktivitas ini juga dilakukan silih berganti sesuai jam kerja mereka.
Di malam hari, kami bermain domino dan kartu remi. Permainan ini menjadi semacam media komunikasi yang bebas. Meja permainan pun menjadi sejenis zona bebas dan netral dimana agama, politik, norma, dan adat akan dibicarakan secara gamblang. Tak jarang pula bahwa ide-ide tentang kemaslahatan kampung dan lingkungan muncul di atas meja permainan. Kami pun jarang kelaparan di tengah permainan sebab Pos Ronda juga menjadi sejenis pusat jajanan di Kampung Jawa. Berbagai camilan seperti gorengan, kerupuk kuah dan berbagai jajanan tradisional bisa kami dapatkan dengan mudah di sekitar Pos Ronda dan tak jarang pula camilan itu diberikan gratis oleh pedagang di sana. Agaknya ada saling pengertian bahwa hal-hal yang sedang dikerjakan ini memang ditujukan untuk bersama sehingga sesama warga juga ikut berkontribusi dalam porsinya masing-masing.
Sampailah pada tanggal 14 Agustus 2022 malam. Kami bersama warga membuka pameran di Pos Ronda yang menghadirkan sejumlah arsip karya yang pernah diproduksi Komunitas Gubuak Kopi dan tamu residensinya yang berkaitan dengan Kampung Jawa. Tak jarang, arsip karya ini pun adalah hasil kolaborasi bersama para tetangga di kelurahan Kampung Jawa. Pada tanggal 16 Agustus 2022, sebuah pemutaran film dilakukan dengan menggunakan layar tancap. Kami menayangkan sebuah film yang berjudul “Hari Ini Belum Ada Kabar”. Ini adalah karya film yang berangkat dari sebuah proyek kolektif pembuatan film oleh Forum Lenteng dan 9 komunitas film lainnya di Indonesia. Film ini adalah rekaman aktivitas warga di masa pandemi, termasuk aktivitas di kelurahan Kampung Jawa sendiri. Sehabis maghrib, bocah-bocah di Kampung Jawa sudah mulai berlarian di atas tikar yang sudah kami gelar di sebuah lahan kosong.
Hari yang ditunggu-tunggu pada 17 Agustus 2022 pun tiba. Berbagai permainan pun dimainkan. Permainan pertama ialah Balap Karung yang diawali oleh bocah-bocah yang sudah menunggu sejak pagi. Permainan Balap Karung diberikan sedikit tantangan dimana para peserta ini masuk ke dalam karung dengan jongkok sehingga hanya tersisa kepala yang terlihat di luar karung. Kepala ini pun masih dipasangi helm. Peserta lalu beradu kecepatan sampai garis finish. Mereka didukung oleh orang tua masing-masing yang berteriak penuh semangat di luar jalur lomba.
Setelah beberapa kali putaran dan mendapatkan puncaknya, tibalah giliran para ibu yang bertarung dan dilanjutkan oleh bapak-bapak yang saling adu ketangkasan dengan karung. Pacu makan kerupuk pun tidak kalah seru. Lomba makan kerupuk dilakukan dengan menggunakan “Kerupuk Palembang” yang diikat setinggi mulut peserta. Para peserta akan berlomba memakannya namun mereka dilarang memegang kerupuk menggunakan tangan.
Di arena yang berbeda, ibu-ibu juga sedang berlaga dengan tim masing-masing. Permainan ini bernama bola dansa. Pada permainan ini, peserta akan menggiring bola di lapangan. Jika musik dimainkan, maka bola harus berhenti dimainkan dan peserta bergoyang hingga musik selesai. Tim yang menang adalah tim yang paling banyak mencetak gol, sebagaimana dalam permainan bola umumnya. Permainan ini dimenangkan oleh tim Bu RW dan ini menjadi salah satu permainan paling favorit bagi ibu-ibu.
Lomba berikutnya adalah panjat pinang. Dua buah batang pinang setinggi 12 meter dilumuri gemuk atau oli sehingga batang pinang yang sudah dihaluskan menjadi licin. Di atasnya, digantung hadiah berupa peralatan rumah tangga seperti dispenser, wajan, centongan, dan berbagai makanan dan minuman kaleng. Sehabis istirahat Ashar, warga makin ramai berdatangan untuk melihat panjat pinang. Para tim yang akan menaklukkan batang pinang setinggi 12 meter juga sudah bersiap. Ada dua tim yang akan saling beradu teknik, dengan masing-masing tim beranggotakan tujuh orang. Dalam tiga kali percobaan, jika tim itu gagal, maka akan masuk tim berikutnya dan begitu seterusnya. Teriakan penonton melihat tim pertama berusaha naik satu persatu di pundak temannya dan roboh berkali-kali menjadi daya tarik tersendiri dalam panjat pinang. Bagi peserta, hal ini juga menjadi tantangan dan cukup memacu adrenalin mereka.
Matahari mulai berangsur turun di sela Bukit Barisan. Percobaan demi percobaan akhirnya berhasil. Panjat pinang juga menjadi gengsi tersendiri bagi tim yang bisa menaklukkannya. Setidaknya sampai perhelatan berikutnya, tim pemenang akan menjadi buah bibir layaknya bintang. Setelah dua batang pinang ditaklukkan, keseruan berlanjut pada malam hari dengan memberikan hadiah untuk para juara. Seluruh rangkaian perayaan pun ditutup dengan makan bajamba bersama warga sebagai obat rindu akan kebersamaan.