Refleksi kritis dan pernyataan dukungan terhadap praktik seni kolase Kamarkost.ch, dibuat oleh Manshur Zikri dalam rangka melengkapi literatur pameran Menyusun Mantra Kamarkost, Tamera Showcase #5, 2022, yang diselenggarakan oleh Komunitas Gubuak Kopi di Solok, Sumatera Barat.
–
Mengamat-amati karya kolase yang sudah mereka buat sejak 2021, saya berpendapat bahwa ada upaya dari Kamarkost.ch untuk bergerak “melawan” rezim representasi. Mungkin ini agak terdengar provokatif. Apa pun itu, saya pribadi terdorong untuk mengemukakan klaim ini karena, alasan yang utama, saya sedang menggarisbawahi satu kata yang pernah mereka gunakan saat mengumumkan proyek seni mutakhir mereka yang diberi nama Kelekatan pada penghujung tahun 2021 melalui akun media sosial Instagram @kamarkost.ch (https://www.instagram.com/p/CX0QiN7JsAc/). Kata yang saya garis bawahi adalah “konstruksifisme” (typo dari “konstruktivisme”).
Dengan menyebut konsep “konstruktivisme”, segera saya menduga bahwa tidak lain yang menjadi acuan mereka adalah sebuah gerakan dan pemikiran seni bernama Constructivism (Konstruktivisme) yang muncul pada era avant-garde Rusia tahun 1920-an. Dugaan ini, tentu saja, diperkuat oleh fakta dari gaya visual yang dikembangkan Kamarkost.ch sendiri. Selain itu, ialah fakta bahwa mereka merupakan alumni dari MILISIFILEM Collective, sebuah platform belajar bersama yang dikelola oleh Forum Lenteng (sebuah organisasi budaya yang berbasis di Jakarta).
Forum Lenteng, meskipun tak pernah memberikan klaim apa pun, bisa dibilang cukup terinspirasi oleh ide-ide Konstruktivisme, sebagaimana dapat kita buktikan (atau perdebatkan) dengan meninjau karya-karya yang sudah pernah mereka produksi. Mulai dari seri film experimental Massroom Project hingga ke karya-karya video dokumenter AKUMASSA, serta modul yang diterapkan dalam kegiatan belajar di kelas-kelas MILISIFILEM Collective; kita bisa menemukan jejak-jejak pemikiran Konstruktivis di dalamnya, terutama gaya tutur struktural-konstruksional khas Dziga Vertov.
Tapi saya tidak akan membanding-bandingkan kemiripan satu per satu antara karya kolase Kamarkost.ch dengan karya-karya seniman Konstruktivis ataupun Forum Lenteng. Yang akan saya lakukan adalah mencoba mengaplikasikan prinsip-prinsip umum dari teoretisasi Konstruktivisme, dipadu dengan pengaplikasian teori dari para pemikir lainnya demi memperkaya konteks dan mengelaborasi analisis, untuk membaca kembali modus dari gaya ungkap visual kolase-kolase Kamarkost.ch. Dengan membawa ide Konstruktivisme beserta teori-teori lain yang berkaitan sebagai pisau bedah ke dalam esai ini, saya ingin memaparkan sejumlah hal menarik yang harapannya bisa dijadikan haluan alternatif untuk menelaah sekaligus menikmati karya-karya kolase Kamarkost.ch, juga untuk menakar signifikansi praktik dan gerakan kolase (collage movement) yang sedang mereka jalankan.
Dari “Gregor, Dehumanize Collage” ke “Mantra”
Sekarang, mari kita tinjau dahulu dua proyek seni Kamarkost.ch sebelum Kelekatan, yang juga tak kalah penting. Malahan, dua proyek ini akan dapat menunjukkan kepada kita betapa ide Konstruktivisme memang sedang didaki oleh kolektif ini.
Proyek yang pertama, adalah yang digarap bersama-sama dengan peserta didik MILISIFILEM Collective lainnya. Nama proyek itu Gregor, Dehumanize Collage. Pamerannya sendiri berlangsung daring melalui media sosial Instagram @milisifilem pada tanggal 20 Juli hingga 20 Agustus 2020. Dalam proyek tersebut, para partisipannya menginterpretasi karya fiksi Kafka berjudul Metamorphosis (1915) ke dalam permainan kolase visual. Interpretasi yang dilakukan terbilang sangat bebas, dan karya-karya kolase yang dihasilkan mengesankan nuansa transfiguratif yang merujuk pada imajinasi tentang metamorfosis suatu wujud, baik organisme maupun non-organisme.
Mereka, para partisipan proyek, cenderung tidak serta-merta mendeskripsikan pemahaman umum dari sebuah istilah, konsep, atau ide. Nyatanya, Gregor, Dehumanize Collage tidak tampil sebagai seri ilustrasi dari apa yang umumnya kita ketahui tentang “metamorfosis”. Arti harfiah dari konsep “metamorfosis” disikapi sebagai perspektif sekaligus pendekatan untuk mendefinisikan aksi penciptaan karya visual. Dengan kata lain, Gregor, Dehumanize Collage bukanlah tentang apa itu metamorfosis (atau apa itu kisah Metamorphosis), melainkan tentang bagaimana konsep metamorfosis (atau wacana Metamorphosis) dapat diterapkan dalam kegiatan produksi visual.
Proyek yang kedua, adalah proyek seni kolase Mantra, yang sempat dipamerkan di Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat (Cemeti), Yogyakarta, dalam sebuah pameran bertajuk “Afirmasi Krisis: membahasakan yang mustahil” (30 Oktober – 30 November 2021). Proyek kedua ini bisa dikatakan adalah awal dari langkah konkret Kamarkost.ch untuk melakukan riset artistik mengenai fenomena sastra lisan Minangkabau, khususnya mantra. Mereka merancang suatu metode untuk menginterpretasi mantra, yaitu melakukan analisis isi dengan cara membandingkan isinya dengan produk sastra lintas genre. Mantra-mantra lokal di Sumatera Barat yang mempunyai karakteristik “bermakna-arbitrer”[1] dikomparasikan dengan, salah satunya, Metamorphosis-nya Kafka yang dianggap lebih alegoris. Sehubungan dengan kepentingan mereka merespon tema pameran di Cemeti, analisis komparatif tersebut mereka lakukan untuk meninjau ulang aspek psikososial masyarakat di tengah-tengah absurditas yang muncul pada masa-masa krisis. Spekulasi yang mereka tarik berdasarkan analisis komparatif antara “puitik” mantra lokal dan “naratif” Matamorphosis itu kemudian dibahasakan melalui permainan visual di dalam karya kolase.
Perlu dicatat, proyek Mantra agaknya adalah agenda Kamarkost.ch untuk memperpanjang atau mengimprovisasi pengalaman mereka terkait eksplorasi artistik yang telah didapatkan selama proses belajar di MILISIFILEM Collective. Ini menjadi alasan paling realistis mengapa akhirnya mereka memilih Metamorphosis sebagai produk pembanding bagi mantra-mantra Minangkabau yang telah mereka kumpulkan dan teliti, yang secara khusus dimaksudkan untuk menggarap versi pertama dari proyek Mantra yang akan disertakan dalam pameran di Cemeti tersebut. Barangkali, terbilang lumayan sulit untuk mencari atau menspekulasikan hubungan psikososial antara masyarakat Minangkabau dan masyarakat di lokasi yang menjadi rujukan Kafka ketika menulis cerita fiksinya. Jika benar begitu, maka, bagi Kamarkost.ch, memilih Metamorphosis sebagai salah satu objek riset artistik dalam proyek Mantra lebih didasari oleh alasan heutagogis. Berhubungan dengan alasan ini secara tidak langsung, kolase-kolase Mantra terealisasi sebagai proyek yang sangat spekulatif, terutama dari segi bentuk visualnya.
Akan tetapi, unsur spekulatif dalam Mantra adalah pokok yang mengindikasikan orientasi Kamarkost.ch untuk tak mau terjebak pada gagasan klasik mengenai representasi. Dalam proses pengerjaan proyek Mantra, Kamarkost.ch seakan-akan menerapkan teori studium-punctum-nya Barthes dalam mencerna karya sastra yang akan ditafsir menjadi karya kolase.
Merenungkan proses penciptaan seri kolase Mantra oleh Kamarkost.ch, saya berpikir bahwa, dalam tahapan studium, Kamarkost.ch merekonstektualisasi makna kultural, sosial, dan historis dari karya sastra yang satu (mantra-mantra Minangkabau, yang berbentuk lisan; lestari dalam tradisi lokal) ke latar makna kultural dan sosial dari karya sastra lain yang menjadi pembandingnya (Metamorphosis, yang berbentuk tulisan; karya sastrawan luar negeri). Metode ini juga berlaku untuk arah yang sebaliknya. Proses rekontekstualisasi bolak-balik ini terwujud dalam seleksi sejumlah kata kunci yang mengkorelasikan mantra dengan Metamorphosis. Selanjutnya, konteks-konteks sosikultural dan sosiohistoris yang mengelilingi isi dari kedua produk sastra itu dilepaskan dari kata-kata kunci yang sudah diseleksi. Dengan cara itu, imajinasi-imajinasi yang muncul di kepala para pembuat kolase berdasarkan kata-kata kunci tersebut lebih dipengaruhi oleh hal-hal umum yang dialami anggota Kamarkost.ch sehari-hari, ketimbang oleh sistem simbolik yang lebih besar yang menjadi elemen-elemen kontekstual dari sumber yang mereka kaji.
Namun begitu, penyeleksian kata-kata kunci dari isi mantra dan isi Metamorphosis, serta imajinasi visual yang muncul kemudian di kepala para pembuat kolase, bagaimanapun, tetap dibayangi oleh logika studium. Sebab, di dalam kehidupan sehari-hari anggota Kamarkost.ch, juga terdapat sebuah sistem simbolik tertentu, terlepas apakah itu berkaitan dengan isi sastra atau tidak. Karenanya, tahapan punctum dalam proses penciptaan kolase Mantra agaknya lebih terletak dan terjadi pada bagaimana si pembuat kolase menuangkan (atau merealisasikan secara visual) imajinasi subjektif mereka ke atas bidang kolase. Imajinasi visual yang menuntun si pembuat kolase menyeleksi gambar-gambar dari berbagai sumber, juga memengaruhi bagaimana mereka memotong-motong bagian-bagian gambar tertentu dari sebuah sumber untuk disusun dan digabungkan dengan gambar lain dari sumber lainnya. Mengingat bahwa imajinasi tersebut masih berkait dengan studium, maka, dalam tahapan punctum, yang menjadi ukuran dan pertimbangan dalam penyusunan/penggabungan potongan-potongan gambar ke dalam bentuk kolase adalah pola dan irama non-maknawi dari properti rupa yang dimiliki setiap potongan gambar. Dalam tahapan ini, konsteks sosiokultural dan sosiohistoris yang identik dengan isi kedua produk sastra (mantra dan Metamorphosis) sudah lepas sama sekali, sedangkan aturan-aturan yang bekerja pada finalisasi kolase adalah aturan-aturan gambar murni.
Metode ini, akhirnya, menyebabkan kolase Mantra terbebas dari status “karya yang merepresentasikan” baik mantra maupun cerita Metamorphosis. Sebagai suatu ungkapan, atau bahasa visual, kolase-kolase yang dihasilkan Kamarkost.ch berdiri sebagai dirinya sendiri.
Meskipun proyek Mantra tidak punya hubungan dengan platform MILISIFILEM Collective dari segi pengadaan dan pelaksanaannya, Kamarkosti.ch bagaimanapun tetap menerapkan improvisasi dari metode penciptaan karya seni rupa yang dikembangkan oleh platform tersebut. Itulah mengapa ada kemiripan gaya ungkap visual antara Mantra dan Gregor, Dehumanize Collage. Saya pikir, kemiripan ini terjadi bukan semata karena Metamorphosis menjadi sumber inspirasi bagi kedua proyek, tetapi juga lebih disebabkan oleh kesamaan praxis dalam menstrukturisasi, memperlakukan, dan mengorganisir material-material gambar untuk menjadi karya kolase. Sebab, MILISIFILEM Collective merupakan gerakan seni rupa yang lumayan “anti-naratif”.
Kolase Anti-Naratif dan Anti-Ilustratif
Pada tradisi yang sedang berkembang dalam platform belajar bersama MILISIFILEM Collective, kedisiplinan terhadap elemen-elemen dasar seni rupa coba digaungkan kembali dengan kesadaran bahwa, daya liris dan ekspresif suatu karya akan mencuat sejauh elemen-elemen tersebut dikonstruksi dengan nalar. Inspirasi, dalam wacana MILISIFILEM Collective, adalah sebuah dampak dari pergulatan panjang seorang seniman dengan isu, medium, dan material yang menjadi fokusnya, yang pada kelanjutannya bisa diabstraksi, diungkapkan, dan diargumentasikan secara artistik. Inspirasi tidak dipahami sebagai hal yang disikapi layaknya wahyu ilahiah, atau sebagai intuisi mendadak, apalagi ahistoris, dan tak membuka ruang analitis.
Bentuk (form), di satu sisi, pada dasarnya adalah “isu” juga; “isu” yang berpeluang untuk menjadi jembatan bagi isu-isu lain, atau justru menjadi “isu ultima” akibat kebutuhan si seniman yang ingin mengekspresikan isu-isu yang mendahului bentuk (form). Pada sisi yang lain, upaya penciptaan bentuk karya seni adalah sebuah aksi politik estetika—aktivisme estetika. Kedua hal tersebut, yaitu “bentuk sebagai isu” dan “estetika sebagai aktivisme”, yang berpasangan bagaikan dua sisi mata uang koin, merupakan subject matter dalam hampir semua karya-karya yang dibuat oleh para eksponen MILISIFILEM Collective. Prinsip itu jugalah yang dipegang oleh Kamarkost.ch dalam kesenian mereka.
Menurut pengakuan Mardi Al Anhar, salah seorang pendiri Kamarkost.ch, kepada saya pada suatu hari tak jauh sebelum proyek Kelekatan diluncurkan, apa yang menjadi cita-cita Kamarkost.ch di masa depan dengan praktik kolase mereka adalah terbangunnya suatu wacana tanding terhadap perkembangan populer seni kolase di Indonesia. Menurutnya, praktik membuat karya kolase yang berkembang sekarang ini lebih banyak yang berorientasi pada pengkomunikasian nilai-nilai secara naratif dan penjelajahan komposisi visual yang bergantung pada daya ilustratif gambar. Sedangkan bagi Kamarkost.ch, yang esensial dalam kolase adalah deformasi: gambar yang dipotong dari sebuah sumber mesti direkontekstualisasi, kalau perlu didekontekstualisasi dari sejarah makna yang telah lebih dulu melekat pada gambar aslinya. Kesadaran ini menekankan pentingnya pemahaman terhadap sejarah bentuk dan sejarah makna dari gambar yang dipilih, termasuk pemahaman tentang konteks apa pun yang telah, sedang, dan akan mengitari gambar tersebut. Dengan menyadari itu semua, potongan-potongan gambar dapat disusun dan digabung menjadi perihal yang baru sama sekali dan, terutama, tidak mengulang orientasi naratif-ilustratif yang mengkarakterisasi sumber asli gambar; dan bahkan menghilangkan orientasi naratif-ilustratif apa pun secara penuh pada kolase yang akan dibuat.
Contohnya, dalam kolase-kolase Kamarkost.ch, potongan gambar tangan yang diambil dari, misalnya, sebuah foto jurnalistik dalam surat kabar, dideformasi ke dalam karya kolase untuk menjadi bukan lagi tangan, tetapi hal yang lain. Akan tetapi, Kamarkost.ch menyadari bahwa, dengan menjadikan potongan gambar tangan itu sebagai “hal lain”, godaan untuk tetap bernarasi atau membangun ilustrasi (meskipun bukan tentang “tangan”) masih akan ada dan kerap menjebak si pembuat kolase ketika menyusun gambarnya. Deformasi, bagaimanapun, tak sepenuhnya bisa melepaskan kita dari kecenderungan yang bersifat parasit, yang kerap merayu kita untuk menarik makna-makna di luar eksistensi gambar itu sendiri. Oleh karenanya, untuk menyiasati jebakan semacam itu, yang menjadi pertimbangan Kamarkost.ch ketika menyusun potongan-potongan gambar menjadi kolase bukanlah pesan apa yang akan diterka, melainkan tampilan apa yang akan dicerna oleh mata para penikmat karya. Bagi Kamarkost.ch, ini bukan soal bagaimana sebuah karya kolase mewakili sebuah pesan yang ada di balik susunan gambar, melainkan bagaimana ia dapat menjadi sebuah pengalaman visual (serta pengalaman visual yang bagaimana yang akan terjadi) ketika orang lain berhadapan dengan gambar-gambar yang tersusun di dalamnya.
Gagasan itu, sedikitnya, agak terdengar rada-rada “Suprematis”—gambar sebagai gambar itu sendiri, dan visual sebagai bahasa yang non-objektif dan non-representasional, karena tidak mewakili apa pun yang berada di luar gambar.
Namun, menurut saya, gaya ungkap visual dari kolase-kolase Kamarkost.ch agaknya lebih bersifat Konstruktivis ketimbang Suprematis. Sebab, fokus mereka sesungguhnya bukanlah “gambar apa adanya” (image as such) ataupun gambar yang dikomposisi (composition of images). Kepekaan mereka, sadar tidak sadar, lebih tentang material, di antaranya ialah tentang “dekontruksi” dan “konstruksi baru” atas properti dan karakteristik rupa yang menjadi struktur material gambar. Pengalaman visual yang ditawarkan kolase Kamarkost.ch agar dapat dicerna oleh penikmat karya bukan lagi bertujuan kontemplatif, melainkan fenomenologis.
Jika benar bahwa kolase-kolase mereka tetap memiliki referensi, dan dalam derajat tertentu bersifat swa-referensial, maka apa yang disebut “referensi” dalam konteks karya-karya kolase Kamarkost.ch bukanlah apa pun (bahkan juga bukan “figurasi visual dari gambar-gambar yang tersusun sebagai gabungan baru”), kecuali “kualitas material” dari hal-hal yang dikonstruksi menjadi kolase; hal yang tak mengomunikasikan emosi spiritual ataupun makna transendental sama sekali, tapi men-signifikasi-kan modus analitis dari dan terhadap keberadaan material yang bersifat “verbal”, yang konkret belaka, dan yang lebih berorientasi untuk membangun sekaligus membongkar “aura sistematik”.[2]
Mengkonstruksi (to construct) kolase dengan memperlakukan gambar sebagai material, itu berarti bahwa, si seniman kolase hendak menawarkan suatu pengalaman visual yang dapat dicerna dengan nalar: dapat diukur, dapat ditinjau ulang, dan juga dapat dicari alasan-alasan baik intrinsik (termasuk yang bersifat sintaksis) maupun ekstrinsik (pragmatis) yang mendasari struktur kolase tersebut. Alih-alih narasi, ilustrasi, ataupun representasi tentang sesuatu di balik kolase, karya Kamarkost.ch menampilkan sebuah rasionalitas sistem, yaitu “sistem material”.
Kolase berjudul “Mantra” (Gambar 3) karya Mia Aulia, salah seorang anggota Kamarkost.ch, merupakan contoh paling mencolok yang menunjukkan gelagat konstruktivis dari proyek seni kolase Mantra. Kesengajaan menempel gambar renyuk bertekuk-tekuk (atau merenyukkan gambar untuk ditempel) di atas bidang putih, agaknya, bukan didasari oleh pertimbangan matematis (semacam geometris), tetapi untuk menunjukkan sebuah struktur raut (shape) yang efeknya akan mempertegas sifat kertas—material yang dipilih dalam proyek kolase ini. Hitung-hitungan matematis pada bidang datar barangkali sangat efektif jika kolase yang dibuat menitikberatkan keselarasan visual secara komposisional—argumen populer di kalangan pegiat abstrak untuk mempertahankan gaya non-objektif mereka. Namun, dalam kolase ini, alih-alih semata komposisi, apa yang sebenarnya lebih diaplikasikan adalah kemungkinan konstruksional: perlakuan dan penempatan material.
Nyatanya, dengan tidak menitikberatkan hitung-hitungan matematis bukan berarti si seniman keluar dari kategori kesadaran saintifik dan analitik. Peremukan kertas juga bukan dalam maksud merepresentasikan emosi dan ekspresi subjektif si seniman. Yang perlu kita sadari adalah, modus yang digunakan dalam karya kolase tersebut ialah modus geologis ketimbang topografis, dan dalam hal itu, konsekuensi yang diharapkan bukan pemaknaan atas figurasi visual, melainkan pemahaman atas mutu kertas. Dengan metode ini, pada dasarnya Mia Aulia menerapkan faktura, salah satu prinsip utama dalam Konstruktivisme. Lewat faktura, fokus eksperimen tidak lagi berada pada level “latihan abstrak atas elemen”, tetapi bagaimana mengkonkretisasi (mensubstansialisasi) elemen tersebut menjadi taktil. Dengan kata lain, alih-alih “bidang ekspresif” belaka, kolase Mia adalah semacam “ruang laboratorium” yang mendokumentasikan proses konstruksi material. Gelagat ini, sedikit banyak, mengingatkan kita pada Black on Black (1918) yang dibuat Aleksandr Rodchenko, sebagai antitesis Suprematist Composition: White on White (1918), dalam rangka menantang dan mengkritisi rezim Suprematisme spiritual ala Malevich.
Poetry of Becoming
Mari kita kesampingkan ide Konstruktivisme sejenak. Di bagian ini, saya ingin mengajak Anda untuk bersama-sama mengacu pandangan dua pemikir/kritikus yang lebih kontemporer, Gregory Ulmer dan Donald Kuspit, sehubungan dengan kritisisme mereka terhadap kolase.
Pandangan pertama, Ulmer, menyatakan bahwa kolase (juga montase) adalah “manifestasi pada tataran wacana dari prinsip gram.”[3] Konsep gram yang dimaksud Ulmer adalah salah satu istilah yang dipakai Derrida untuk mempersoalkan kodrat bahasa: setiap unsur dalam bahasa tak dapat berdiri sendiri sebagai tanda (sign) tanpa mengacu unsur-unsur lain di dalam bahasa itu, yang juga tidak hadir begitu saja. Bahasa adalah sebuah rantai atau sistem elemen, yang mana setiap elemen terbentuk berdasarkan jejak-jejak dari elemen-elemen lain yang juga ada di dalam rantai tersebut.[4]
Ulmer membandingkan pemaparan Derrida ini dengan pengertian kolase menurut Groupe μ, yaitu: setiap elemen (setiap potongan gambar) dalam kolase memecah kesinambungan dan linieritas wacana, dan mengarah pada pembacaan ganda. Pertama karena keterkaitan elemen itu dengan sumber asalnya, dan kedua karena ketergabungannya dalam suatu keutuhan yang baru (kolase itu sendiri). Tetapi, menurut Groupe μ, sebagai sebuah satu kesatuan pun, kolase tak pernah memberangus atau memadamkan keberlainan masing-masing elemennya yang tengah menyatu dalam susunan temporer. Dengan demikian, seni kolase dapat disikapi sebagai salah satu strategi paling efektif untuk mempertanyakan kembali ilusi representasi.[5]
Pandangan kedua, dari Kuspit, adalah perihal aktualitas sebuah entitas pada setiap entitas lainnya. Menurut Kuspit, kita dapat mengidentifikasi sebuah entitas menurut sintesisnya, yang mana sintesis tersebut adalah “sintesis atas entitas-entitas yang lain, sementara masing-masing entitas tetap menjadi bagian yang mungkin dari dirinya sendiri”. Kolase, dalam pandangan Kuspit, adalah demonstrasi dari proses ini, yaitu “sebuah proses yang di dalamnya banyak entitas (yang beragam) menjadi satu kesatuan (menjadi kolase) sementara apa yang disebut kesatuan itu sendiri tak akan pernah terselesaikan sepenuhnya karena entitas yang banyak ini selalu menimpanya”. Dalam kolase, “setiap entitas berpotensi relevan bagi keberadaan entitas lain, juga berpotensi menjadi fragmen di dalam keberadaan tiap-tiap entitas lainnya”.[6]
Singkatnya, “konkresensi[7] tidak akan pernah tuntas”. Dengan kata lain, kolase adalah suatu “puisi dari menjadi” (the poetry of becoming); puisi “tentang kesementaraan (tentativeness) dari setiap kesatuan wujud (unity of being) yang disebabkan oleh keteguhan untuk tetap menjadi (the persistence of becoming) bahkan ketika ke-entitas-an absolut tampak telah tercapai”.[8] Berkaitan dengan hal itu, kolase justru menghasilkan “efek sumbang” karena didasarkan pada “ketidaklengkapannya”, yang mana “ketidaklengkapan” inilah yang justru merupakan jiwa kolase itu sendiri.[9] Kuspit juga menyatakan bahwa “kolase merupakan contoh sempurna dari keadaan kontras antara categorization of actuality dan expectation of becoming.”[10]
Pemikiran Ulmer dan Kuspit—juga Derrida dan Groupe μ—adalah teori lainnya yang mendasari argumen saya dalam esai ini untuk mempercayai kolase sebagai salah satu metode untuk “mengkaji bahasa dengan bahasa itu sendiri”, dan dalam konteks pembahasan kita mengenai karya Kamarkost.ch, ialah “mengkaji bahasa visual dengan bahasa visual itu sendiri”. Mengacu pada keyakinan ini jugalah, saya, di subjudul sebelumnya, menyatakan bahwa, besar kemungkinannya jikalau kolase-kolase Kamarkost.ch itu bersifat swa-referensial, dalam arti: apa yang menjadi konten kolase adalah tampilan analitik-nya atas apa yang diekspektasikan menjadi konten. Gagasan ini memang terdengar mirip frasa ikonik McLuhan: “medium adalah pesan”. Akan tetapi, dalam pandangan McLuhan, kinerja dari medium komunikasi, yaitu “dapur” yang mengontrol bentuk pesan (konten), tengah diburamkan oleh konten itu sendiri. Oleh karena itu, hanya lewat proses penguraian kinerja medium-lah kita akan dihantarkan kepada pemahaman yang hakiki atas pesan yang sesungguhnya, bahwa makna sebuah pesan bergantung pada karakteristik medium. Sementara, pada kolase Kamarkost.ch, kinerja medium itu adalah hal yang sengaja dihadirkan dengan gamblang, yang tampil serempak dengan—dan sering kali bahkan menyela-nyela—konten.
Tampilan pada kolase berjudul “Kosakata” karya Anisa N. Khairo (Gambar 4), sebagai contoh, menunjukkan analisis konstruksional tentang diferensiasi bidang, garis, dan warna. Mengapa saya menyebutnya “konstruksional” ketimbang “komposisional”? Sebab, logika penempatannya tidak semata mengacu ukuran matematis, juga tidak berorientasi mengejar kesetimbangan proporsi. Garis-garis lurus (yang biasanya identik dengan langgam geometris), misalnya, pada susunan dalam kolase ini justru hadir sebagai bagian dari konstruksi biomorfis secara keseluruhan. Apa yang tampak, nyatanya, adalah (1) suatu komparasi spasial antara warna hitam dan putih, (2) indentifikasi tentang efek kedalaman dan perspektif sebagai konsekuensi dari posisi setiap fragmen gambar, (3) repetisi sejumlah elemen (garis dan bidang), dan (4) deframing[11] sebagai deformasi alternatif atas figur-figur.
Jika dicermati, konstruksi karya ini bukan tengah menyampaikan sebuah sensasi atau rasa tentang apa pun itu. Sekali lagi saya utarakan, bahwa yang terbentang adalah peta diferensiasi-diferensiasi, yang keterhubungannya diuji secara arbitrer tanpa acuan baku yang ditetapkan di luar keberadaan setiap fragmen. Setiap fragmen malah mengacu dan relevan terhadap keberadaan mereka satu sama lain. Keberadaan dari potongan wajah yang ditimpali telinga terbalik di area hitam pada bagian agak tengah, misalnya, mengacu kepada potongan-potongan wajah lainnya (baik yang ada di area putih sebelah kiri maupun yang menumpuk di area sebelah kanan), di mana setiap potongan wajah ini saling mengacu karena menjadi bagian dalam suatu pengulangan dari modus perlakuan terhadap (atau, cara mensitasi) gambar dari sumber asalnya.
Alih-alih diniatkan sebagai perlambangan akan satu hal yang berorientasi moral, misalnya brutalitas atau sadisisme, wajah-wajah yang diambil hanya sebagian itu, untuk ditumpuk atau ditempatkan di atas atau di bawah bagian gambar-gambar lainnya, justru dihadirkan dalam rangka menunjukkan dan mengkonfirmasi, sekaligus menguji, kerja deframing sebagai sebuah aparatus gambar. Dengan deframing figur-figur itu, area hitam dan area putih (pada rentang area dari tengah ke kiri) menjadi relevan sebagai komparasi spasial, sementara spasialitas ini juga membuat kedua area tersebut relevan terhadap potongan-potongan gambar lainnya yang mengandung garis (baik vertikal, horizontal, maupun diagonal) karena juga membawa konteks tentang keruangan. Pada area agak ke kanan-bawah, potongan-potongan gambar yang mengandung pola geometris dipadu-tumpukkan secara rapat dengan potongan-potongan gambar yang mengandung pola biomorfis; paduan ini untuk mengidentifikasi kedalaman masing-masing elemen, tapi sekaligus juga mengimplikasikan kedalaman latar hitam yang diisi oleh semua fragmen, dan secara khusus menegaskan kedalaman area hitam yang ada di tengah-tengah kolase, serta kedalaman area putih berbentuk segitiga dengan satu sisi yang tak lurus. Sementara itu, garis-garis yang terkandung pada setiap fragmen gambar hadir sebagai pola berulang, yang satu sama lain berpotensi saling bersinambung tapi sekaligus saling memutus/menyela karena arahnya yang beragam. Analisis yang lainnya, yang dapat kita cerna, adalah komparasi bobot skulptural antara tumpukan fragmen di kiri dan tumpukan fragmen di kanan, yang menawarkan pencernaan terhadap jukstaposisi antara sifat datar (flatness) dan sifat geradakan/bergerigi.
Pencernaan yang saya lakukan di atas, meskipun tidak memikirkan acuan matematis yang bisa jadi ditentukan dan berada di luar keberadaan materialitas setiap fragmen di atas latar hitam, adalah dampak dari pengorganisasian yang dilakukan Khairo terhadap potongan-potongan gambar tersebut. Aturan organis dari pelekatan dan penjarakan setiap gambar, dengan kata lain, dipengaruhi oleh penelaahan si seniman terhadap bobot, perspektif, tekstur, spasialitas, dan piuhan yang mungkin terjadi ketika kolase itu dibuat dan kemudian ditampilkan. Dengan fokus pada bobot, perspektif, tekstur, spasialitas, dan piuhan itulah, kolase yang dibuat Khairo beroposisi (atau menjadi antagonistik) terhadap harmonisasi, integrasi, kesatuan, kelinieran, dan penutupan (closure).[12] Dengan oposisi semacam itu, konsep-konsep leksikal yang justru berlaku adalah komparasi, tautan, rakitan, gabungan, interseksi, asosiasi, koalisi, resonansi, kombinasi, penambahan, progresi, dan, organisasi dari fragmen-fragmen, yang malah memungkinkan terjadinya diskordansi dan keterbukaan susunan yang dapat mempresumsikan keberlanjutan dari “proses menjadi” (becoming).
***
Sampai di sini, kita perlu fokus kembali ke ide Konstruktivisme. Sebagaimana pandangan Ulmer dan Kuspit, Konstruktivisme juga setidak-tidaknya mengandaikan suatu struktur visual layaknya suatu struktur linguistik, yang di dalamnya setiap elemen dapat kita argumentasikan “ada” dan “berada” berdasarkan logika grammatologis[13].
Dalam konteks praktik Kamarkost.ch, dengan berlandaskan pada perspektif “konstruksi” ketimbang “komposisi”,[14] dan kecenderungannya pada tampilan yang non-naratif/non-ilustratif (dan dengan demikian juga non-representasional), kolase-kolase sedang berbicara mengenai struktur mereka sendiri sebagai suatu moda bahasa.
Tampilan analitik konstruksional “Hu” (Gambar 5) karya Mardi Al Anhar, sebagai contoh yang lain, mengindikasikan kombinasi acak dari berbagai urutan progresif berdasarkan perbedaan skalar dari elemen-elemen beraut lengkung yang telah terkelompokkan menurut tema tertentu: “sekuens huruf”, “pola batik”, “tekstur bibir”, “tumpukan jam bersamaan dengan tangan dan kepala”, “lubang ikat pinggang”, dan “jari-jemari”, serta kelompok-kelompok lengkungan lain dengan “rupa mirip kerucut” dan keberadaannya disela oleh lekukan-lekukan tipis dari fragmen-fragmen “gambar yang tak bertandem”.
Perlu disadari bahwa tema-tema yang saya beri tanda petik di atas, dalam konteks penjelasan saya sekarang, semata bertujuan untuk membantu Anda menemukan elemen-elemen yang memiliki kemiripan dari segi bentuk (meskipun tidak sepenuhnya sama) dan yang secara organik telah terkelompokkan menjadi bagian-bagian yang lebih besar di dalam kolase Anhar. Selebihnya, tema-tema tersebut tidak punya urusan dengan sesuatu yang barangkali tengah direpresentasikan oleh kolase ataupun oleh unit-unit penyusunya, karena pada dasarnya, kolase ini memang bukan sedang merepresentasikan hal di luar lingkup konstruksi struktur materialnya.
Maka, kalau bukan representasi, progresivitas dari kombinasi lengkungan-lengkungan di dalam “Hu” adalah demonstrasi dari suatu logika bahasa tutur. Apa pun bentuknya, dalam sudut pandang linguistik yang lebih menggunakan pendekatan positivistik, apa yang disebut sebagai “logika bahasa tutur” adalah logika yang mengutamakan pembacaan terhadao logika konsekutif elemen-elemen penyusunnya dalam rangka mencapai keterbacaan, keterlihatan, keterdengaran, dan ketercernaan, serta kebenaran sacara “grammar”,terlepas apakah sikap itu nantinya berurusan dengan kemampuan serebral atau eksperensial pengamat/pembaca. Dalam karya kolase “Hu”, logika itu didemonstrasikan, bukan dideskripsikan, lewat konstruksi atas progresivitas lengkungan. Artinya, progresivitas lengkungan dalam kolase “Hu” merupakan “konten tentang konten”; “bahasa tutur tentang bahasa tutur”.
Saya pikir, swa-referensialitas seperti yang saya paparkan di atas juga berlaku hampir di semua karya kolase dalam seri Mantra dan Gregor, Dehumanize Collage yang telah dibuat Kamarkost.ch, baik secara implisit maupun eksplisit. Dengan demikian, pada analisa yang menyeluruh terhadap Mantra dan Gregor, Dehumanize Collage sebagai sebuah seri kolase, kita bisa jadi akan menyimpulkan bahwa keduanya adalah proyek kolase yang secara gamblang menampilkan kinerja medium kolase itu sendiri; keduanya adalah proyek kolase refleksif.
Selain itu, berlandaskan pemahaman bahwa kolase (sebagai sebuah “kerja laboratorium”) tidak menampilkan wujud visual yang total dan absolut, kita juga dapat melihat bagaimana abstraksi, dalam pengertikan kolase Kamarkost.ch, bukanlah finalitas dan konklusi. Pada satu sisi, ia adalah sebuah penggalan, “aktualitas”, atau “kekinian” dari sebuah proses analitis, tapi pada sisi yang lain, adalah sebuah “sinyalitas” tentang “jejak-jejak yang mungkin” (possible traces) dalam antesedensi imajiner dari proses analitis tersebut, dan pada saat yang bersamaan juga merupakan “arah-arah yang mungkin” (possible directions) dalam kon-/sub-sekuensi imajiner dari proses yang sama. Hal ini dapat kita kaitkan dengan kecenderungan penggunaan langgam biomorfis yang lebih kental dibandingkan langgam geometris di dalam kolase-kolase Kamarkost.ch. Modus perangkaian semacam itu memang relatif lebih fleksibel dan terbuka pada imajinasi tentang tubrukan, osilasi, dan interupsi, serta diskoneksi temporer dari suatu kesinambungan, penyimpangan arbitrer dari linieritas, dan potensi dari hubungan resonansial antarbagian. Sifat “tak pasti” dari langgam biomorfis inilah yang mencirikan karya-karya kolase Kamarkost.ch secara unik sebagai suatu bentuk kebergabungan organik dari banyak elemen—dengan independensi dan interdependensinya satu sama lain—yang mengandaikan keberlanjutan untuk “terus tumbuh”, untuk “terus menjadi [sesuatu]”; sebuah sistem yang di dalamnya setiap bagian mengamini suatu kebergabungan yang bersifat eksploratori menuju bentuk keseluruhan yang indeterminan.
Kelekatan: Kolase Performatif atau Performans Kolase?
Jika Anda belum pernah tahu maka di sini saya beri tahu: sebelum mereka mengenal dan lantas secara sadar memilih kolase sebagai genre utama dalam mengembangkan praktik berkesenian,[15] Kamarkost.ch sebenarnya telah menaruh perhatian terhadap bentuk-bentuk seni performans yang bereksperimen dengan isu “identitas alter”.
Saya tidak mau mengesampingkan bagaimana dua orang pendiri kolektif ini dulunya menempa karakter Creazy Doctor dan Levo lewat kegiatan cosplay yang intens, menampilkannya ke publik (baca: siapa saja yang mereka temui) nyaris 12 jam setiap hari. Bahwa proyek itu menjadi medium artistik yang sengaja dimanfaatkan oleh Kamarkost.ch untuk membangun interaksi sosial mereka di medan kesenian, maka jejak-jejak eksperimen seni performans ini, saya pikir, merupakan salah satu faktor yang juga turut memengaruhi arah penjelajahan artistik kolase Kamarkost.ch di kemudian hari. Mereka berniat untuk menggabungkan seni kolase dengan seni performans. Itulah cikal-bakal gagasan proyek seni Kelekatan.
Di mata saya, Kelekatan terbilang merupakan proyek seni yang menggebrak, mengejutkan, dan memukau; menjadi sebuah kesegaran dalam perkembangan seni kolase, seni fotografi, dan seni performans (secara spesifik, performans fotografi) di Indonesia. Tentu saja, ini adalah klaim saya yang sangat personal. Perlu diakui, agar tidak disalahpahami, bahwa kita masih membutuhkan penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif (kalau perlu berkelanjutan) terhadap kesenian Kamarkost.ch agar bisa melegitimasinya sebagai sebuah “kebaruan seni”.
Namun begitu, saya tidak bisa menahan diri untuk menyatakannya demikian. Dalam eksplorasi yang lebih jauh menuju bentuk-bentuk yang melampaui batas-batas “kolase kertas”, kritisisme Kamarkost.ch dalam proyek Kelekatan mendorong potensi maksimal kolase sebagai sebuah mekanisme pengungkapan sekaligus penguraian sistem material yang berguna untuk memahami karakteristik praktik artistik pada ranah genre yang berbeda di luar kolase. Yang paling menarik dan ingin saya tekankan di sini, ialah, apa yang saya maksud sebagai “kesegaran” dalam proyek seni kolase Kelekatan adalah upaya Kamarkost.ch untuk kembali bergerak menuju basis: menyikapi kolase sebagai sebuah paradigma bagi studi performans. Hal ini sebagaimana pendapat Kilgard, “kolase adalah praktik artistik yang logis untuk menjelajah karena potensi heuristiknya bagi praktik studi performans.”[16] Menurut Kilgard lagi, menempatkan kolase sebagai paradigma untuk studi performans, kita akan bertemu dengan prinsip-prinsip mengenai “kegandaan” (doubleness) dan “jukstaposisi” sebagai dua fungsi dan strategi metodologis untuk membongkar lapis-lapis suatu ungkapan performatif, termasuk memerinci komponen-komponen yang menegaskan sifat multivokal sebuah karya seni performans.
Seperti yang dapat kita lihat, seri kolase Kelekatan merupakan kolase yang menggunakan tubuh-tubuh dan benda-benda keseharian sebagai elemen-elemen visualnya. Sebagaimana sifat karya seni kolase, setiap tubuh dan benda di dalam masing-masing kolase Kelekatan tidak serta-merta kehilangan arti (rujukan makna) dari pengertian asalinya, tapi secara bersamaan, masing-masing tubuh dan benda ini juga menunjukkan “peluruhan arti asli” mereka karena hubungan-hubungan jukstaposisional dan resonansialnya dengan keberadaan tubuh dan benda lain yang ada di dalam konstruksi kolase. “Afirmasi arti” dan “peluruhan arti” hadir bersamaan, serempak, mengarakterisasi sifat kolase yang sesungguhnya. Ini adalah salah satu sifat ganda dari Kelekatan.
Namun, karena susunan dan gabungan elemen-elemen (yang terdiri dari tubuh-tubuh dan benda-benda) dalam kolase Kelekatan ini “dibekukan” oleh fotografi, pembacaan yang agaknya lebih relevan kemudian adalah melalui sudut pandang “mata mekanis” fotografis. Dalam status yang demikian, kolase-kolase Kelekatan sebenarnya mendemonstrasikan dua lapis “peristiwa kolase”. Pertama, kolase atas tubuh dan benda, yang mana eksekusinya terjadi lewat penciptaan peristiwa pra-bidikan kamera. Kedua, pemenggalan fotografis atas momen aktual temporer ke dalam ranah bingkai yang baru, menjadi semacam “stiker” di atas situasi nyata dari realitas universal kita sendiri. Bahwa bingkai fotografis “memenjara” momen ke dalam suatu batas tertentu, memutusnya dengan batas-batas transparan (to crop) dari realitas aktual, ia dengan kata lain membatasi apa yang bisa kita lihat, tapi membuka seluas-luasnya peluang untuk terealisasinya sebuah pengamatan rinci terhadap penampakan apa yang dibatasi oleh bingkai tersebut.[17]
Sebagai sebuah “peristiwa fotografis”, aksi seismografis subjektif (“pengolahan material secara langsung oleh tangan pengkarya”) untuk mengeksekusi penempatan objek (elemen) dalam seri kolase Kelekatan sudah tak berlaku lagi. Apa yang diharapkan sebagai “objek yang saling melekat” dan “situasi melekat” dari kumpulan elemen-elemen itu, pada akhirnya, adalah berdasarkan pada “daya tahan pose-pose objek” terhadap waktu, di mana rupa-rupa elemen bergantung pada momen. Di sinilah kemudian tampak aspek studi performans (studi atas tubuh) dalam praktik kolase Kamarkost.ch melalui Kelekatan. Para pembuat kolase—yaitu si performer yang difoto dan juru kamera yang mengabadikan momen—berurusan dengan sebagian properti rupa yang tak terprediksi, yaitu rupa tubuh yang tengah menginterupsi, atau diinterupsi oleh, benda-benda keseharian. Tentu saja, ini juga berhubungan dengan apa yang kita kenal (jika merujuk Walter Benjamin) sebagai “prosedur montase”—sebagaimana prosedur ini sendiri sejatinya juga merupakan kodrat kolase—yaitu: “elemen yang di-superimpos-kan mendisrupsi konteks yang di dalamnya elemen itu ditempatkan.”[18]
Amatilah, sebagai contohnya, karya kolase berjudul “Peluk Sayang 2” (Gambar 6), yang menampilkan Anhar, Khairo, dan Xabat berpose di tengah tumpukan benda-benda domestik. Karena tubuh yang berpose mempunyai daya tahannya sendiri, dan rupa tubuh (guratan kulit, atau ekspresi wajah, beberapa di antaranya) yang tertangkap oleh kamera adalah hasil seleksi mekanis sebagai penggalan momen dari sebuah peristiwa, maka elemen visual dari “hasil seleksi mekanis” ini sesungguhnya berada di luar kontrol pembuat kolase: keadaan tubuh yang difoto bagaimanapun tidak sepenuhnya berada di bawah kuasa para pembuat kolase sebagaimana kertas yang pasrah dipotong-sambung oleh tangan-tangan subjektif. Proses konstruksi kolase yang berlangsung dalam seri Kelekatan, pada dasarnya, menyerahkan diri pada proses yang terbuka dengan segala kemungkinan interuptif.
Menyadari bahwa produksi Kelekatan dengan sengaja mengambil latar non-studio dan lebih mengamini latar alamiah (meskipun ada benda-benda yang disusun di dalamnya), keberpihakannya pada pendekatan dokumentaris lebih menonjol dalam rangka memangkas reproduksi ilusionistik. Reaksi tubuh, ekspresi wajah, intervensi gejala alam (cahaya dan angin) di luar ruangan terhadap posisi benda; kesemuanya adalah variabel-variabel tak tetap yang memengaruhi gabungan macam apa yang nanti akan tertangkap oleh kamera sebagai kolase. Indikasi-indikasi ini, selain pada “Peluk Sayang 2”, dapat kita temukan juga pada karya-karya kolase berjudul “Peluk 2” (Gambar 7), “Duduk dan Ngobrol” (Gambar 8), dan “Teman Ngobrol” (Gambar 9); beberapa karya yang dapat dijadikan contoh tambahan.
Prosedur montase pada karya-karya kolase ini, dengan kata lain, mengombinasikan “keadaan yang telah ditetapkan” (yaitu susunan benda-benda dan tubuh) dengan “keadaan yang tidak diprediksi” (yaitu reaksi alamiah tak terduga tubuh atas formasi atau pose yang didalamnya ia ditetapkan untuk berpose); jukstaposisi antara “yang artifisial” dan “yang alamiah”, antara “reproduksi” dan “penemuan/penggalian” situasi, juga antara konstruksi yang “membangun adegan/plot” dan konstruksi yang “menghadirkan situasi/kenyataan”. Bukankah pendekatan ini menggemakan sebuah visi yang sama dengan studi tubuh dalam Teater Epik-nya Brecht?
Maka, sampai di sini, kita bisa berkesimpulan bahwa Kelekatan adalah kolase yang di-perform-kan (“performans kolase”—performans yang dikonstruksi dengan menyadari prinsip-prinsip kolase sebagai basis gaya ungkap dan permainan bentuk). Akan tetapi, Kelekatan juga sekaligus kolase yang mempunyai “efek distansi”[19] terhadap mata penikmat karya. Ia punya efek yang merangsang pengamatan lebih rinci untuk mencerna apa yang benar-benar tampak sehingga pengamat melakukan kritik dan analisa mandiri, baik terhadap fenomen maupun konteks sintaksis dan pragmatis kolase tersebut, dengan berdasarkan pada struktur konsekutif dari elemen-elemen yang membangun rupa bahasanya. Dalam status itu, kolase Kelekatan menjadi bersifat performatif (dan karenanya, tepat pula disebut “kolase performatif”) karena konstruksi kolasenya (antara tubuh dan benda yang dijalin dalam fungsi “kegandaan” dan “jukstaposisi” itu) mengaktifkan pengamat untuk menjelajahi karya secara fenomenologis, selain inti eksperimen penyusunannya sendiri yang dengan jelas mempertanyakan kualitas material dari tubuh.
Katalog Benda-benda; Menuju Biografi Benda-benda
Meskipun secara argumentatif praktik seni kolase Kamarkost.ch dapat dibilang menerapkan prinsip-prinsip Konstruktivisme, kita perlu mengakui bahwa implementasi yang mereka lakukan masih belum bersifat tektonikal,[20] dalam arti: belum tampak benar ketegasan dalam memadukan pemahaman ideologis dan kecermatan formal di dalam karya-karya mereka. Nyatanya, kolase-kolase Kamarkost.ch masih berada dalam tahap yang baru berkembang dengan fokus pada eksperimen bentuk untuk membangun wacana tandingan terhadap “rezim naratif” dan—kalau masih boleh saya menggunakan istilah ini di bagian akhir esai—”rezim representasi”.
Merenungkan kembali proyek panjang Mantra-nya Kamarkost.ch, jalan menuju apa yang saya sebut tektonikal itu sungguh terbuka luas dan terbentang tanpa batas. Mantra, bagaimanapun, adalah sebuah tradisi lokal (yang tidak hanya dimiliki masyarakat Minangkabau, tetapi juga merupakan fenomena di berbagai wilayah di dunia) yang tidak melulu berurusan dengan apa yang tak tampak (the unseen), juga bukan semata representasi dari hal-hal yang telah lalu ataupun ramalan-ramalan suci masa depan. Mantra, sebagai manifestasi dari gaya tutur alternatif dan juga rekaman aktual berbasis lisan, sesungguhnya juga berkaitan kuat dengan “kekinian”. Mantra adalah suatu kompres dari gejala ke-sekarang-an, yang melaluinya kita bisa memerinci apa-apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Alih-alih sekadar representasi, mantra adalah sebuah indeks tentang hal-hal yang sebenarnya dialami oleh manusia.
Interpretasi mantra ke dalam permainan kolase, kiranya, sangat politis dari segi pembahasan formal. Sebab, kolase pada dasarnya juga menekankan indeksikalitas. Sebagai indeks, ia membuka jalan pada penelusuran yang sebenarnya bersifat pasti: fragmen-fragmen kolase adalah potongan, bukan simbolisasi, dari suatu sumber yang sudah dapat dipastikan ada sebelum hadir dan tampil menjadi bagian kolase itu sendiri. Ini, menurut saya, sebagaimana halnya sastra mantra.
Menerapkan perspektif yang sama terhadap proyek Kelekatan, kita bisa berargumen bahwa upaya Kamarkost.ch memanfaatkan benda-benda domestik dan tubuh performer sebagai komponen atau fragmen kolase, secara tidak langsung, tengah membangun suatu platform katalogisasi benda-benda dan tubuh. Jika benda-benda itu memang dikumpulkan ke dalam satu bidang (ruang) bukan dalam rangka untuk merepresentasikan apa pun, tapi sebagai daftar acak dari benda-benda itu sendiri dan “difungsikan” sebagai sitasi ataupun indeks, maka seri Kelekatan adalah kunci-kunci penting untuk membuka pintu yang akan mengarahkan kita kepada penjelahan aspek-aspek keseharian yang maha luas dan maha banyak. Menekankan indeksikalitas Kelekatan berarti menegaskan fungsinya sebagai kekuatan politik estetika terhadap keseharian.
Politik keseharian, sebagaimana dapat kita cita-citakan, dapat menjadi suatu ideologi tertentu dalam mengempang kuasa hegemonik dari beragam meta-naratif dan juga suprastruktur di dalam suatu sistem kehidupan masyarakat. Kesadaran terhadap keseharian warga, atau memprovokasi warga di wilayah tertentu untuk sadar terhadap kesehariannya, bisa jadi akan menjadi jalan untuk menantang, mengkritisi, dan mengantitesis dogma adat, agama, administrasi, birokrasi, kapital, dan bentuk-bentuk kekuasaan lainnya yang hari ini tengah membelenggu sebagian besar aspek kebebasan kita.
Merayakan proyek seni kolase Kelekatan sebagai “Katalog Benda-benda [Keseharian]” adalah sebuah afirmasi untuk langkah-langkah selanjutnya, untuk mencari formulasi yang tepat, untuk dapat menjadi tektonikal.
Tatkala unsur tektonikal berhasil diimplementasikan, praktik-praktik artistik semacam proyek seni kolase Kelekatan ini, dalam tingkat selanjutnya, akan menjadi “Biografi Benda-benda [Keseharian]”.
Meminjam pemikiran Sergei Tret’iakov, “Biografi Benda-benda” adalah sebuah metode, sekaligus “roda berjalan yang bersamanya material-material mentah digerakkan dan ditransformasi menjadi produk yang berguna melalui upaya manusiawi.”[21] Jika kita melangkah lebih jauh dengan secara sadar menjadikan dan memanfaatkan kolase sebagai “Biografi Benda-benda”, kolase akan menjadi suatu persilangan yang melaluinya setiap orang dapat mendekati hal-hal keseharian (karena bersifat indeksikal), yang mana setiap bagiannya akan memperkenalkan kelompok-kelompok baru dari subjek-subjek lain. Semua orang akan dapat saling “berkontak” satu sama lain, dan juga berkontak dengan dengan benda-benda keseharian itu, melalui aspek-aspek sosial dan kemampuan produksinya yang mandiri.[22] Sebab, secara teoretik, dalam tatanan masyarakat yang sadar dengan “Biografi Benda-benda [Keseharian]”, sekali lagi meminjam kalimat Tret’iakov: “kita dapat melihat perjuangan kelas secara sinoptik pada semua tahapan proses produksi.”[23] Singkatnya: kolase sebagai kekuatan bagi gerakan massa dan perjuangan kelas.
Terdengar utopis, barangkali, bagi Anda? Saya rasa tidak. Melakukan praktik ber-kolase setiap hari, dengan intensitas dan daya tahan yang teruji, justru menjadi semacam ritual untuk mengidentifikasi, menyeleksi, dan membuat daftar indeks. Sehingga, itu menjadi cara untuk dapat terus mengingat, meninjau ulang, dan melakukan otokritik terhadap keseharian kita. Kesadaran terhadap yang sehari-hari adalah pangkal untuk menghancurkan tembok-tembok penjara yang diciptakan kekuasaan.
Dan “kolase sebagai kekuatan massa” demi perubahan, adalah sebuah keadaan yang sangat mungkin dan sudah pasti bukan tidak mungkin. Pada Kamarkost.ch, salah satunya, harapan itu sedang kita letakkan. *
__________________
Mansur Zikri
[1] Maksud saya, “arti yang tidak tetap”. Saya menduga-duga bahwa Kamarkost.ch menyikapi fenomena mantra di kampung mereka lebih sebagai “fenomena bunyi” yang identik dengan bagaimana narasi lokal dilestarikan.
[2] Aura sistematik, adalah istilah yang digunakan oleh Julia Kristeva untuk menyebut sebuah situasi yang menaungi proses-proses penggalian kaidah-kaidah yang mengatur kode sosial fundamental manusia; kode sosial yang dimaksud adalah Bahasa. Lihat Julia Knsteva, ‘The Ethics of Linguistics’, Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (Columbia University Press, 1980), hal. 24
[3] Gregory L. Ulmer, “The Object of Post-Criticism”, dalam Hal Foster (ed.), The Anti-Aesthetic: Essays on Postmodern Culture, Port Townsend: Bay Press, 1983, hal. 88.
[4] Lihat Derrida, Positions, trans. Alan Bass (University of Chicago: Chicago, 1981), hal. 26. Parafrase yang saya lakukan pada paragraf ini mengacu pada teks Derrida yang dikutip oleh Ulmer di dalam esainya yang berjudul The Object of Post-Criticism (lihat catatan kaki No. 3)
[5] Kalimat bercetak miring ini adalah parafrase dari saya sendiri terhadap teks berbahasa Inggris (terjemahan dari Prancis) yang dikutip oleh Ulmer dalam esai berjudul The Object of Post-Criticism (lihat catatan kaki No. 3). Kata-kata di dalam tanda kurung adalah tambahan dari saya.
[6] Donald Kuspit, “Collage: The Organizing Principle of Art in the Age of the Relativity of Art”, dalam Donald Kuspit (ed.), The New Subjevtivism: Art in the 1980s, Ann Arbor/London: UMI Research Press, 1988, hal. 506. Teks berbahasa Indonesia dengan cetak miring pada paragraf ini adalah parafrase saya pribadi berdasarkan teks berbahasa Inggris pada literatur yang saya acu. Kata-kata Indonesia di dalam tanda kurung adalah tambahan dari saya.
[7] Di sini, “konkresensi” dapat kita definisikan sebagai kebergabungan dan kebertumbuhan secara bersama-sama dari semua elemen yang berpartisipasi dalam proses perubahan dan pembentukan.
[8] Donald Kuspit, op. cit.
[9] Donald Kuspit, op. cit.
[10] Kuspit, op. cit., hal. 511.
[11] Sebuah konsep dalam teori sinema Pascal Bonitzer: seturut dengan gagasan “dekonstruksi”, deframing adalah sebuah upaya dekonstruktif untuk menggeser, memecah, atau meluaskan fokus amatan dari pusat ke pinggir bingkai, hingga bahkan menuju hal di luar bingkai (off-screen) untuk meninjau dan mempertanyakan kembali potensi dari perluasan tersebut. Juga berarti tentang “pembingkaian realitas … dengan konsepsi nomadik dan arbitrer,” atau ringkasnya, “pembingkaian yang menyimpang” (deviant framing). Lihat Bonitzer (2006), hal. 185 dan 169, dikutip dalam Ayda Sevin, Margins of the Image: Framing and Deframing in the Graphic Novel and the Film V for Vendetta, Tesis, Bilkent University, 2007. Tautan dokumen: http://www.thesis.bilkent.edu.tr/0003466.pdf
[12] Asumsi klasik dari komposisi estetika fiksional yang umum dalam pandangan-pandangan realis. Lihat Gregory L. Ulmer, op. cit., hal. 86. Di situ, Ulmer menyebutkan bagaimana Brecht mendebat cara pandang realisme sosialis-nya Georg Lukács.
[13] Terma yang mengacu kepada konsep Derrida.
[14] Lihat diskusi mengenai perbedaan antara konsep “konstruksi” dan konsep “komposisi” ini dalam Benjamin H. D. Buchloh, “From Faktura to Factography”, October, Vol. 30 (Autumn, 1984), hal. 82-119
[15] Di mata saya pribadi, pilihan Kamarkost.ch ini merupakan sebuah dampak ideologis dari keikutsertaan mereka dalam platform MILISIFILEM Collective.
[16] Amy K. Kilgard, “Collage: A Paradigm for Performance Studies”, Liminalities: A Journal of Performance Studies, Vol. 5, No. 3, September 2009, hal. 6.
[17] Pendapat ini mengacu pada pemikiran penting Andre Bazin tentang sifat bingkai kamera.
[18] Benjamin, W. (1999). “The Author as Producer (Address at the Institute for the Study of Fascism, Paris, April 27, 1934). Dalam W. Benjamin, & H. E. Michael W. Jennings (Eds.), Selected Writings (R. Livingstone, Terj., Vol. 2, hal. 768-782). Cambridge & London: Belknap Press, hal. 778
[19] Istilah yang merujuk ada konsep estrangement-nya Brecht dalam teater, sebuah upaya untuk menghadirkan ungkapan yang membuka ruang sadar penonton untuk “mempertanyakan kembali” atau “mengkritisi” apa yang ia saksikan, bukan justru larut dalam naratif atau ilusi visual.
[20] Sebuah istilah yang mengacu kepada teoretisasi Aleksei Gan dalam tulisan seminalnya, Konstruktivizm (1922), yang berisi penjelasan tentang prinsip-prinsip dari Konstruktivisme, antara lain tectonic, faktura, dan construction.
[21] Sergei Tret’iakov, “The Biography of the Object”, October, Vol. 118, Soviet Factography (Fall, 2006), hal. 61
[22] Lihat lebih jauh penjelasan Sergei Tret’iakov, ibid.
[23] Tret’iakov, ibid.