Andang Kelana: Tidak Sekedar Membuat Sesuatu

Sudah menjadi tradisi bagi Komunitas Gubuak Kopi untuk mewawancarai seniman yang terlibat dalam proyek ataupun kegiatan kita, sebagai bahan belajar. Wawancara ini berupaya untuk mengenal latar belakalang artisitik seniman serta mengumpulkan masukan-masukan untuk Solok, ataupun Komunitas Gubuak Kopi. Wawancara ini dilakukan pada hari-hari terakhir perhelatan Tenggara Festival 2020, di Solok.

Kali ini kami berbincang dengan Andang Kelana, beberapa menit menjelang kepulangannya ke Jakarta. Andang (1983, Jakarta) adalah seorang seniman, kurator, desainer partikelir grafis-web, dan juga pedagang. Dia adalah salah satu pendiri dan anggota Dewan Artistik Forum Lenteng, di sana ia mengelola Visual Jalanan sebuah wadah yang fokus dalam pembahasan budaya swakarya sejak 2012. Saat ini bersama kawannya, ia mengelola sebuah ruang kerja bersama bernama Pejaten Huis dan juga menjadi kasir di Toko Toko. Dalam Tenggara Festival Andang terlibat sebagai salah seorang dewan artistik dan juri.

Pewawancara: Tenggara Festival (Volta A. Joneva)
Rumah Tamera, 28 November 2020

“Tapi memang harus pergerakannya harus dibangun juga, nggak cuman mereka bikin dan membuat sesuatu”

TF : Perkenalkan diri dulu ya

Andang : Halo, saya Andang Kelana dari Visual Jalanan, saya disini kebetulan menjadi juri dan juga artistik board untuk Tenggara Street Art Festival 2020.

TF : Sekarang lagi sibuk apa?

Andang : Haha, gini ya biasa saya sesekali menjadi kasir di toko, lagi ngurus toko. Di tokonya juga ada merchandise nya Visual Jalanan dan teman-teman lain juga. Kalau yang lainnya disain-desain grafis.

TF : Untuk perjalanan Visual Jalanan sendiri?

Andang : Kalau misalnya dari mananya, teman-teman bisa baca di website (www.visualjalanan.org/) Tapi kalau untuk yang  menuju kesini sebenarnya,  sebelum Tenggara ini kita ada Solok Mural Competition, kebetulan teman-teman gubuak Kopi mengundang Visual Jalanan kebetulan sebagai perwakilan untuk juri. Terus gua datang ke Solok, dan Visual Jalanan sebagai supporting partner lah, hitungannya gitu. Berbagi pengalaman bagaimana membuat event, terutama untuk street art yang sebagaimana menjadi fokus Visual Jalanan juga sebenarnya semenjak 2012.  Terus kita di sini sama-sama ngobrol bareng bagaimana penyelenggaraan dari nol dan supporting dari sini dan official sampai akhirnya saya di sini.  Waktu itu juga kita ada mimpi bikin sesuatu yang “agak lebih besar” lah. Nggak cuman kompetisi, coba yuk mungkin teman-teman Gubuak Kopi dan Rumah Tamera membuat sesuatu yang bisa mendatangkan teman-teman ke sini menjadi sebuah titik kumpul lah. Kalau di Sumatera Barat kan ada Padang, Padang Panjang Bukittinggi dan lainnya, tapi kalau Solok kan agak jauh ya, jadi mungkin salah satunya bisa kita hidupkan ya, mungkin salah satunya dengan acara seperti ini, Festival. Kan, kita juga sepakat untuk mengubah namanya dari Solok Mural Competition menjadi Tenggara Street Art Festival. sekarang ya, Visual Jalanan menjadi supporting partner, teman ngobrol juga lah.

“Tapi gua yakin dua tahun lagi kita membuat Festival yang agak lebih baik lagi ya, pasti akan ada sesuatu yang bisa dipelajari gitu”

TF : Kalau ngobrolin Tenggara Festival bagaimana Tenggara tahun ini?

Andang : Gua sih, kan sudah lama ngobrol juga soal pergantian nama, dari sekian banyak nama. Tapi akhirnya kita semua sepakat dengan Tenggara Street Art Festival. walau memang sebetulnya PR nya Solok itu bukan di Tenggara tapi kalau di Indonesia itu lebih ke Barat ya. Tapi karena kita sepakat yaudah, kita ngomongin Asia Tenggara. Itu menjadi titik loncatan yang cukup baik karena sudah beberapa teman yang datang, ada Bujangan Urban, Dighel dan beberapa dari Padang dan Solok juga banyak, Medan juga dan banyak kota lainnya. Aku pikir nanti ada, sekarang ada yang kurang pasti. Kalau buat gua pribadi lebih ke pengelolaan sih. Tapi gua yakin dua tahun lagi kita membuat Festival yang agak lebih baik lagi ya, pasti akan ada sesuatu yang bisa dipelajari gitu. Ya, gua belum tahu sampai sejauh mana ya, tapi gua pikir dari Tenggara yang sekarang sudah menjadi, ada sesuatu yang bisa dilihat. Terus bisa jadi lebih rame, terus “viral” karena sudah jadi obrolan. Paling nggak Tenggara dulu habis itu Solok. Kita bisa majuin tapi  kita belum tahu, kita usaha aja. Ya, sekarang sih sudah oke, kalau pengelolaan kita perbaiki sama-sama nanti bisa.

TF : Kalau ngomongin skena gimana bang?

Andang : Gua mungkin bukan nyebutnya bukan skena ya, tapi mungkin kancah. Kancah seni jalanan. Gua mungkin melihatnya dari kompetisi kali ya, kalau seniman residensi kan gua pikir jam terbangnya sama.  Kan dari berangkatnya itu sepakat membatasi usia dari 18-35 tahun. Tapi kalau aku pikir dari teman-teman yang sekarang kancahnya lebih hidup sebenarnya. Tapi memang harus pergerakannya harus dibangun juga, nggak cuman mereka bikin dan membuat sesuatu. Beberapa teman-teman aku sempat ngobrol di lokasi memang mereka sebagian besar bukan yang bergerak di jalanan sebenarnya. Ya, biasanya yang commision work di cafe atau apa. Ya, semuanya kita commision work lah, tapi memang kalau sudah mulai ada Tenggara ya, si Bujangan Urban sudah mulai mural 16m di GOR dan ada Autonica yang beberapa meter juga, semuanya bisa jadi kayak “contoh”. Dalam artian, “kami bisa nih sebenarnya”. Tapi cuman kita nggak pernah “dikomporin”. Kalau kancahnya sudah mulai jalan, orangnya sudah pada tahu, sudah bergerak supporting systemnya kan bisa dari sini juga. Ya, bisa menjual perlengkapan itu lah, nanti teman-teman kolaborasi bikin merchandise kan kita juga terus berputar. Mereka bikin tapi kita juga mendukung. Kayak Garduhouse pergerakannya dibuat bareng-bareng. Kan kita berasa nih, dari Solok Mural tahun kemarin sampai Tenggara pasti berasa, dari teman-teman yang tertarik sama grafiti lebih banyak dibanding yang tahun lalu. Pelan-pelan mungkin tahun depan Gubuak Kopi bisa bikin toko suplay untuk art store gitu.

TF : Nah, kesan dan pesan mungkin

Andang : Ya, jalanin aja, kan kita 2 tahun sekali ya. Kalau aku pikir waktu yang aku kasih sambutan itu ya menjadi international dan tidak lagi melihat ke luar, tapi bagaimana luar  melihat kita sebenarnya.  Dan aku yakin itu bisa terjadi, ini sudah mulai terjadi sebenarnya. Bahkan mimpi kita 2  tahun lagi kita bawa teman-teman dari Malaysia, Singapura dan Thailand yang dekat-dekat datang ke sini. Se-Sumatera,  kita angkat semuanya paling nggak kita juga nggak harus berkaca dengan kota-kota besar yang lain. Kita punya ciri khas sendiri lah, jangan sampai copast gitu. Paling nggak Minangnya diangkat. Kemarin kan ada ngobrol artistik 2 tahun lagi, kita angkat kebudayaan Minang sebenarnya.  Ada juga teman-teman grafiti yang berdarah Minang di luar sebenarnya di  Singapura dan Malaysia itu juga bisa kita undang. Migran dan urbanisasi ke luar juga. Nanti juga beberapa tahun lagi kita roadshow dari Lampung-Aceh ke Solok. Ya, aku pikir itu sih, salah satu cara, balik lagi ke pertanyaan tadi untuk membangun kancah ini nggak cuman gambar untuk cafe, ya ekspresi lah.  Nanti kan juga, dan sudah ngobrol-ngobrol soal instalasi ruang publik nggak cuman mural dan grafiti. Dilihat dari yang datang, ya lebih akrab dibanding kota-kota besar terutama di Jakarta. Aku pikir itu sudah modal ya untuk International, dimulai dari Solok Mural – Tenggara. Yang kalian harus jaga Tamera dan Gubuak Kopi harus membangun itu, ya di luar punya program seni jalanan ya.

Transkrip: Biahlil Badri

Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok belajar seni dan media yang berbasis di Kota Solok, sejak tahun 2011. Kelompok ini berfokus pada pengembangan seni sebagai metode riset. Serta menjembatani kolaborasi profesional (seniman, peneliti, dan penulis) dan warga dalam mendedah persoalan-persoalan budaya lokal di Solok secara khusus dan Sumatera Barat secara umum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.