Hidup dalam perkembangan zaman yang begitu cepat, modernisasi yang begitu cakap. Teknologi semakin canggih, tradisi semakin ringkih. Kita perhatikan degradasi budaya dimana-mana. Katanya tak lagi sesuai dengan zaman kita saat ini. Budaya-budaya itu kuno, telah habis dimakan zaman. Kita ini manusia-manusia modern dan harus berlaku modern.
Tapi tak semuanya sama, masih banyak dari mereka yang mempertahankan kebudayaan: kekayaan bangsa ini. Indonesia umumnya, dan banyak kekhususan yang ada, Minang, Jawa, Batak, Nias, Bugis, Toraja, Dayak, Asmat, dan lain-lain. Ia adalah bagian dari peradaban bangsa yang tidak akan mati. Nenek moyang dengan segala mitos dan transisi logos yang sedang diupayakan keilmiahannya oleh peneliti. Belakangan kita saksikan seorang perempuan sebagai pawang hujan saat Moto Gp di Sirkuit Mandalika Pertamina Internasional. Kehadirannya di media memunculkan banyak pembicaraan di publik, kontra dan juga pro.
Hari ini kita kembali diingatkan pada kepentingan-kepentingan tradisi. Kamis, 24 Maret 2022, saya dan Adri turut hadir dalam perhelatan ‘bakaua’ di Nagari Kuncia, Kabupaten Solok. Membutuhkan 15 menit untuk tiba di sana. Secara umum bakaua merupakan kegiatan kebudayaan Minangkabau berupa ritual ‘tolak bala’ yang dilakukan sebelum atau bersamaan dengan kegiatan turun ke sawah. Di Nagari Kuncia bakaua juga dimaknai sebagai kegiatan rutin tahunan menjelang Ramadhan. Biasanya warga bakaua di hari kamis terakhir sebelum Ramadhan, berhubung kamis kali ini sangat dekat jaraknya dengan 1 Ramadhan, warga memutuskan untuk melakukannya di hari kamis kedua menjelang Ramadhan agar tidak terdesak dan tergesa-gesa. Melalui bakaua warga bisa menjalin silaturahmi sesama keluarga dan tetangga. Tak hanya itu, bakaua juga menjadi momentum ziarah Niniak Karamat Tuanku Malanjung Dunia.
Siapa Niniak Karamat? Saya pun tidak tahu pasti, saya berusaha bertanya kepada warga di sekitar tapi warga juga tidak tahu pasti kebenarannya. Warga hanya menerima bahwa ini sudah ada sebelum warga ada sehingga menjadi keharusan bagi warga untuk tetap melakukan apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Namun, di kesempatan lain saya sempat bertanya kepada Buya Khairani, tokoh masyarakat di Kampung Jawa. Buya menjelaskan bahwa Niniak Karamat adalah orang pertama yang membawa tarekat Islam ke Nagari Kuncia, sehingga kehadirannya begitu berarti bagi warga.
Bakaua dimulai pada pukul 8.00 dan kami tiba di lokasi beberapa menit setelah itu. Kami tidak bisa menyaksikan kerbau yang disembelih karena kami terlambat. Kerbau sedang dipotong-potong, dibersihkan, dan ditimbang untuk dibagikan. Saya bertanya kepada salah seorang warga, Pak Kinar E yang bergelar Datuak Gadang,
“Berapa berat kerbaunya,Pak?”
“Coba lihat ini”, sambil menunjuk kertas yang ia pegang.
“Wah besar ya Pak, 77.9 kg”
“Iya tapi ini dagingnya saja belum dengan kepala, isi perut, dan lain-lainnya”
“Berapa harga kerbau sekarang, Pak?”
“Rp 17.750.000 dan kami iuran 146 orang, masing-masingnya membayar Rp 125.000.”
Pak Kinar E menanyakan tentang kami. Saya jelaskan bahwa kami dari Komunitas Gubuak Kopi di Kota Solok, saya sedang kuliah di UGM jurusan filsafat. Kami ke sini mau mendokumentasikan dan juga belajar tentang bakaua. Pak Kinar kembali bercerita kalau bakaua di Kuncia pasti dilakukan pada hari kamis dan yang disembelih juga pasti kerbau. Saya tanyakan alasannya, beliau hanya menjawab “Begitulah yang diajarkan kepada kami. Kami pun tidak tahu banyak hal tentang ini”. Bakaua di Nagari Kuncia ada 3 tahapan. Pertama, diselenggarakan pada Kamis, 10 Maret 2022 di tampek yang berlokasi di Tanjuang Bingkuang. Di sana mereka berziarah dengan menyembelih ayam kemudian berdo’a. Kedua, dilaksanakan pada Kamis, 17 Maret 2022 di Bukik Tangkudo yang dekat dari Nagari Kuncia. Kalau kita masuk dari Laing kita akan melihat banyak pohon pinus di sebelah kanan dan bukit tersebut terletak di puncaknya. Warga berjalan ke sana, tiba di sana warga menyembelih ayam kemudian berdo’a. Ketiga, diselenggarakan pada Kamis, 24 Maret 2022 di Jorong Balai-Balai Nagari Kuncia, tepatnya di sekeliling Makam Niniak Karamat Tuanku Malanjung Dunia. Makam tersebut terletak di bawah pohon beringin yang sangat besar dan rindang. Tak ada yang tahu sejak kapan pohon itu tumbuh.
Setelah mengamati bapak-bapak memotong daging kerbau kami melihat ibu-ibu di dapur Rumah Gadang yang sibuk mempersiapkan bahan serta alat yang digunakan untuk menggulai daging kerbau. Ada yang sedang memeras kelapa untuk mendapatkan santan, ada yang sedang memotong bawang, ada yang sedang membersihkan kuali, juga ada yang sedang bercerita. Uniknya ibu-ibu berkumpul dan berdekatan sesuai dengan sukunya masing-masing. Terhitung ada enam suku di Nagari Kuncia. Suku Caniago bersaudara dengan Suku Sumagek sehingga duduk mereka berdekatan dan mereka masak bersama pada satu tungku. Suku Piliang bersaudara dengan Suku Sungai Napa, duduk mereka juga berdekatan dan masak bersama pada satu tungku. Suku Melayu dengan Suku Supanjang juga bersaudara, mereka duduk berdekatan dan memasak bersama pada satu tungku. Sehingga untuk memasak hanya ada tiga tungku.
Suku-suku yang bersaudara tidak diizinkan menikah. Misalnya laki-laki bersuku Caniago tidak boleh menikah dengan perempuan bersuku Sumagek. Jika mereka tetap keras hati ingin menikah padahal secara adat mereka bersaudara, maka mereka dilarang tinggal di kampung. Begitulah Datuak Gadang menceritakan kepada kami. Tidak hanya dengan Datuak Gadang, kami juga bercerita dengan Bapak Zurdi Effendi sebagai Wali Nagari Kuncia, dan Bapak Bustamar selaku Ketua Kerapatan Adat Nagari.
Siang hari yang sangat panas, ibu-ibu juga belum mulai memasak. Kami berpamitan karena ada hal lain yang harus diikuti. Datuak menyampaikan kalau ingin melihat acara puncaknya, datang lagi ke sini jam 3 sore nanti. Kita akan mendengar pidato, berdo’a bersama, dan makan bersama.
Adzan ashar mulai terdengar, meskipun kegiatan kami belum selesai, tapi kami harus kembali ke Nagari Kuncia karena kami sudah membuat janji dengan warga, terutama yang dituakan. Beliau bercerita kepada kami bahwa Nagari Kuncia tidak tertinggal jauh dengan nagari-nagari lainnya. Kuncia dekat dengan Kota Solok sehingga aksesnya lebih mudah. Pada bidang pendidikan, warga Kuncia sudah sangat melek dan untuk saat ini sudah banyak yang berkuliah. Kuncia hanya kalah promosi di media. Tak banyak yang meliput Kuncia. Makanya ketika kami datang dan berniat untuk mempublikasikan Kuncia, warga sangat antusias dan terbuka kepada kami. Beliau juga bercerita bahwa saat ini warga sedang menyusuri narasi-narasi sejarah Kuncia. Warga berusaha untuk mengarsipkan dan mencetak narasi-narasi yang diperoleh dalam bentuk buku.
Kita kembali ke Kuncia, selama di jalan sangat panas. Namun saat tiba di Kuncia tepatnya di lokasi kegiatan, di bawah pohon beringin yang sangat besar, kita merasakan kesejukan. Warga sudah berkumpul. Laki-laki duduk di lapangan beralaskan terpal dan karpet, ibu-ibu masih ramai di dapur Rumah Gadang, anak-anak berkeliaran sambil membawa banyak jajanan. Ya, bakaua juga menjadi pintu rezeki bagi para pedagang karena mereka bisa berjualan di lokasi bakua yang sangat ramai.
Pandangan kami mengalih ke makam Niniak Karamat, banyak warga yang mengantri di sana. Apa yang warga lakukan? Warga sedang baureh atau membasuh wajah menggunakan air yang dicampuri daun sitawa nan ampek. Daun sitawa nan ampek merupakan obat tradisional turun-temurun di Minangkabau. Satu-persatu warga membuka jilbab, kemudian disirami wajahnya oleh datuak. Begitu seterusnya hingga semua warga melakukannya. Bahkan ada yang berulang-ulang, juga ada yang sengaja membawa botol untuk meminta airnya. Saya tidak tahu apa khasiatnya tapi warga percaya bahwa ini sangat positif. Datuak juga mengajak kami untuk baureh tapi saya sedang malas membuka jilbab, sedang Adri asik dengan kameranya, banyak hal yang ia abadikan.
Kami diajak oleh salah seorang pemuda, Uda Kama untuk duduk bersama warga. Adri mendekat terlebih dahulu, sedang saya masih melihat dari jauh. Tidak enak hati, karena di sana hanya laki-laki. Tapi saya tetap dipanggil, katanya kalau tamu tidak apa-apa. Saya dan Adri duduk bersama warga. Kami merasakan kekhidmatan acara ini. Kami diberi nasi yang dibungkus daun pisang dan beberapa waktu setelah itu diisi dengan gulai kerbau. Kita belajar membungkus nasi kali ini. Sesudah itu semua laki-laki berdiri, mereka berdzikir memuji Allah dengan kalimat-kalimat tauhid. Tak lama kemudian salah seorang warga berpidato atau petatah-petitih Bahasa Minang. Meskipun saya orang minang, tapi saya tidak banyak paham. Juga ada yang bernada, indah sekali mendengarnya. Kemudian bersama-sama kita menengadahkan tangan, kita berdo’a untuk segala hal baik yang yang disertai Rahmat Allah kepada kita.
Berdo’a dicukupkan dan acara diselesaikan. Selamat menyambut Ramadhan.