Sabtu, 29 Januari 2022 merupakan hari kedua terakhir program residensi Lumbung Kelana di Komunitas Gubuak Kopi. Esok hari Sufty akan kembali ke Bandung dan lusa Yoan akan kembali ke Jakarta. Malam ini digelar artist talk di Rumah Tamera-Komunitas Gubuak Kopi dalam rangkaian presentasi seniman residensi lumbung kelana. Dimoderatori oleh saya dengan narasumber dua artist kita, Sufty dan Yoan. Uniknya pada artist talk kali ini, Sufty juga berperan sebagai penerjemah bahasa isyarat karena teman tuli menonton talkshow. Sebelum artist talk Yoan melakukan presentasi berupa live chat dengan menggunakan stiker bahasa isyarat yang ia buat sendiri. Pada stiker tersebut kita mengetahui bahasa isyarat tentang hal-hal yang ada di sekitar kita. Misalnya gulai, sate, teh talua, kereta api, silat, pagi, siang, malam, Padang, Solok, Bukittinggi, durian, Sitinjau Lauik, hujan, Rumah Tamera, Sufty, salam, tetangga, Pak RW, dukun, sampah, dan Bandung.
Artist talk dibuka oleh saya sebagai moderator. Di awal saya memperkelankan Yoan dan Sufty, Yoan berasal dari Komunitas KAHE di Maumere, Flores dan Sufty berasal dari Gelanggang Olah Rasa di Bandung. Presentasi Yoan dalam format “Media Performance” dilakukan sebelum artist talk digelar. Ia juga membuat video berisi bahasa isyarat yang diperagakan oleh teman-teman tuli. Teman-teman yang memperagakan adalah Auli, Davit, dan Iqbal. Isyarat yang diperagakan merupakan hal-hal sederhana yang tidak lepas dari perjalanan residensinya sejak di Jakarta dan dua minggu di Kampung Jawa, Solok. Misalnya bahasa isyarat Jakarta, pesawat, dan beberapa lainnya juga disajikan melalui stiker yang sudah disebutkan di atas.
Saya bertanya kepada narasumber, “Mengapa Solok dan apa ekspektasi yang dibentuk sejak awal?”. Yoan bercerita ia memilih Solok karena lokasinya yang jauh dari Maumere. Baginya Solok akan memberikan banyak perjalanan dan cerita baru nantinya. Ternyata keseharian yang dilakukan Yoan di Maumere dengan di Solok tidak jauh berbeda, hanya perbedaan bahasa juga bentang alam. Di Jakarta saat pameran Ring Project-Jakarta Biennale, Yoan sudah bertemu dengan teman-teman Gubuak Kopi, Risky, Badri, Albert juga sudah berkenalan dan mengobrol. Dari sana Yoan menilai bahwa teman-teman Gubuak Kopi menyenangkan dan juga asyik, ia merasa residensi nanti akan sangat aman.
Sufty yang memiliki kemampuan dalam bahasa isyarat, dan saat makan sate kita melihat interaksi langsung Sufty bersama teman-teman tuli. Dan darisanalah muncul ide bagi Yoan untuk membuat stiker dan juga video bahasa isyarat. Kita punya tetangga tuli, Iqbal yang sering melayani kita ketika membeli sate. Kita tidak pernah berkomunikasi dengan Iqbal karena kita tidak memiliki kemampuan berbahasa yang bisa sama-sama kita pahami. Hingga kita sadar bahwa sebenarnya kita bisa berinteraksi menggunakan bahasa isyarat. Saat makan sate kedua kalinya bersama Albert, Yoan terpacu dari apa yang disampaikan Albert seperti membuat stiker bahasa isyarat yang bisa mempermudah kita saat berkomunikasi. Ini diberi judul oleh Yoan “Bahasa Tetangga”.
Sufty melakukan presentasi dalam format “Open lab: seduh teh” kemaren. Setelah pembukaan, 16.00 WIB banyak teman-teman yang ingin mencoba berbagai variasi teh yang dibuat oleh Sufty. Hingga malam Sufty belum istirahat dan masih bertahan di meja untuk membuat teh. Bagi Sufty menyeduh teh merupakan healing. Sebelumnya di Bandung, Sufty juga sudah beberapa kali meracik teh, seperti hempas deru atau tolak angin. Tapi tentu ini menjadi tantangan bagi Sufty karena perbedaan cuaca Bandung dan Solok menuntutnya untuk menciptakan ramuan teh yang berbeda. Ia harus membuat resep baru. Enam varian teh yang disajikan dalam pameran, 5 di antaranya merupakan resep yang baru ia buat di Solok. Beberapa dari resepnya merupakan respon terhadap tanaman-tanaman yang ia temui di rumah warga ketika residensi. Awalnya warga belum tahu kalau tanaman yang ada di rumah mereka selain menjadi hiasan juga bisa diseduh menjadi teh.
Ada enam seduhan, pertama Hempas Deru yang sudah pernah dibuat di Bandung. Kedua, Sapa Pagi merupakan perpaduan bunga kesumba, pandan, sereh, dan mint. Sapa pagi merupakan minuman yang dibuat untuk membangkitkan semangat pagi terkhusus buat yang terkendala bangun pagi, sehingga jika bangun pagi bisa menyapa pagi, bukan siang ya teman-teman. Ketiga, Puan Rembulan merupakan perpaduan bunga kesemba dan bunga mawar. Bunga mawar didapatkan dari rumah tetangga dan diseduh sesudah melakukan riset yang cukup panjang. Keempat, Teduh Samudera merupakan perpaduan mint, telang, soda, dan selasih. Minuman ini bisa meneduhkan dahaga dalam panasnya siang di Kota Solok. Kelima, Jaga Raga merupakan perpaduan sereh, kunyit, jahe yang sangat berkhasiat dalam menjaga imunitas tubuh, terutama di Solok yang suhunya cukup ekstrem. Keenam Teh Masala merupakan perpaduan susu dan rempah-rempah.
Di awal, Sufty juga bercerita kalau sejak awal ia menaruh Solok pada pilihan kedua, sedangkan pilihan pertamanya Maumere. Sebelumnya Sufty juga berdiskusi dengan Teh Al, salah seorang teman di kolektif asalnya. Teh Al berusaha mempengaruhi Sufty jika Solok sangat menarik untuk dikunjungi apalagi lokasi residensi. Sufty tidak melakukan riset apapun sebelum ke Solok, ia lebih memilih untuk menikmati apapun yang terjadi dalam proses-proses residensinya. Bandung dan Solok sama-sama dingin, tapi Solok lebih ekstrem dari Bandung karena siangnya bisa begitu panas sedangkan Bandung hari-hari hanyalah dingin. Justru karena inilah akhirnya banyak ide muncul terutama untuk menu-menu teh.
Residensi telah memberikan kesan-kesan yang luar biasa kepada partisipannya. Yoan mengungkapakan bahwa “bertetangga” merupakan hal yang menyerukan yang ia dapatkan selama residensi dan membuatnya rindu rumah. Selain itu, makan bajamba menjadi pertama kalinya, juga makan pakai tangan dan semi bersila menegakkan satu lutut ketika makan. Yoan juga pertama kalinya makan durian dan jengkol di sini. Yoan juga tertarik pada beberapa aktivitas seperti berburu dan topik terkait harimau. Sedang Sufty lebih tertarik pada kuliner bahkan sketsa yang ia buat semuanya bercerita tentang makanan dan minuman. Sufty juga pertama kali makan bajamba dan juga mencoba banyak makanan baru, juga minuman baru, seperti terong pirus, teh talua, dadiah, dalimo, dan lain-lain.
Beralih ke sesi pertanyaan, yang paling menarik pertanyaan dari Bagas terkait kepenulisan. Yoan belajar dari website Gubuak Kopi kalau tulisan atau artikel juga menarik ditulis dengan bahasa harian, tidak perlu yang “bagaimana-bagaimana”. Di akhir, Sarah bertanya kira-kira menurut Sufty apa yang menjadi penyebab tidak familiarnya teh seperti ini di Solok? Sufty berusaha menjelaskan bahwasannya ini sangat erat kaitannya dengan “branding”. Bandung sudah lebih dulu menormalisasi ini bahkan sudah lebih dari 10 kedai yang menyajikan minuman rempah-rempah. Kalau mau, ini tugas kita.