Catatan Proses Lokakarya Daur Subur #6 di Kampung Jawa
Hari ke-4 (2/06) kegiatan lokakarya Daur Subur di Rumah Tamera mulai dilakukan siang, pukul 12 kurang. Kami dibekali dengan buku berjudul “Sore Kelabu di Selatan Singkarak” (Forum Lenteng, 2018). Buku ini kami simak bersama, satu orang membaca dan yang lain mendengar. Dimulai dari Alif, salah satu partisipan Daur Subur, ia membacanya dengan suara yang lantang agar partisipan lainnya bisa mendengar dengan baik dan lebih efektif. Teman-teman lainnya menyimak dengan mencari bacaan tersebut di media. Buku kumpulan tulisan Sore Kelabu di Selatan Singkarak memiliki 5 judul yang telah rilis di media online. “Sekali Air Besar, Sekali Tepian Berubah” adalah yang sedang kami baca dan simak.
Tulisan tersebut cukup detail menceritakan sungai yang awalnya sumber kehidupan menjadi tempat pembuangan. Yang awalnya kita akan mengira bahwa sampah yang ada di sepanjang aliran sungai adalah salah masyarakat yang sembarangan, ternyata tidak sesederhana itu, melainkan hanya justifikasi kita yang tidak mendalami, dan merasakan langsung keadaannya. Sungai merupakan sumber kehidupan, sungai yang baik menandakan keadaan sebuah kampung yang sehat. Dahulunya masyarakat kita membungkus makanannya dengan daun pisang, lalu dibakar, dikubur atau pun dibuang ke sungai. Mungkin, tidak menimbulkan masalah karena bahannya yang organik. Makin ke sini orang-orang banyak menggunakan plastik sebagai pembungkus makanan, ataupun minuman.
Kini sehari-hari kita mengkonsumsi makanan dengan bungkus plastik, sehingganya setiap hari pula sampah plastik terus bertambah. Jika dibakar dia akan menghasilkan udara yang buruk merusak lapisan ozon, jika dikubur, tidak teruraikan oleh tanah. Apalagi membuangnya ke sungai, sepertinya hilang dibawa arus, namun ia akan menumpuk pada hulu sungai.
Tulisan yang dibacakan Alif dan Arfan mengemas narasi penjelasan itu dengan sangat baik dan merunutkan sungai-sungai yang menjadi tempat pembuangan sampah, sehingga bermuara ke Danau Singkarak dan Danau Maninjau. Ekosistem menjadi berubah, ikan yang jumlahnya berkurang sampai 90% dari produksi sepuluh tahun yang silam. Ikannya pun menjadi lebih kecil, sekitar 1 kali beberapa tahun terjadi fenomena menghitamnya air di danau, menurut orang yang pernah meneliti ini, mengatakan itu terjadi karena pori-pori dasar danau tertutup lumpur yang dipicu oleh zat-zat yang ada pada sampah, beberapa juga mengaitkannya dengan lahar dingin Marapi.
Anak-anak sekitar sungai sering bermain bola dan jika bolanya masuk ke sungai menjadi hukuman karena akan berakibat gatal-gatal pada badannya. Tapi tidak terlepas dari masyarakat sekitar yang menjadikan sungai tempat mandi tanpa terkena sakit kulit atau semacamnya. Aktivitas balai pemotongan yang waktu itu aliran limbahnya dialiri ke sungai. Semua hal terjadi tidak semata karena masyarakat yang membuang sampah ke sungai. Tapi ada hal yang besar di baliknya, yaitu secara kultur mungkin kita belum siap hidup menggunakan plastik, yang akhirnya tidak terkelola, kemudian menjadi masalah yang mempengaruhi semuannya.
Kami istirahat sejenak, untuk sholat zuhur, lalu makan, makanan yang kami masak di dapur Tamera setiap hari. Setelahnya, dilanjutkan dengan diskusi bertukar pikiran, mencoba mengurai lebih rinci masalah sungai yang tercemar, dan tidak lepas dari judul tulisan tersebut “Sekali Air Besar Sekali Tepian Berubah”. Waktu ke waktu keadaan berubah.
Materi selanjutnya mengenai konsep meneliti secara kolektif dengan persepsi yang mengendepankan sudutpandang dekonstruktif kita sebagai warga. Metode penelitian ini mengharuskan kita terlibat langsung dalam keadaanya, agar persepsi kita tidak lagi mengobjekkan masalah dari jauh. Namun menjadi subjek peristiwa sekaligus, merasakannya akan mendapatkan informasi lebih dalam. Penjelasan tersebut masih diberikan oleh Albert di siang itu sampai sore sekitar jam 4, setelah itu kami istirahat.
Kami bersantai di sore hari yang diiringi oleh cuaca gerimis tanggung, beberapa teman-teman sedang mencampur tanah dengan pupuk organik dari kotoran ayam yang dicampur sekam menjadi satu. Lalu dimasukkan ke botol yang telah kami lubangi dan disiram. Seusai itu, kami diajak untuk menanam di Gubuak Kopi, yang artinya, bagi saya sendiri ini seperti berusaha menanam harapan di bumi yang memberikan kebaikan kepada alam. Kami menanam bibit pare, mentimun, labu, dan papaya. Bibit itu kami tanam di gelas plastik bekas sisa minuman pengunjung cafe Tamera Backyard, Rumah Tamera. Satu jenis bibit ditanam dalam satu gelas. Katanya, kami harus percaya semua yang kami tanam akan hidup. Yang membuat saya terkesan yaitu mendoakan tanaman tersebut setelah ditanam.
Beberapa saat kemudian Albert memperlihatkan segenggam rumput yang baru saja ia cabut di halaman, lalu menanyakan kepada kami “ini apa?” berbagai macam jawaban muncul dari kami, seperti “itu semak ilalang”, “belukar”, dan saya mengatakan itu “rumput liar”.
Albert tertawa mengatakan “ini juga adalah tanaman, dan di sini ia juga bisa jadi bahan kompos, biasanya rumput ini tumbuh sembarangan disebut rumput liar, namun kita bisa berpadangan secara deskontruktif dan mengosongkan muatan positif dan negatifnya. Asal rumput adalah organik yang bisa menjadi kompos dan bemanfaat bagi tumbuhan lainnya” itulah percakapan terjadi sebelum Magrib.
Selepas Magrib, untuk tahap ini kami diberi pengarahan untuk kelapangan mengambil foto dokumentasi dengan melihat objek dari sudut pandang yang dekonstruktif. Kami menyebar ke lapangan dari Rumah Tamera, saya bersama Aldo memulai perjalanan. Kami menelusuri Jalan Lingkar Utara, tak jauh dari Rumah Tamera saya melihat sepeda menjadi ikon dari seberang jalan, lalu kami berhenti. Saya mencoba menelusuri ke taman yang letaknya di atas jalan dengan kondisi gelap. Bermodalkan senter hp saya menelusuri taman itu. Saya melihat ban-ban mobil bekas yang disusun rapi yang dijadikan tangga. Tidak hanya tangga dari ban bekas, di dalam taman terlihat tempat duduk dari bekas bak truk yang disusun, ada juga tutup tong sampah yang digantungkan seperti hiasan lampu. Berjalan sedikit lagi, ada kursi roda yang dihiasi berbagai bunga. Ketika melihat ke sebelah kanan saya terkejut karena ada bayangan putih. Ternyata itu hanya “karung bekas” yang dipakai untuk membungkus Pepaya. Tanaman menjalar di kerangka-kerangka truk dan markisa. Sebelum ke luar dari taman saya melihat kembali sepeda tadi, ternyata ada tulisan “Taman Rongsokan”, oh iya, semua yang saya lihat tadi sudah diabadikan menjadi foto, untuk didiskusikan nantinya.
Perjalanan kami lanjutkan ke Kota Solok, Aldo memoto beberapa hal yang dianggapnya sensitif, seperti di jalan Aldo memoto lampu lalu lintas yang posisinya bukan di persimpangan, beberapa tiang bendera di perumahan kodim yang tidak ada pengikat talinya, serta relief Muhammad Yamin yang terkesan cemberut di pagar sebuah universitas. Kami harus pulang karena sudah masuk jam makan malam.
Sesampainya di Rumah Tamera kami makan bersama dengan lahap dan duduk di ruangan diskusi, seperti menjadi kebiasaan dalam kegiatan ini. Dilanjutkan dengan mempresentasikan foto masing-masing dan mencoba membagikan narasi ataupun cerita dari foto-foto tersebut sampai pertengahan malam. Nanda memotret objek dan momen sebagai penanda baginya. Kemudian partisipan lainnya memotret beberapa ikon-ikon di dalam kawasan masjid, seperti lampu yang tidak terlihat, karena diselimuti daun-daun yang kemungkinan sudah ditaruhnya ketika pohon masih kecil. Diskusi selesai, kami pulang ke kontrakan untuk beristirahat, mengisi tenaga untuk melanjutkan kegiatan esok hari.