Catatan proses Lokakarya Daur Subur di Kampung Jawa
Pagi pun tiba, namun sang surya masih belum menampakkan diri seutuhnya. Aku pun terbangun dengan suara adzan yang berasal dari telepon genggam yang berada di sampingku. Seperti anak muda biasanya, bukannya bangun untuk cuci muka ataupun berwudhu yang kulakukan, melainkan telepon genggam yang selalu ku ambil pertama kali, dan memantaunya hingga puas. Melirik isi notif yang berada di dalam media sosial seperti WhatsApp, Instagram, ataupun Twitter. Berharap ada informasi penting yang didapatkan.
Setelah puas dengan kesibukanku bersama gadget, akhirnya hari pun mulai terang, dan aku beranjak menuju keluar untuk menunaikan sholat subuh. Seperti yang dikatakan sebelumnya, aku seperti anak muda seusiaku, setelah sholat subuh, bukanlah mandi, ataupun menyikat gigi yang kulakukan, tapi aku melanjutkan tidurku yang tengah terganggu oleh suara telepon genggam yang telah ku setting sebelum tidur.
Pagi menjelang siang, semua yang berada di rumah ini mulai ricuh dan membawa kegaduhan, “Mandi lai, mandi lai, siap-siap jam 11”.
Semua orang tersentak dan akupun kembali terbangun sambil memaksakan untuk menghentikan mimpi nan indah, dengan harap mimpi tersebut dapat terulang kembali di esok malam. Semua penghuni rumah ini bersiap-siap untuk pergi melanjutkan agenda Daur Subur di hari ke tiga di Rumah Tamera. Lokasinya tidak jauh dari kontrakan tempat kami menginap, namun membutuhkan waktu untuk sampai menuju kesana.
Rumah Tamera cukup banyak ditumbuhi tanaman dan buah, salah satunya markisa, hingga aku dan yang lainnya antusias mengolahnya menjadi minuman hangat. Semua partisipan lokakarya merasa senang dan gembira tak terkecuali aku. Setelah beberapa menit menyantap minuman tersebut, bercanda gurau dengan teman-teman lain, kegiatan dilanjutkan oleh teman-teman dari Komunitas Gubuak Kopi.
Materi tersebut mengenai metode penelitian secara kolektif dan mengedepankan perspektif warga. Salah satu yang saya tangkap ialah cara mendapatkan informasi dari warga ketika turun lapangan nanti. Bagaimana sudut pandang melihat dan mendokumentasikan peristiwa di sekitar kita, salah satunya kita latihan membuat foto yang melepaskan unsur prasangka “baik” ataupun “buruk”. Tapi yang paling penting adalah bagaimana kita bisa lebih sensitif dan cepat membaca persoalan di sekitar kita. Ketika asik mendengarkan materi dari Albert Rahman Putra, selaku fasilitator kegiatan ini, waktu makan pun telah tiba, makanan pun dihidangkan oleh Hafiz, Amel, Naura, dan Alif.
-
Bertemu Pak RT di Pos Induk Pemuda -
Bertemu Pak RT di Pos Induk Pemuda -
Seketika itu kami beranjak meninggalkan tempat duduk, dan berangsur-angsur menuju pondok di depan Gubuak Kopi, yang menjadi ruang makan kami. Hidangan disediakan dengan cara bajamba. Makanan disantap bersama-sama dengan lahapnya. Tidak berlangsung lama, akhirnya hidangan tersebut habis. Karena cacing yang berada diperut telah diberi makan, kami kembali melanjutkan materi sebelumnya.
Sore tiba, kami konvoi menggunakan motor menuju Pos Pemuda. Sesampainya di lokasi ternyata Pak RT belum berada di lokasi, sambil menunggu kami menyantap gorengan yang dijual di depan Pos Pemuda. Berbagai jenis gorengan yang ku dapatkan, seperti bakwan, tahu, sala lauak, perkedel, dan tapei. Aku kira akulah yang menghabiskan banyak gorengan. Ketika yang ditunggu datang, kami pun masuk ke dalam Pos Pemuda, lalu memperkenalkan diri masing-masing. Kemudian kami menjelaskan maksud dan tujuan, serta meminta izin untuk melaksanakan simulasi riset dengan turun ke lapangan untuk mendapatkan informasi dari warga. Tentunya Pak RT juga menambahkan beberapa informasi yang menarik untuk kami cari tahu lebih lanjut.
Tanpa sadar waktu sudah menjelang malam, suasana seru, dan terbuka bersama Pak RT membuat aku lupa akan waktu yang telah kami habiskan. Hingga ketika salah satu rekan bernama Hafiz memberikan kode kepada kami semua untuk menyelesaikan perbincangan dengan Pak RT. Kami kembali ke Gubuak Kopi lalu menunaikan sholat Maghrib. Tiba-tiba hujan datang sehingga membuat aku dan yang lainnya panik dengan urusan jemuran. Seketika kami kembali kontrakan tamu milik Gubuak Kopi dan mengangkat jemuran terlebih dahulu sebelum kembali ke Rumah Tamera untuk mendapatkan materi selanjutnya.
Langit menjadi gelap tanpa satu bintang pun yang terlihat, aneh, sinisku. Nyanyian klasik terdengar dari Rumah Tamera menandakan aku harus bersiap masuk ke dalam ruangan. Mengetahui tanpa ada satupun foto yang kuambil dari siang tadi, Badri salah satu teman dari Gubuak Kopi meminta kami untuk mencarinya hingga pukul 21.30 WIB. Karena diberi tambahan waktu kami memulai hunting foto kembali. Tim dipisah dan dibagi menjadi 2 bagian. Tim satu dari Rumah Tamera jalan ke arah kanan dan sebaliknya tim dua yang di dalamnya ada aku, bergerak ke kiri. Setiap ada momen yang tepat, kami berhenti dan memotonya.
Secara sadar tidak ada satupun foto yang bisa kudapatkan, aku mulai bosan dan meninggalkan rombongan. Karena kecerobohanku itu aku tersesat dan tidak tahu mau kemana. Berharap ada orang yang dapat ditemui sekaligus bertanya arah jalan pulang. Tidak berlangsung lama, aku melihat remaja-remaja seusiaku sedang bermain handphone, akupun mulai mendekati dan bertanya ke salah seorang dari mereka. Setelah mendapatkan arah yang benar, akupun sampai kembali ke jalan yang ku kenal dan menuju Rumah Tamera.
Kami pun berkumpul dan mempresentasikan foto-foto yang telah didapatkan. Aku mulai ragu karena foto yang kudapatkan hanyalah empat buah dari sepuluh foto yang diwajibkan setiap harinya. Ketika giliranku tiba, aku pun ditanya oleh Albert. Dengan gugup aku menjelaskan apa yang terjadi tadi sambil malu-malu. Mendengar penjelasanku tadi, Albert memberi keringanan, dengan catatan besoknya aku harus mendapatkan 16 foto, menutupi kekurangan fotoku sebelumnya. Malam itu kami mendapatkan berbagai pandangan melihat sebuah gambar atau peristiwa. Setelah semua kegiatan hari ini selesai, kami merapikan tempat duduk dan bersiap-siap menuju kontrakan tamu Gubuak Kopi.