Transkrip Live Talk LLD #3 – Siska Aprisia dan Utari Irenza
Jumat, 25 September 2020 lalu, Veronica Putri Kirana berbincang-bincang dengan Siska Aprisia dan Utari Irenza seputar proses berkaryanya dalam rangkaian Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3. Sebuah proyek seni berbasis media yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam studi mengenai nilai-nilai tradisi di Sumatera Barat. Proyek ini melibatkan seniman muda dari dalam atau luar Sumatera Barat, untuk menemukan pandangan kritis dari generasi kini mengenai isu-isu tradisi dan modernitas yang terus berkembang.
Artikel ini merupakan transkrip perbincangan Vero bersama Siska Aprisia dan Utari Irenza di fitur siaran langsung instagram, teman-teman juga bisa menonton ulang obrolan di instagram @gubuakkopi. Beberapa kalimat diselaraskan sesuai kebutuhan bahasa teks, tanpa mengurangi esensi dari isi perbincangan.
Vero : Bisa diceritakan ngga kak Siska dan Ii, bagaimana awalnya bisa menjadi salah satu partisipan di LLD #3 ini?
Siska : Boleh.. boleh..
Sebenarnya aku sudah lama ditawarkan oleh Albert Rahman Putra (Kurator LLD) untuk jadi partisipan Lapuak-Lapuak Dikajangi tapi selalu saja ada halangan membuat kami tidak bisa ikut atau gabung. Nah, kebetulan kemarin ini hal yang tidak diduga sih sebenarnya kami hanya pengen “yuk, proses karya, yuk” gitu. Waktu itu juga ketemu Vero kan di Solok? kebetulan waktu itu aku sempat pulang kampung.
“ngobrol bikin karya sesuatu yang berbeda yuk, bang?” terus awalnya mengajak Bang Albert biar terjerumus masuk ke proses karya tari, eh akhirnya malah aku yang terjerumus di Lapuak-Lapuak Dikajangi ini. Maka akhirnya ketemu Ii juga dan kita berkolaborasi. Awalnya kami ingin prosesnya di Jogja, di tempatku biar “agak keren” saja dulu, hahahah.. eh covid-19 melanda, jadinya online. Jadi gitu, ada tambahan Ii?
Utari : Jadi, kan waktu itu kita rencananya berproses bukan untuk LLD ini. Nah, terus sore ya Kak Siska? dikabarin sama Bang Albert untuk gabung di Lapuak-Lapuak Dikajangi #3 ini. Lihat jadwal ternyata diizinin.
Siska : Iya, karena kebetulan Ii lagi sibuk-sibuknya waktu itu. Dan terkait proses pemilihan penari untuk project ini… sebenarnya awal-awal pengennya solo tapi lama-lama kayaknya menarik berdua saja gitu di ruangan. Karena emang karya ini harapannya sih sebelum covid-19 ini pengen ditampilkan di ruangan yang sensitif terhadap bunyi. Karena kita kan ngga pakai musik, kayaknya berdua menarik deh bang, aku bilang ke Bang Albert. Terus ada ngga bang rekomendasi? Cari cari cari ketemunya berakhirnya dan berlabuhnya kepada Ii dengan jadwalnya yang padat saat itu kebetulan bisa.
Vero : Kenapa kak Siska sama Ii mengambil tema “Barulang”? Bisa dijelasin ngga kak Siska dan Ii?
Siska : Awal-awal karya ini sebenarnya lebih kepada keresahan kami tentang tarian karya koreografer Sumatera Barat. Kita selalu berlandasan gerak dasarnya “silek” (silat), nah silek itu selalu ada 2 hal yang tidak pernah hilang “pitunggua” (semacam posisi kuda-kuda khas)dan “gelek” (semacam gerak menggeliat dan teknik berpindah). Mungkin ada beberapa hal lainnya yang digerak dasar silek itu digunakan dan akhirnya berdiskusi sama Bang Albert, kayaknya kita fokus kedua hal itu saja deh. Menarik dan banyak hal sebenarnya bisa kita preteli dari dua gerak itu. Kenapa ngga kita bedah aja dua hal gerak ini untuk kita proses, kita eksplore, kita jadiin proses karya dan Bang Albert setuju. Boleh. Kita pertanyakan deh kenapa pitunggua dan gelek ini menjadi hal yang sangat penting dalam gerak dasar, khusunya tarian Minang. Makanya kita mengambil pitunggua dan gelek tentu dua hal itu tidak mungkin hanya kita tawarkan dan juga sepakat untuk tidak membuat karya tari yang akhirnya penuh gerak, dalam artian tidak berangkat dari pitunggua dan gelek itu.
Tapi perjalanannya dan prosesnya lumayan panjang kita selalu diskusi bertiga sama Ii juga, kita selalu berkomunikasi. Akhirnya kita punya beberapa gerakan yang berangkat betul-betul dari pitunggua dan gelek. Itu yang akhirnya barulang (berulang-ulang) kita coba, dengan kita latihan dengan metronom. Jadi latihan itulah yang kita coba ulang terus gerakannya dengan 8 hitungan terus kenapa kita coba sangat pelan, tiba-tiba sangat cepat satu gerakan itu aja. Boleh tambahin Ii, gimana dan mengapa barulang?
Utari : Ya kita berangkat dari istilahnya dari barulang, ia juga berarti menjemput kembali. Dan konsep barulang (repetitif) itu jadi gerakan kita, cuma ada dua motif gerak itu yang kita kembangkan lagi, misalnya gerakan satu kali delapan, kita balik lagi ke sana.
Vero : Ii dan kak Siska kan basic-nya memang tari, dan Albert sendiri bukan ber-basic tari. Kenapa kalian mengajak Albert untuk berkolaborasi dalam karya ini?
Utari : Soalnya yang pertama itu kak Siska sama bang Albert yang punya ide, Ii masuknya udah belakangan.
Siska : Nah kenapa Bang Albert, sebenarnya kalau mau flasback jauh ke belakang. Sebenarnya 2013 kalau ngga salah aku satu KKN (Kuliah Kerja Nyata) sama bang Albert satu kelompok juga. Terus sempat dulu kita bikin project bareng di tempat KKN itu. Akhirnya kayaknya seru nih bikin karya lagi, terus colek-colek Bang Albert, yuk bang kita proses lagi bantu aku untuk bisa. Karena di karya tari itu kan macam-macam prosesnya ada yang produser, ada yang manager, ada yang dramaturg, ada yang ini dan bla bla segala macam. Nah Kayaknya kita sebagai orang tari butuh kolaborasi dengan jurusan-jurusan lain dan kenapa Bang Albert kayaknya perlu sudut pandang, dari orang lain melihat karya ini untuk bisa membacanya. Makanya Bang Albert tadi aku tawari untuk bisa membaca isu apa yang kami tawarkan terus “tubuh-tubuh” yang kami ingin sampaikan. Jadi kami bertiga terjerumus dalam karya barulang ini.
Vero : Untuk kak Siska dan Ii, apakah ada kesulitan ngga dalam pembuatan atau proses karya barulang ini? mengingat Kak Siska di Jogja dan Ii Sumatera Barat, apakah itu ada metode-metode khsusus? Itu bagaimana sih cara kalian menyatukannya?
Utari : Tentunya pasti ada Kak Vero. Terutama, kan kalau kita menari… persoalannya adalah untuk menyatukan gerak. Itu paling sulit dalam karya ini, tapi kita juga ada inovasi baru ya kak Siska. Terutama feel dalam gerak itu susah dapatnya soalnya kalau kita menari sendiri-sendiri. Kendala kita juga banyak seperti jaringan, mati lampu di kampung Ii. Dan dalam proses karya ini, menari tidak secara langsung.
Vero : Ini masih mending menari berdua, apalagi bertiga atau berempat. Makin susah jaringan yang ada ya kan kak Siska? Hahaha.
Siska : Ya, susah minta ampun.
Vero : Jadi apa nih kendala ketika berkolaborasi dengan Kak Siska?
Utari : Masalah yang tadi, kendalanya kita latihan pribadi itu jadi tidak intens. Karena kebanyakan di rumah, karena kita ngga ada fokus untuk latihan, karena mageran itu. Hahaha…
Siska : Aduhh.. itu permasalah semua orang. Dan apalagi dari keluarga kita. Kita sudah menyatakan bahwasanya kita adalah penari profesional, tentu di rumah tetap. Di rumah bagi orangtua kita tetaplah anak yang harus bantu orangtua, jadi ada banyak hal membuat kita susah berproses. Seperti rutinitas kita seperti di kampus (ISI Padangpanjang) atau di panggung. Jadi memang kondisi pandemi ini ujiannya kita ngga bisa ketemu langsung, jadinya ngga bisa detail mempreteli tubuh karena kita harus menyamakan gerakannya di beberapa bagian, yang akhirnya menjadi proses yang organik. Proses yang terus berjalan karena kita ngga minta harus sesuai dengan apa yang kita berikan, jadi masing-masing kita menjadi tuan untuk tubuh kita sendiri. Dan sebenarnya lagi, awal kita latihan memang ngga pakai musik terus kayaknya kita butuh satu hal pemandu deh, yang membuat kita bisa merasakan proses ini, setidaknya ada musik.
Audience : Biasanyakan dalam tari itu pakai musik pengiring, kita lihat di poster kok ngga ada pemusik/komposernya? Jadi bagaimana itu kak, bisa dijelaskan?
Siska : Sebenarnya emang dari awal kita balik lagi ke cerita awalnya bahwasanya karya ini memang pengennya di tampilkan di gedung, di ruangan yang kedap suara yang bisa menangkap suara-suara kecil gitu. Yang suara itu keluar dari tubuh kita penari yang bergerak. Sebenarnya pengennya kan begitu. Dan karena ini masih terus berproses, kita tetap bersepakat bahwasanya tidak ada musik pengiring ataupun komposernya, makanya kemarin kita sepakat untuk pakai metronom saja. Metronom itu penghubung seperti jembatan antara aku dan Ii. Di tempo aku dan Ii yang menemani aku, dan Ii walaupun di Ii agak delay atau di aku yang delay, tapi aku yakin metronom itu fungsinya jembatan dan jantung. Dia menjadi teman kami berproses selama beberapa bulan ini.
Vero : Apasih temuan-temuan dan pengalaman kalian baru dalam proses barulang ini?
Siska : Kalau aku secara pribadi, proses yang seperti ini kan yang pertama. Selain uji nyali, uji kesabaran terhadap koneksi gitu “jaringan”. Koneksi antara aku dan Ii, dalam aku dan tubuh. Sebenarnya aku mendapatkan proses kesabaran itu lagi. Aku ingat waktu aku pergi sama Ii riset ke guru silek (silat) kita belajar betul bagaimana bersabar, dan bertahan untuk mengikuti satu nafas gerakan dari guru kita. Kayaknya itu yang kita alami lagi proses Barulang ini.
Gerak yang sebelumnya kita buat 8, terus tiba-tiba kita jadikan pelan terus pengulangannya yang lebih cepat lebih pelan. Kita merasakan sensasi yang beda-beda itu saat menjadi cepat, bagaimana sangat pelan dan semua orang bisa merasakan di saat seperti ini: dengan kondisi latihan yang virtual betul-betul kesabarannya double, karena kita harus sama-sama satu frekuensi dengan lawan kita.
Kita seperti menantang tubuh kita untuk lebih sabar lagi, dengan hitungan sebelum metronom itu ada menemani proses kami dan itu yang berbeda. Dan semakin pelan gerakan semakin detail dan semakin sadar bahwa ada gerakan lain di tubuh kita yang terjadi. Karena biasanya di Minangkabau atau tarian Minang gerakannya kan kebanyakan selalu cepat dan agresif ya. Kita menantang gerakan pola-pola cepat itu dengan menguji gerakan itu, dengan pelan, tidak ada kecepatan dalam gerak itu, dan ketika itu ada jadi buyar terus balik lagi ke cepat. Menurutku begitu, menurut Ii gimana?
Utari : Kalo bagi Ii, dalam karya ini melatih kesabaran kita untuk membuat karya tari baru dengan cara virtual. Sebenarnya dengan melakukan latihan secara virtual ini tidak efektif, susah untuk dapat feel antara satu sama lain. Tetapi mau bagaimana lagi, itu menjadi pengalaman bagi kita. Di sini ada sisi positif dan negatifnya. Positifnya, kita bikin karya lain dari yang biasa kita buat sebelumnya. Negatifnya ya itu, tidak efektif latihan berbeda tempat, dan tak saling bertatap muka secara langsung. Selain itu juga melawan kebosanan dengan melakukan pengulangan gerak yang dilakukan beberapa kali. Kesabaran melakukan gerakan dengan hitungan yang lambat. Bagi saya ini temuan baru dengan karya-karya yang saya lakukan sebelumnya. Kita biasanya udah mendarah daging untuk melakukan gerakan cepat dan tidak banyak melakukan pengulangan digerakan yang sama, tapi di sini kita dapat tantangan baru cukup mengembangkan dua gerak dasar saja.
Vero : Memang dilatih betul kesabarannya Kak Siska?
Siska : Yaa. Jadi kalau silek (silat) itu adalah silaturahmi dan Lapuak Lapuak Dikajangi #3 kali ini, adalah silaturahmi, ya betul sekali. Karena kita betul-betul bersilaturahmi dengan koneksi “jaringan” tubuh kita dan antar sesama penari. Itu benar-benar ketemu.
Vero : Yaa, kalau ketemu langsung benar-benar tidak memungkinkan, ya kak? Karena jauh juga, ya kan?
Siska : Dan protokolnya lebih banyak lagi kalau kita pulang.
Vero : Jadi bagaimana nih pendapat Kak Siska dan Ii tentang karya-karya yang muncul di era normal baru ini?
Utari : Ada ya kak Vero, kayak yang udah dijelaskan tadi. Biasanya kita melakukan di berbagai tempat berbagai kota dan tempat latihan. Sesuatu yang menarik walaupun bosan, jenuh tapi tetap ada sisi positifnya ya kak Vero.
Vero : Kalau menurut Kak Siska bagaimana?
Siska : Karya yang mana dulu nih, kita harus bedain karya dari instansi-instansi. Menurutku kalau untuk mengejar uang, ya ngga apa-apa ya, biasa saja. Aku juga ngga tertarik dengan itu tapi banyak hal yang aku lihat, di dalam di keadaan yang sebelum serba digital seperti ini, banyak yang ngga sabar ngeliatin kalau dia produktif, pengen liatin bahwa dia berkarya dan beproses. Dan tergesa-gesa melihatkan karyanya ke dunia digital yang maya ini. Ada bagusnya, ada tidaknya menurut aku. Semua tergantung seberapa persen dia ingin melihatkan proses karyanya. Kalau memang karya itu sudah selesai, dan keadaan sekarang seperti ini dimunculkan dengan “digital-an” itu juga menarik dan bagus-bagus. Ada juga karena ingin perlihatkan aktif di dunia digital, mereka juga tergesa-gesa saat proses dan melihatkan keluar.
Audience: Inikan bisa jadi pengalaman yang menarik bagi aku maupun warganet, yang akan menyaksikan penampilan tari dengan garapan yang serius melalui daring, bagi kalian bagaimana. Apakah ini perdana atau sudah beberapa kali?
Siska : Perdana dong. Kalau secara karya yang serius, dan karya pribadi ini perdana.
Vero : Kalau untuk pengalamannya di rumah mungkin tadi sudah Ii sebutkan juga kan, dibilang bosan, jenuh tapi disisi lain ada hal menarik juga ya. Melatih diri. Nah, bagaimana sih kak Siska dan Ii memahami/memaknai arti “silaturahmi” dalam karya barulang yang kalian buat ini. Bisa dijelaskan?
Utari : Karena kita berjauhan tapi kita masih tetap berkomunikasi dengan karya barulang mungkin kita tidak bertatap langsung, dan tetap bisa melakukan proses. Masih tetap berkarya dan itu cara Ii memaknai silaturahmi di karya berulang ini.
Vero : Selain LLD #3 ini, apakah (Utari) dan kak Siska ada kesibukkan/kegiatan lainnya? Atau apa ada keinginan membuat kegiatan lainnya gitu untuk kedepannya?
Utari : Ada kak Vero. Selain proses karya kolaborasi ini, kesibukan Ii ada mengajar siswa untuk FLS2N (Festival Lomba Seni Siswa Nasional tingkat SD) seni tari. Ada proses latihan juga sama Sanggar Sago Artkana, terus juga proses karya “Under the Vulcano” (UTV) dengan Komunitas Hitam Putih. Tapi proses UTV ini ditunda sementara, karena covid-19 ini kak. Kalau untuk kedepanya tetap berproses karya Barulang ini, karya ini akan tetap kami lanjutkan.
Siska : Kalau Aku, sekarang lagi sibuk masih menemani warga desa Beliba, sebuah desa wisata, melalui sosial media dan sebenarnya proses ini sama Ii terus berlangsung walaupun besok sudah perform. Masih terus bergerak dan aku juga terus menjaga tubuh. Semoga saja covid-19 ini segera selesai, karena tahun depan masih berangkat lagi ke Paris.
Vero : Kan rencananya besok malam kak Siska dan Ii akan melakukan presentasi publik secara live, seperti apa dan bagaimana besok malam? Bisa dijelasin ngga?
Siska : Nah sedikit saja ya bocorannya. Sebenarnya proses pertunjukan kali ini banyak banget versi. Dari awalnya rencananya aku perfome dengan Ii berdua lewat zoom terus tiba-tiba aku ke Anambas, lalu kirim video rekaman saja. Eh, videonya selesai, tapi di video, siluet tangan aku sejajar dengan bukit-bukit (jadinya tidak begitu terlihat). Awalnya kita juga coba dengan pake aplikasi masing-masing di rumah dan menggunakan proyektor, tapi terus terkendala dengan jaringan. Lalu aku keburu berangkat kerja ke Anambas tadi. Akhirnya terakhir dicoba aku live di rumah dan Ii live di Gubuak Kopi.
Vero : Di sana, dimana nih, Kak Siska?
Siska : Penasaran kan? Aku juga penasaran. Bagaimana hasil proses karya ini tentu karya ini judulnya Barulang akan ada yang menarik di background karya kami nanti. Akan ada sesuatu yang menarik dengan beberapa lapisan-lapisan.
Vero : Nah bagi teman-teman besok yang penasaran dengan karya presentasi publik Barulang kak Siska dan Ii bisa langsung check di websitenya Gubuak Kopi.
Siska : Betul, betul. Cek di websitenya Gubuak Kopi dan standby untuk infonya besok kita akan perform malam. Jadi, yuk nonton ya, aku juga penasaran. Hahaha..
Vero : Oh, iya.Untuk Ii dan kak Siska kira-kira ada keinginan ngga kolaborasi dengan teman-teman seniman dari media lainnya?
Siska : Tentu, tentu. Karya kita ini masih fresh, masih terus berproses, mungkin ini akan menarik lagi kalau banyak seniman. Karena bagiku ini adalah karya eksperimen, jadi kita semua bareng-bareng bukan menjadi karya aku dan Ii, tapi karya bang Albert juga. Pengen.
Vero : Terakhir, nih. Kak Siska, bagaimana tanggapan kak Siska dan Ii tentang aktivitas perempuan di Sumatera Barat ini?
Siska : Mungkin Ii dulu deh, karena Ii berada di Sumatera Barat , mungkin Ii bisa melihat keadaan itu sekarang bagaimana?
Utari : Kalau yang Ii lihat tentang seniman perempuan saat ini di Sumatera Barat… sebenarnya, jarang terlihat, kak. Maksudnya begini, kebanyakan seniman perempuan ketika sudah memiliki tanggungan, semisal berkeluarga, banyak yang menghentikan berkesenian dan tidak melanjutkan untuk berkarya. Padahal mereka mampu. Ini terjadi mungkin saja itu karena faktor keluarga, suami, anak, bahkan faktor diri sendiri. Kebanyakan para seniman perempuan di Sumatera Barat seperti itu Ii lihat kak Vero. Menurut Ii itu semua sebenarnya tergantung dari diri pribadi sih, jika bisa membagi waktu untuk mengurus rumah tangga dan berkesenian, kenapa tidak?.
Siska : Aku sih melihat sebenarnya banyak potensi –potensi seniman perempuan di Sumatera Barat, tapi tidak banyak yang menguji nyali sepantaran dengan teman-teman di luar sana, dan menurutku sebenarnya kekurangannya adalah tidak mau menantang diri aja sebenarnya. Aku melihat dunia koreografer kontemporer kita banyak kekurangan seniman perempuan. Karena sudah banyak sekali koreografer perempuan yang banyaknya dikomersial, di entertainment. Itu tentunya ngga salah, karena masing-masing punya hak untuk memilih mau jadi apa. Kalau kita mengkaji ke belakang, kita punya almarhum Hoerijah Adam, kita punya Gusmiati Suid, koreografer perempuan yang membawa harum nama Sumatera Barat di kancah Nasional dan Internasional. Jadi mungkin yang tentang perempuan itu “untuk mari kita saling semangat, saling support agar tetap terus bergerak produktif dan aktif. Jadi mari tetap optimis dan menggantungkan impian, dan aku di sini akan tetap selalu belajar” menurutku begitu.
Utari : Jadi itu kan sebenarnya balik ke perempuannya lagi kak, karena ada sebagaian perempuan yang kita lihat terkendala dengan keadaan yang sudah mempunyai keluarga punya anak. Itu kan tergantung perempuannya masing-masing, tapi kebanyakan perempuan di Ranah Minang saat ini, terutama penari akan susah berkesenian lagi setelah berumah tangga. Tapi, bukan berarti semua perempuan seperti itu.
Siska : Seharusnya pun harus lebih optimis. Sebenarnya stigma koreografer perempuan di Sumatera Barat atau di mana pun hampir sama, mereka selalu terkendala ketika sudah bekeluarga, Apalagi ketika sudah punya anak. Ya harus mengurus anak, apalagi kalau anak sudah besar tidak mau memulai tubuhnya (latihan), karena dia ngga mau menantang dirinya sebenarnya. Padahal banyak peluang sebenarnya di komunikasikan dengan keluarga (suami atau anak). Sebenarnya tidak jadi penghalang, stigma-stigma itu sebenarnya mereka hanya membenarkan bahwa mereka memang tidak mau lagi, yaudahlah emang perempuan di rumah saja mengurus anak… Jadinya ngga mau optimis dan ngga mau berproses lagi.
Vero : Oke, terima kasih banyak Kak Siska dan Utari untuk waktunya. Semoga besok malam presentasi publiknya lancar dan sukses, tetap berkarya dan sampai bertemu di lain waktu dan kesempatan. Semangat, ya, untuk besok malam.
***
Portofolio dan kuratorial project: Lapuak-lapuak Dikajangi #3