Pembiasaan, terpaksa dilakukan oleh semua orang tanpa pengecualian, setelah datangnya kabar tak diinginkan dari informasi yang tersebar. Hal yang biasanya dilakukan dengan kebebasan dan tanpa pembatasan harus bisa terkendalikan. Demi menjaga kesehatan agar tidak merugikan banyak pihak, tak terkecuali keluarga dan diri sendiri. Kebebasan harus berubah menjadi pembatasan berskala besar, serta kegiatan yang dikontrol dengan ketat.
Begitulah kejadian yang terjadi akhir-akhir ini, tak hanya pada sektor penjualan di pasar namun juga terjadi di berbagai tempat. Seperti tempat ibadah dan rumah makan, harus menyediakan perlengkapan cuci tangan sebelum masuk ruangan, pun dengan toko lainnya. Bahkan pelarangan melaksanakan ibadah berjamaah di masjid sempat terhenti demi memutus mata rantai penyebaran wabah ini. Bahkan memakan minggu pertama bulan Ramadan, masyarakat dihimbau untuk shalat di rumah. Datangnya tamu tak diundang menjadi wabah yang sangat merugikan. Mau tak mau membuat semua warga menjadi lebih waspada dan protokol kesehatan lebih ditingkatkan.
Mengenai kondisi tersebut, tentulah masyarakat akan sangat merasakan dampak dari wabah virus bernama Corona, yang mengundang kebijakan pemerintah untuk tetap berada di rumah. Dengan itu pemasukan dari masyarakat tentu terhambat, karena setiap orang memiliki profesi dan pekerjaan yang berbeda satu sama lain. Kebijakan #dirumahaja akan memberikan kerugian bagi yang tidak berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebab para pekerja ini memanglah harus mencari nafkah dengan tetap bekerja di luar rumah. Misal saja, para pedagang, para tukang pun dengan orang yang memborong proyek pembangunan lainnya. Namun bantuan dari pemerintah juga sudah diturunkan demi membantu perekonomian para warga.
Begitu juga yang terjadi di Kenagarian Mungka Tangah, Kecamatan Mungka, Kabupaten Lima Puluh Kota. Bantuan Langsung Tunai berupa uang sebanyak Rp 600 ribu/bulan sudah diterima oleh banyak kepala keluarga di Mungka. Namun sayang, masih banyaknya bantuan yang tidak tepat sasaran dari pemerintah membuat beberapa masyarakat menjadi kecewa. Adanya orang yang dikatakan “mampu” masih mendapatkan bantuan sehingga mengundang protes warga yang lain. Maka dari itu diadakan pembaharuan data orang-orang yang akan menerima pada bulan berikutnya.
Sekalipun demikian, masih juga ada yang tidak kebagian bantuan, tapi sangat membutuhkan. Hal ini membuat para pemuda yang ada di Kecamatan Mungka berinisiatif mengadakan “Jumat Barokah”. Yang mana adalah program pembagian sembako setiap hari Jumat. Dana untuk pembelian sembako ini berasal dari para donatur, baik dari luar maupun dari dalam. Seperti dari para perantau, atau bahkan yang bisa disebut mampu dalam memberikan bantuan.
Setelah melaksanakan salat Jumat, para pemuda melakukan rapat dan berkontribusi dengan para jamaah yang ingin berpartisipasi dalam Jumat Barokah ini. Misalkan ada yang ingin membantu, maka mereka akan menjemput sembako berupa beras atau telur ke rumah partisipan atau langsung menyerahkan sedikit partisipasinya kepada pemuda. Setelah semua berkumpul, maka para pemuda akan mengantarkan bantuan kepada warga yang dianggap berhak menerima.
Tradisi Hari Raya
Hari Raya Idulfitri tahun 1441 H, atau lebaran kali ini harus dilewati dan dijalani dengan beberapa kekecewaan di tengah masyarakat. Tak hanya kerabat yang tak bisa pulang ke kampung halaman, pelaksanaan rutinitas tahunan pun harus berubah cara. Shalat Id berjamaah terpaksa tidak dilaksanakan di lapangan, tempat yang biasa menjadi saksi berkumandangnya takbir hari raya dan khutbah dari khatib. Sebab ditakutkan akan memicu dan menambah korban dari wabah yang sedang berhura-hura di tengah masyarakat Indonesia. Hal ini tak bermaksud untuk menghilangkan kebiasaan Idulfitri di Kenagarian Mungka, namun menimbang resiko yang nantinya akan ditanggung bersama juga. Akhirnya keputusan disepakati bersama, bahwa shalat kali ini dilaksanakan di masjid.
Tak hanya pelaksanaan Shalat Id yang menjadi perbedaan pada Idulfitri kali ini, kunjungan ke rumah kerabat dan teman juga tak lagi dirasakan. Tradisi berkunjung yang tak pernah dilewatkan setiap hari raya, pada tahun ini harus menjadi “gaib” pelaksanaannya. Tak hanya kuliah mahasiswa saja yang dilaksanakan secara online, permintaan “Maaf Lahir dan Batin” pun demikian. Komunikasi via ponsel saja menjadi penghibur sepi lebaran kali ini.
Lebaran selalu identik dengan “salam tempel” atau Tunjangan Hari Raya (THR), tak hanya anak-anak saja yang sudah remaja dan dewasa pun sangat mengharapkan berburu THR dari kerabat pulang dari rantau. Sekali lagi, hal ini juga terasa sekali hilangnya. Tak boleh pulang kampung sama dengan tak akan mendapatkan banyak “salam tempel” dari yang sudah berpenghasilan. Namun, selalu sehat adalah kabar tak tertandingi kebahagiaannya pada masa Covid-19 ini. Kecemasan memang masih melekat pada masyarakat, mengingat masih jua ada korban yang dinyatakan positif terkena wabah.
Kecewa tak mendapat THR tidak akan sebanding jika harus mendengar kerabat menjadi salah satu korban karena berkeras hati memaksa mereka pulang ke kampung halaman. Pemerintah sudah tegas dalam imbauan, maka tak seharusnya kita yang malah menjerumuskan.
KKN dan Corona
Menghadapi pandemi yang sudah berlangsung beberapa bulan ini, dampak juga dirasakan oleh mahasiswa. Mulai dari sistem perkuliahan tatap muka ditiadakan, banyaknya tugas dilimpahkan, materi perkuliahan yang berserakan sampai pada kuota internet begitu banyak diperlukan. Buruknya sinyal koneks jaringan juga menjadi salah satu beban, sebab akan menyebabkan tidak lancarnya proses perkuliahan. Sebagian dosen mungkin akan paham dengan kondisi demikian, namun sebagian lagi beranggapan mahasiswa tak serius mengikuti perkuliahan.
Semester genap hampir berakhir, disambut dengan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang harusnya dilakukan di kampung- kampung berbagai daerah di Sumatera Barat. Selain mengacaukan segala rencana, wabah Corona juga berdampak pada hal ini. Jika KKN tetap dilakukan sebagaimana biasanya maka ditakutkan malah menambah bencana. Sebab pada kenyataannya kita tak tahu seberapa aman kampung yang akan didatangi. Solusi dari kampus, KKN dilakukan di kampung halaman masing-masing. Hal ini memberikan positif dan negatif bagi masing-masing mahasiswa. Salah satu positifnya, mahasiswa tak perlu cemas lagi harus pergi ke kampung yang kita tidak tahu keamanannya. Negatifnya, mahasiswa hanya akan berada pada lingkungan yang itu-itu saja.
Beberapa teman yang saya kenal sudah mendapat kelompok KKN di kampungnya masing-masing. Kali ini kesulitan juga ditemui saat mencari kontak anggota kelompok yang sudah dibagikan oleh kampus. Pun masa pengenalan yang hanya bisa dilakukan via daring. Adanya penentuan kelompok dari kampusnya ternyata juga membuat kesulitan, sebab meskipun satu kampung mereka berjarak dari satu desa ke desa lainnya. Tak hanya itu, mereka juga kesulitan dalam merancang program yang akan dilakukan, terlebih lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih diterapkan.
Pada akhirnya memang kenyataan harus kita terima, lalu mulai membiasakan dan menyesuaikan diri dengan keadaan saat sekarang. Demi menjaga kesehatan dan keselamatan bersama kita harus mampu menarik ego masing-masing agar bisa mencegah bertambahnya korban penyebaran Corona. Namun bisa melakukan rencana-rencana tertunda dengan cara yang berbeda dari biasanya.
Mei 2020
Baca artikel lainnya terkait situasi Corona Sumbar