Pengantar Solok Mural Competition 2019
Kota Solok merupakan bagian dari wilayah budaya Minangkabau. Secara spesifik Solok adalah salah satu nagari yang tergabung dalam konfedarasi Kubuang Tigo Baleh. Koalisi 13 nagari dengan visi dan sejumlah kesepakatan adat yang hampir sama. Kini anggota Kubung Tigo Baleh lainnya secara administratif tergabung di Kabupaten Solok.
Saat ini Solok berkembang sendiri sebagai kota kecil dengan dua kecamatan dan 13 kelurahan. Kota ini kecil secara fisik ataupun mungkin juga dari banyak sudut pandang. Namun hal ini bukanlah sebuah pernyataan pesimis. Kota kecil ini dulunya adalah sebuah kota yang ramai. Terdapat beragam fasilitias. Dulu kita punya 4 bioskop dan angkot yang aktif hingga malam hari. Tapi bisnis itu ternyata tidak berkembang baik dalam monopoli film hari ini. Monopoli jual beli motor tidak berpihak kepada bisnis angkot. Di kota ini dulunya juga terdapat stasiun kereta yang aktif. Warga dari Sijunjung, Padang Sibusuk, dan Sawahlunto datang bekerja dan belajar ke kota ini. Kasus bioskop dan kereta adalah satu contohnya. Ingatkan kami, agar tak terjebak dalam nostalgia kebahagian lampau. Ingatkan kami agar terlibat menentukan hari depan.
Secara geografis, kota kecil ini memang tidak seberuntung kota-kota lainnya, yang memiliki kekayaan alam melimpah dan tawaran wisata alam yang lebih indah. Tetapi kota kecil ini dengan semangat niaga, dan posisinya yang strategis dalam jalur perniagaan internal Sumatera Barat, pernah bangkit dengan semangat perdagangan. Kota kecil ini, bahkan memiliki pasar raya yang besar, yang dulu dikenal sebagai “pasar keramaian”. Muara dari jual-beli hasil pertanian berbagai nagari di Sumatra Barat, khusunya nagari-nagari di wilayah Kubung Tigo Baleh, yang kini tersebar di Kabupaten Solok. Tidak hanya pertanian, Pasar Raya Solok juga memasok kebutuhan papan dan sandang untuk masyarakat Sawahlunto, Sijunjung, dan sekitarnya.
“Solok, kota kecil yang ditinggalkan anak mudanya. Solok, kota kecil yang tidak menjanjikan masa depan yang lebih baik. Solok, kota kecil yang pembangunannya tidak memihak kepada kita”.
Cuitan-cuitan itu, masih sering menjadi dalih di tongkrongan atau kedai-kedai kopi larut malam para pemuda tanggung yang sedang ancang-ancang ingin memulai sesuatu. Tapi, Solok adalah kota yang kita pilih, mencintainya mengeluh sesekali saya rasa tak masalah.
Alam Bareh Solok
Kota kecil ini, Solok, kota yang kita pilih, hari ini masih memiliki sawah yang luas, walau bisa dikatakan terus berkurang, digantikan oleh bangunan fisik, yang tidak seimbang dengan pembuatan sawah (hampir tak terdengar ada aktivitas membuat sawah di Solok). Dengan laju yang demikian, 30 tahun lagi mungkin ini jadi barang langka. Sementara itu, lagu “Bareh Solok” yang diciptakan oleh Nuskan Syarif terus didendangkan oleh berbagai penyanyi pop, generasi ke generasi.
“Saya sudah tua, tidak kuat ke sawah, anak-anak saya tidak ada yang mau jadi petani, apa alasan saya mempertahankan sawah?” Kalimat ini tidak jarang kami dengar selama riset Daur Subur di Solok, maupun di kampung-kampung sekitarnya. Semua lebih memilih membangun toko dan naik haji. Demikian gambaran sawah masa depan. Bertani masih dinilai sebagai profesi kelas bawah. Di saat yang sama kita masih membutuhkan pertanian, tapi segala upaya dan kebijakan belum mengarah pada pemantapan sektor ini. Petani tak jarang hanya jadi objek pembicaraan di bangku akademis atau objek foto.
Bersama program Daur Subur, kami telah mencitakan petani sebagai profesi yang setara dengan profesi lain, terlatih secara teknis, terlatih secara pengetahuan, wawasan budaya yang kritis, wawasan lingkungan, sadar politik, sadar media, dan lainnya. Tapi untuk memperluas ini kita butuh kekuatan yang lebih nyata. adalah kebijakan, hal yang tidak gampang kita rubah. Untung tak surut, cita-cita masih berjalan walau masih lambat.
Akan kami akui, kegiatan ini pada dasar meminjam “kekuatan” kawan-kawan untuk membangun kota kecil ini. Meminjam pemikiran kawan-kawan memberi masukan untuk kota kecil ini, yang tentu juga bisa diadopsi, diperbaiki, dan diaplikasikan di daerah lain. Dan tidak lupa, meminjam selera humor kawan-kawan, mengkritisi diri sendiri, agar kita semua tetap waras.
Pada tahun 2015-2016 lalu, beberapa kali kita digunjing media sosial karena beberapa partisipan Gubuak Kopi “mencorat-coret” sejumlah ruang publik di Solok dengan “asal-asalan”. Tidak hanya di media sosial, sejumlah orang yang kenal mencoba menasehati. Di saat yang sama kita juga menghadirkan sejumlah mural di titik-titik yang kami kira juga memerlukan negosiasi dan melibatkan warga sekitar, seperti mural di Perpustakaan Kelurahan Kampung Jawa dan pinggiran Jalan Yos Sudarso.
Pada tahun 2017, salah seorang partisipan Gubuak Kopi membawa mural yang cukup besar ke dinding bagian dalam Galeri Taman Budaya Sumatera Barat, heboh memang, karena belum pernah dilakukan sebelumnya. Beragam gunjing tak kalah ramai di media sosial ataupun di kedai-kedai “seniman super”. Dan banyak gunjing lainnya, di lain hari, di lain dinding. Hal itu tidak kita pungkiri, dari gambaran itulah kita beranjak, demikianlah kita berproses di kota kecil yang tengah berbenah ini. Berkomunikasi di kedai, media sosial, dan juga di dinding. Awal September 2019 lalu, dengan senang hati kami merancang kolaborasi ini, antara Dinas Pariwisata Kota Solok, Gajah Maharam Photography, dan Komunitas Gubuak Kopi. Tentunya ini adalah kesempatan kita bersilaturahmi, dan menggambar kota dengan gembira.
Pengantar ini tentu sangat subjektif, tidak usah begitu dirisaukan. Saya pun yakin kawan-kawan semua mampu menerjemahkan “Alam Bareh Solok” tak cuma soal pemandangan sawah, pebukitan, dan lembah. Lebih dari itu ia adalah ruang hidup dan masa depan warga Solok itu sendiri.
Waktu, tempat, dan cat untuk kawan-kawan semua.
Salam.