Banyak Saketek merupakan sebuah permainan tradisional yang biasa dimainkan oleh anak-anak di Solok. Permainan yang sangat musikal ini hampir sama dengan permainan “hompimpa“, namun menghadirkan teks-teks dan melodi yang sangat lokal, serta teks-teks yang sering kali merujuk pada situasi yang sedang hangat di sekitar lokasi dan kalangan anak-anak tersebut.
Oktober 2018 lalu, dalam rangka residensi Lapuak-lapuak Dikajangi 2, kami berkesempatan untuk melihat proses latihan silek di sasaran (perguruan) Sinpia di Sinapa Piliang. Sinpia adalah nama salah satu gerak dalam silek dan juga merupakan akronim dari daerah tersebut. Silek sinpia mengembangan dua langkah dasar dalam silek tuo Minangkabau, yakni langkah tigo dan langkah ampek. Para pandeka dipandu oleh tuo silek Sinpia, dengan rendah hati menunjukannya kepada kami.
Lapuak-lapuak Dikajangi(LLD) adalah sebuah perhelatan dari kegiatan studi pelestarian tradisi melalui platform multimedia. Kegiatan ini pertama kali digagas oleh Gubuak Kopi melalui program Lokakarya Daur Subur pada tahun 2017, sebagai rangkaian presentasi publik dalam membaca tradisi masyarakat pertanian. Presentasi publik ini dihadirkan dalam bentuk kuratorial pertunjukan dan open lab/pameran multimedia. Tahun ini LLD mengangkat tema silek, dan bermitra dengan Silek Arts Festival sebagai rangkaian festival.
Pagelaran seni multimedia LLD #2 dimulai dari tanggal 1-4 November di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Solok. Bagi saya, pameran yang digarap oleh Komunitas Gubuak Kopi bersama partisipan dari beberapa daerah ini sangat memecahkan beberapa kebuntuan pandangan terhadap silek di Minangkabau.
Di malam yang gerimis itu, turut hadir sejumlah pemangku kebijakan baik itu daerah dan pusat. Malam itu diawali oleh pengantar oleh Albert Rahman Putra selaku ketua Komunitas Gubuak Kopi dan kurator dari pagleran seni media LLD #2 ini. Tidak lupa Albert juga memperkenal para partisipan dan menjeleskan aktivitas para partisipan lebih dari dua minggu di Solok. Para partisipan diajak untuk mengikuti sejumlah kuliah umum untuk mengenal pemahaman tentang silek dan kebudayaan Minangkabau secara umum melalui para guru-guru silek di Solok yang diundang oleh Gubuak Kopi, juga Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Solok, Dr. Hasanuddin, seorang akademisi peneliti silek, hingga Ery Menfri, pegiat seni senior yang mendalami silek bertahun-tahun sebagai materi garapannya. (lihat juga: Portofolio Lapuak-lapuak Dikajangi 2)
Malam itu turut memberikan sambutan, Kepala Dinas Pariwisata Kota Solok, yang mengaku pertama kali terlibat dalam kegiatan yang digagas oleh Gubuak Kopi; Hadir pula malam itu memberi sambutan Kasubdit Seni Media, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Andre Tubagus. Beberapa tahun terkahir, ia baru tahu ada aktivitas seni media di Solok, sebuah kota kecil, dan beruntung malam itu ia dapat hadir. Turut memberi sambutan Walikota Solok yang diwakili oleh Asisten/ajudannya bapak Jefri, yang menyambut kegiatan ini dan berharap kegiatan ini dapat diapresiasi lebih jauh.
Malam
itu, pameran dibuka oleh perawakilan Walikota Solok, didampingi Albert,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pariwisata, dan perwakilan seniman
partisipan, sembari membunyikan gendang bertalu-talu. Di sela tepuk tangan yang
meriah, muncul Ethnic Percussion dari sisi kiri kanan lobi pameran, memainkan
pukulan-pukulan gendang yang memukau malam itu.
Setelah
pertunjukan pembuka oleh Ethnic Percusision, para tamu diajak memasuki ruang
pamer dan dipandu oleh Albert menjeleskan setiap karya yang ditampilkan bersama
para seniman. Karya pertama adalah kita temui ketika kita masuk adalah“Runciang Indak Manusuak“
(Runcing Tidak Menusuk), karya performance art oleh Ragil Dwi Putra, salah satu
seniman partisipan dari Jakarta yang berkegiatan di 69 Performance Club dan
Klub Karya Bulu Tangkis (KKBT) ini. Karya inimerespon tentang bagaimana
intimnya sebuah proses pembelajaran silek
di Minang dan juga membicarakan permasalahan “Tamaik Kaji”
(Khatam).
Sementara kita menikmati karya Ragil, ruang pamer masih dibiarkan gelap. Karyanya ia sajikan secara performatif, dalam ruang persegi tanpa pintu dan ditutupi oleh kain hitam, serta bertuliskan kata-kata kiasan yang selalu muncul ketika para tuo silek memberi pemahaman tentang silek. Kalimat dan ruang gelap dalam galeri ini memperkuat pemaknaan betapa intimnya sebuah kegiatan tamaik kaji pada silekMinang. Dalam karya ini juga menjelaskan bagaimana susahnya dan perlu usaha untuk belajar silek di Minang yang di gambarkan dengan cara masuk kedalamnya ini dengan menyeruak menunduk untuk memasukinya. Didalam ruangannya juga terdapat dua kursi berhadapan.Sekitar sepuluh orang pengunjung diundang untuk memasuki ruang persegi itu dan diberikan satu lilin. Satu persatu lilin itu menyala, dari luar sekilas ia terlihat seperti lampion. Tulisan-tulisan menjadi seakan menyala.
Dalam
performannya, Ragil berusaha duduk di atas sandaran kursi dengan kaki sebelah
sambil memegang lilin dan disaksikan oleh beberapa pengunjung pameran yang diundang
masuk pada kubus yang sakral itu.
Setelah
lampu menyala, pengunjung digiring ke sisi kiri melihat karya Hafizan yang
berjudul Tagak Itiak. Hafizadalah seniman partisipan dari Kota Padang.Ini
mencoba mengungkap makna ketelitian dan kesabaran melalui karya instalasinya
yang terangkai dari ranting-ranting pohon yang disatukan dengan ikatan benang
sehingga membentuk sebuah gesture dan gerakan silekyang juga biasa disebut “tagak
itiak” (berdiri sebelah kaki). Karya ini memliki dimensi 3.5m x
1.5m x 1m, dengan tembakkan lampu bayangan ranting instalasi menjadi dua kali
lebih besar.
Masih
membicarakan konteks tertutupnya silek di Minangkabau. Arum Tresnaningtyas
Dayuputri salah seorang seniman partisipan dari Bandung yang aktif berkegiatan
di Omnispace, ini menampilkan beberapa karya foto yang ia kolase diatas
sejumlah koleksi arsip masa lampau, mengenai transisi silek mejadi ajang olah raga. Dari karyanya ini pada dasarnyaArum mencoba
menghadirkan sosok perempuan dalam dunia persilatan di tanah matrilineal ini.
Di mana biasanya silek ini didominasi oleh laki-laki di Minang, dan kali
ini Arum mencoba menjawabnya dengan karya foto yang mempresentasikan “Silek
Batino”(Silat Perempuan), di Minagkabau. Dalam karya ini ia
berkolaborasi degan Dewi Safrila, dari Pekan Baru, yang selama riset juga aktif
berlatih gerak pencak silek batino di
Sasaran Limbago Budi, Solok.
“foto
pesilat perempuan ini menjadi relevan dengan koleksi arsip yang melatar
belakanginya. Silek sebagai olah raga
pada dasarnya memberikan dampak buruk, pada pendangkalan makna silek itu sendiri.” Jelas Albert
Ia
menambahkan, tapi dengan masuknya ia pada cabang olah raga pada Pon tahun
1950an di Makassar, dan gencar perkembangan silek
di Eropa, yang bahkan sempat menggeser polpularitas karate dan tekwondo, juga
memunculkan banyak pesilat perempuan di berbagai belahan dunia. Sebenarnya
bukannya tidak ada pesilat perempuan di Minangkabau, tapi itu privat sekali,
biasanya hanya dari paman ke kemenakan atau ayah ke anak. Sementara tidak semua
perempuan seberuntung itu. Karena tidak pernah melihat itu, menjadi pesilekperempuan seakan tidak lazim.
Menghadirkannya ke hadapan publik, juga sebagai penegasan akan kesempatan yang
sama, dan memecah ketabuan akan pesilek
tradisi perempuan itu sendiri.
Berlanjut pada karya Zekalvel Muharram salah seorang seniman partisipan asal Solok. Ia mengadirkan sejumlah komik strip buatannya dalam lembaran A3 dan satu ia lukiskan di dinding dalam ukuran 2 x 3 meter.Komik-komik itu ia beri tajuk “Raso Pareso”. Komik-komik berkarakter khas itu, menegaskan sejumlah persoalan adab yang selama ini jarang kita kritisi. Dalam karyanya mural misalnya, ia juga menjelaskan sebuah pergeseran makna dan mencoba masuk melalui cerita lucu yang sebenarnya menyuruh pembaca lebih otokritik kepada diri sendiri, dimana tradisi lisan kita yang sering menambah-nambahkan atau mengurangi segala sesuatu informasi.
Dari
karya Zekalver, kita berajang pada ruang presentasi kelompok”Untempang Club”,
sekelompok remaja yang dibina oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak awal Oktober
lalu dalam program Remaja Bermedia. Kehadirnya menambah warna dan menunjang
semangat generasi muda untuk terus berkarya dan memanfaatkan teknologi media
yang akrab dengan keseharian kita sebagai alat untuk berkarya. Karya foto yang
mereka tampilkan tidak hanya berbicara garis, warna, tekstur, kedalaman, pola,
dan cahaya. Melalui pelatihan yang mereka dapatkan di Gubuak Kopi dan bersama beberapa
seniman partisipan LLD, hasil karya mereka mampumenghadirkan pemaknaan silek dalam medium kekikinian tanpa
menghadirkan silek itu sendiri.
Detil, intensitas, dan kepekaan. Demikian yang dihadirkan remaja yang tak
memiliki kesempatan belajar silek
ini.
Dari
ruang remaja bermedia itu, kita berlanjut pada kumpulan skesta yang dipajang di
dinding dan sebuah meja kerja. Karya itu berjudul “Berburu Gerak”. Proyek
skesta ini dikerjakan oleh Hujatul Islam alias Dokter Rupa dari Yayasan Pasir
Putih, Lombok, sebagai studi gerak melalui skesta bersama sasaran-sasaran silek tuo di Solok, seperti Limbago
Budi, Sinpia, dan Silek Tuo Kinari. 50
karya skesta ini sekaligus menjadi sebuah aksi pengarsipan gerakan-gerakan khas
di masing-masing perguruansilek yang mungkin cukup jarang ditemukan.
Setelah menyimak karya Hujatul para pengunjung diajak untuk menyimak performance oleh Dewi Safrila. Dewi salah seorang seniman dari Riau ini menjelaskan sebuah perlawanan terhadap ego, kelembutan, dan sebuah ketegasan dalam diri seorang pesilat. Karya yang menggunakan teknik maping, menghadirkan Dewi yang berdialog melalui gerakan dengan bayangan ataupun imajinasinya yang terpanggung di sebuah skesel ini cukup membuat penyegaran dalam dunia seni media maupun seni pertunjukan tari di Sumatera Barat.
Tidak
hanya persoalan visual, berikutnya kita digiring pada karya bunyi: The Sound Of
Silek. Karya ini disajikan dalam
bentuk playlis dalam sebuah TV oleh Palmer Keen, salah seorang peneliti musik
asal Amerika yang kini berdomisili di Yogyakarta. Dalam residensi LLD #2 Palmer
mencoba meneliti keterkaitan gandang sarunai dengan silek di
minang. Karyanya ini mencoba menjawab apakah silek itu sunyi. Dalam
karyanya Palmer juga melakukan recording di mana silek itu sebenarnya
penuh dengan bunyi, bunyi gerak, gesekan kain, tepukan paha, dan serta hembusan
nafas dari pesilat itu sendiri, dan disini Palmer mencoba membuat karya dari
bunyi dari gerakan dari dua tuo silek
yang tengahbasilek di sasaran Limbago
Budi.
Di seberang karya palmer kita dihadapkan pada pengembangan bunyi dalam sebuah TV yang terhubung earphone: Virusakita. Karya ini digarap oleh Ade Jhori mencoba memperpadukan bunyi “Pupuik” dengan distorsi digital. Dalam karyanya ini Ade mencoba mengangkat sebuah suara kegelisahan dari bunyi pupuik itu sendiri dan mencoba mempertegas bunyi-bunyi kegelisahan itu sendiri dengan sentuhan digital.
Dibelakangan
juga terlukis karya Hujatul yang tergambar impresif diatas tempelan arsip koran
tentang silek pada media skesel
seluas 2 kali 3 meter. Demikian kita dihantarkan pada karya terkahir di ruang
pamer, yakni“Setitik Jadikan Laut” karya Prashasti Wilujung Putri.
Karya
ini menhadirkan menangkap gerak pesilat dari berbagai arah. Karya Asti yang
melihatkan gerakan pesilat bukan hanya dari sudut pandang penonton saja tetapi
juga dari pesilat itu sendiri. Terlihat para penonton silat dan pesilat solo di
sebuah ruang latihan yang dilengkapi kamera di kepalanya. Dalam karyanya ini
Asti mencoba membingkai sebuah proses di mana ia menegaskan “menjadi pasilek bukan berarti tunggal dan besar,
namun menjadi tetap kecil, banyak, dan memasyarakat”. Karya Asti ini
berkolaborasi dengan Sasaran Silek Limbago
Budi di sisi lain mengajak kita mengalami sesansi basilek melalui mata-mata yang hadir dalam ruang yang telah lewat itu.
Dari pameran seni media Lapuak Lapuak Dikajangi #2 bertemakan silek yang digarap rekan-rekan Komunitas Gubuak Kopi bersama seniman partisipan ini,bagi saya memperkaya dan menambah pengetahuan tentang bagaimana silek itu sendiri. Hasil dari karya para seniman ini juga memecah kebuntuan kita selama ini mengenai bagaimana silek di Minangkabau. Dan juga menjelaskan pendangkalan makna, pergeseran kebudayaan, dan kurang pedulinya generasi muda saat ini tentang bagaimana pentingnya melestarikan budaya itu sendiri.
“Silek adalah sebuah tradisi beladiri masa lampau yang tidak hanya soal pertarungan, di dalamnya terkandung pendidikan karakter, ketelitian, filosofi, dan sebagainya. Ia bukan sekedar olah raga, tapi juga olah rasa, dan olah pikiran.” Jelas Albert.
Ia
menambahkan, selayakanya silek yang
berkembang pada kesenian tradisi lainnya, seperti tari dan randai oleh generasi
jauh sebelum kita. Ia tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan pada medium
baru oleh generasi kini. Tentunya tidak hanya sebagai objek bingkaian semata,
tetapi juga di-reinterpretasi nilai-nilainya.
Malam itu turut hadir Jumail Firdaus Project yang mempresentasikan karya komposisi musiknya yang berjudul Basikencak, dan Orkes Taman Bunga yang menghangatkan malam.
*Artikelnya sebelumnya dipublis di Kolom Budaya, Koran Haluan, edisi Minggu, 11 November 2018 dengan judul: Tanya Berjawab Tentang Silek. Dipublikasi kembali sebagai distribusi arsip.