Silek Sinpia sebenarnya bukanlah perguruan yang asing bagi kami, selain ia memang cukup dikenal di Solok, pada Lapuak-lapuak Dikajangi #1 kita juga pernah beberapa kali datang ke sini. Perguruan Silek Sinpia bertempat di Sinapa Piliang, sinpia adalah akronim dari nama daerah itu, selain itu memang sinpia atau simpia juga nama salah satu gerak dalam silek.
Perguruan ini dipimpin oleh tuo silek Asraf Daniel alias Mak Datuak Tan Panggak, ia sudah puluhan tahun menjadi pesilat, pernah mendirikan beberapa perguruan silek di perantauan, dan sekarang mendirikannya di Solok. Tahun lalu kami dibuat terpesona oleh narasi mengenai silek yang ia kembangkan. Silek Sinpia adalah peleburan dari dua langkah dasar dalam silek Minangkabau, yakni Langkah Tigo dan Langkah Ampek. Langkah tigo datang dari Agam dan langkah ampek datang dari Kumango, bertemu di Solok dan dikembangkan menjadi gaya khas Sinpia. (Baca juga: Yang Usang Dipabaharui, 2017)
Selain Mak Datuak Tan Panggak, dalam perguruan ini juga ada Pak Buli yang juga merupakan tuo silek-nya. Waktu itu kita berkesempatan melihat dua guru ini bersilat secara spontan. Selama kurang lebih sepuluh menit, yang mereka hanya berkeliling, menggertak, berkeliling lagi, membuka umpan, dan menutup lagi. Tidak ada pukulan dan tendangan yang benar-benar terjadi. Setelah kita amati ternyata, disana kita (atau setidaknya saya) dapat memahami, bahwa silek memang tidak untuk membunuh.
Serangan yang tidak pernah terjadi itu bukan karena itu tidak diserang, tapi guru-guru ini seakan-akan telah mampu membaca respon lawannya hingga 5 step ke depan. Terlihat ketika ia memperagakan dengan muridnya. Salah seorang murid disuruhnya berdiri, lalu menyerangnya. Ia mencontohkan lima gaya tangkap dari serangan yang sama, serta bagaimana kemungkinan-kemungkinan serangan lain. Demikian serangan itu selalu gagal, pikiran sudah mengalahkannya. (lihat juga: Vlog Kampuang-Duo Tuo Sinpia, 2017)
Belum lagi, dua muridnya yang bersilat dalam kain sarung dan menggunakan senjata. Segala keadaan ruang menjadi tantangan tersendiri untuk melatih akal dan kepekaan. Sekalipun rasanya membunuh itu tidak sulit bagi pesilat handal, tapi ia tidak pernah melakukannya, silek dalam konteks perkelahian sudah selesai ketika lawan telah dikunci. Ada dua model kuncian: babuhua mati dan babuhua sentak. Babuhua mati adalah kuncian yang masih memberi kesempatan lawan untuk membukanya. Kadang terlihat seperti pesilat mempermainkan lawannya. Babuhua Mati, adalah kuncian yang tidak bisa dibuka lagi. Dari sana lawan tahu, bahwa ia telah kalah.
Memberi kesempatan dan memaafkan, saya kira demikian silek melalui gerakan fisik memperlihatkan kebijaksanaan dan intelegensinya.
***
Tahun 2017 lalu, pada LLD #1, kita Silek menjadi tema yang terlalu buru-buru untuk kita simpulkan, dan terlalu rugi untuk tidak kita dalami lebih lanjut, untuk itu dalam bingkaian kuratorial tahun ini, kita menjadikan silek sebagai benang merah. Silek adalah salah satu aktivitas kebudayaan yang cukup kompleks, dalam baju beladiri sebagai metode silek menjabarkan apa itu pengamatan yang mendalam mengenai sifat-sifat alam, kearifan lokal, adab, dan pendidikan karakater.
Silek juga berkembang menjadi tarian, permainan, musik, dan kesenian lainnya. Ia menawarkan estetika dan etika yang merepresentasikan ke-lokal-an dan semangat zamannya. Lalu bagaimana para seniman muda dari berbagai latar disiplin dan budaya ini merespon silat dari prespektif sekarang?
Pada 20 Oktober 2018 lalu, para partisipan kembali kita ajak untuk melihat proses latihan silek secara langsung dan terlibat. Dalam proyek LLD #2, ada beberapa sasaran silek yang kita kunjungi dan beberapa seniman partisipan terlibat latihan intens. (Baca juga: Garak Jo Garik di Limbago Budi, 2018)
Silek dalam Kain Sarung
Selain di sasaran (arena) halaman rumah ini, para pegiat silek simpia juga menggelar latihan mingguan di arena yang berbeda. Setiap arena memberi tingkat kesulitan dan pemahaman tersendiri. Salah satu yang sering menjadi tempat latihan pesilat Sinpia adalah area persawahan yang sudah dipanen. Langsung saja kami menuju Sawah Solok.
Ikut Berlatih
Bermain Batuang Gilo
Batuang Gilo, demikian warga sekitar menyebutnya. Saat itu beberapa orang merangkul erat batuang (bambu), entah siapa yang mulai mendorong, lalu kita bersama mengantur langkah agar tidak rabah dan jatuh. Sebelum dimulai, Datuak Tan Panggak melafalkan teks yang tidak kami dengar jelas, melambai-lambai kainnya. Seorang bapak, menepuk gendang. Semua orang di sekitar berteriak:
“oyak.. oyak.. oyakk..”
“oyak batuang”
Sore itu hampir semua badan berlumpur. Di banda kita bersihkan, pamit, lalu pulang.
Solok, Oktober 2018
Foto: Koleksi Arsip Gubuak Kopi, 2018