Rabu, 17 Oktober 2018, masih dalam rangkaian proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi #2, kami mengikuti kuliah umum tentang persoalan makna-makna dan ragam silek oleh salah satu dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, yakni Dr. Hasanuddin, M.Si. Seperti yang diperkenalkan Albert Rahman Putra, ketua Komunitas Gubuak Kopi, Bapak Hasanuddin sebelumnya sempat meneliti persolan silek di Minangakabau, khusunya silek luambek / ulu ambek di Pariaman, dan menuangkannya pada jurnal dengan fokus pembacaan silek sebagai upaya manajemen konflik sosial.
Sore itu Bapak Hasanuddin memulai materinya dengan menjabarkan fungsi silat, ada beberapa fungsi silek yakni pertama bela diri, pertahanan nagari, media transformasi konflik, silaturahmi, ekspresi seni. Walaupun di atas disebutkan bahwa silek berfungsi sebagai bela diri dan untuk mempertahankan nagari yang kita sering artikan dengan kekerasan, namun kata bapak Hasanuddin silek bukan lah soal pertarungan, justru orang minang sangat diajarkan untuk menghindari keributan dan juga kekerasan. Namun ada satu pepatah yang disampaikan oleh beliau yakni “musuah indak dicari-cari, kalau bertemu pantang diilakan” (musuh tidak dicari-cari, kalau bertemu pantang di hindari), artinya kita diajarkan untuk tidak mencari-cari lawan, namun jika bertemu pantang untuk dihindari.
Selain fungsi silek, beliau juga menyampaikan makna silek. ada beberapa makna silek yakni, harga diri, percaya diri, kerendahan hati, kemuliaan diri, keindahan seni. Kuliah umum yang diberikan pak Hasanuddin berlangsung kurang lebih selama 3 jam. Sore itu setelah kuliah umum, kami berkumpul di depan kamar untuk bersantai. Lalu malamnya sekitar pukul 8 malam kami bersama-sama menghadiri undangan dari Buya Khairani, salah seorang tokoh adat Solok, untuk datang ke Masjid Nurul Yaqin di Kampung Jawa, untuk menyaksikan acara pidato adat. Acara ini merupakan arisan bulanan para tokoh adat di setiap kelurahan dan juga sebagai ajang apresiasi pidato adat.
Perjalanan ke masjid kami tempuh dengan berjalan kaki, namun ada sebagian yang naik motor sebeb ada keperluan lain sebelum itu. Sebenarnya tidak enak langsung masuk ke dalam tempat acara, karena kami tidak memakai pakaian adat. Tapi di masjid kami bertemu dengan Buya Khairani dan beberapa orang yang juga tidak asing bagi Gubuak Kopi. Kepada mereka kami mohon izin untuk mengikuti pidato adat ini dari teras masjid saja.
Acara dibuka dengan berbagai sambutan, dan nyanyian oleh Bundo Kanduang Kampung Jawa. Setelah itu barulah para tokoh adat ini berpidato. Beberapa kawan seniman sebenarnya agak susah menyimak karena bahasanya yang cepat, menggema, dan bahasa Minang.
Sekitar pukul 11 malam kami memutuskan untuk meninggalkan sepeda motor yang kami bawa di masjid dan berjalan kaki ke pasar Kota Solok untuk sekedar menyicipi jajanan pinggir jalan seperti telur gulung. Setelah itu, kami melanjutkan perjanan ke tempat selanjutnya yakni kedai teh talua, kami semua duduk lesehan di depan toko yang sudah tutup untuk menikmati minuman hangat seperti teh talua dan sekoteng. Malam itu kami habiskan dengan ngobrol santai dan juga diselingi dengan candaan. Menjelang tengah malam, kami memutuskan untuk kembali ke SKB.