Catatan hari keenam lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi dan membaca tradisi marindu harimau bersama Rika Wirandi
Minggu, 24 September 2017 adalah hari ke-6 lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi, yang diselenggarakan oleh Komunitas Gubuak Kopi. Sekitar jam 11.20 siang, para partisipan dan fasilitator siap untuk pergi ke lapangan, mencari data yang dibutuhkan terkait minat isu masing-masing. Kiki, salah satu pertisipan, mencari informasi yang ia butuhkan ke rumah datuak Tan Ali. Beliau adalah salah satu tokoh adat di Solok, atau tepatnya ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Solok. Pada beliau, kiki mencari lebih jauh isu tentang bakureh, yakni tradisi masak bersama yang biasa dilakukan oleh masyarakat KTK untuk sebuah pesta di kampungnya. Baik itu pesta penikahan ataupun pesta yang diselenggarakan oleh pemuda atau pesta adat lainnya. Selain Kiki, Apis dan Zekal pergi ke salah satu sawah yang memiliki alat panggaro (alat untuk mengusir hama burung yang memakan padi).
Apis sangat tertarik untuk meneliti alat panggaro dan aktivitas manggaro itu sendiri. Seperti yang telah dibahas pada diskusi sebelumnya, manggaro selain sangat fungsional bagi petani, juga memiliki potensi musikal yang menarik untuk dibaca lebih lanjut, dan kemungkinan juga menarik untuk kita respon secara musikal pula. Selain Apis, Joe Datuak meneliti tentang Silek Sinpia yang berada di Sinapa Piliang, ia tertarik pada langkah (gerak dasar) dalam silek yang dikembangkan oleh Sinpia. Perguruan ini memadukan langkah tigo (langkah tiga) dan langkah ampek (langkah empat). Dua Gerak itu memiliki sejarahnya masing-masing. Seperti yang dijabarkan oleh Datuak Tan Palak, Guru Silat Sinpia, bahwa langkah tigo datang dari Agam menyisir sisi barat danau Singkarak dan sampai di Solok. Sedangkan langkah ampek datang dari Kumango menyisi timur danau Singkarak dan sampai di Solok. Di sini, gerak itu menjadi perpaduan, sama-sama dipelajari dan disesuaikan. Itu yang membuat Datuak tertarik membahasnya.
Kemudian, Hendri Koto membahas tentang bakaua, adalah istilah untuk mandoa atau syukuran dari hasil panen. Hal ini menarik karena memiliki muatan gotong royong yang luar biasa dari petani, dan adanya agenda panen dan tanam serentak antara petani di sekitaran kampung tersebut. Selain itu dalam praktek ini terdapat beberapa praktek khusus terkait aktivitas ini, seperti adanya sesajen membantai kerbau, dan lainnya. Untuk melengkapi risetnya, Koto menemui Buya Khairani, salah satu tokoh masyarakat di Solok.
***
Setelah beberapa jam mencari data di lapangan, menjelang pukul 14.00 para partisipan dan fasilitator pulang menuju markas Komunias Gubuak Kopi. Di sini, kita telah kedatangan Rika Wirandi atau yang akrab dipanggil Eka. Dia adalah penulis dan periset di bidang pertunjukan musik populer dan musik ritual. Dia lulusan dari Pascasarjana ISI Padangpanjang dengan minat pengkajian seni pertunjukan. Baru-baru ini ia telah menyelesaikan tesis terkait tentang tradisi penangkapan harimau di Panyakalan, Solok. Seperti yang telah diagendakan siang ini Eka hadir untuk mengisi sesi kuliah umum terkait Tradisi Marindu Harimau.
Sebelum memulai materi, Albert selaku ketua fasilitator, terlebih dahulu memperkenalkan Eka. Dalam sesi ini, kita berharap dari materi yang dihadirkan Eka, kita mendapat gambaran tentang kehadiran tradisi itu sendiri, dan bagaimana ia berperan di masyarakat lokal, dan seterusnya. Setelah dibuka oleh Albert, Eka pun menampilkan slide presentasinya.
Banyak hal sebenarnya yang kita bahas siang menjelang sore itu. Terutama mengenai tradisi itu, keterkaitannya dengan hukum perlindungan hewan, kearaifan lokal dalam menjaga lingkungan dan ekosistem hutan, musikal dan mantra, hingga mitos-mitos terkait harimau. Tradisi marindu harimau, sederhannya dapat kita pahami sebagai upaya masyarakat lokal untuk menangkap harimau yang telah berbuat salah. “Salah” dalam hal ini adalah melanggar sesuatu yang diyakini oleh masyarakat lokal kesepakatan antara harimau dan manusia pada masa lampau. Misalnya agar harimau tidak memakan manusia atau ternak milik penduduk. Jika itu dilakukan maka harimau itu harus ditangkap, bahkan dibunuh. Praktek marindu harimau dalam tradisi ini, lebih kepada usaha untuk membujuk harimau agar mengaku bersalah, dan menebus kesalahannya dengan masuki perangkap yang telah disediakan. Banyak proses yang dilakukan untuk membujuk itu, bahkan menelan anggaran yang besar. Bujukan tersebut disampaikan dengan syair yang sangat musikal dan khas, yang kemudian di sisi lain juga bisa kita lihat sebagai kesenian. Selain itu juga terdapat mantra-mantra yang memungkinkan harimau tersebut akan teraniaya jika tidak menyerahkan diri.
Dari gambaran praktek marindu harimau oleh Eka, sebenarnya kita terkesan dengan perlakuan spesial terhadap harimau tersebut. Terdapat adab-adab yang sangat dijunjung. Artinya manusia tidak ingin pula semena-mena untuk membunuh harimau. Tentu ini juga berkaitan dengan keyakinan masa lalu, yang memposisikan harimau cukup tinggi. Dan penangkapan harimau ini pun pada dasarnya dilakukan agar menjadi pelajaran pada harimau lain agar tidak lagi memangsa manusia dan ternaknya. Namun dalam konteks sekarang barang kali kita juga harus saling instropeksi. Pembukaan lahan besar-besaran untuk pertanian maupun perkebunan sawit, serta perburuan liar, sering kali membuat harimau terdesak dan balik memburu.
Penangkapan harimau ini, biasanya dipimpin oleh seorang yang disebut pawang atau dukun. Dari narasi yang didapatkan oleh Eka, tradisi Marindu Harimau ini terakhir kali dilakukan sekitar tahun 1990, setelah itu keluar hukum tentang pelestarian harimau, praktek tersebut tidak dilakukan lagi sampai sekarang. Kalau dahulunya harimau yang tertanggkap dibunuh, kemudia setelah adanya negara hukum, harimau yang tertangkap diserahkan pada polisi ataupun orang yang berwenang. Setelah keluarnya hukum dan undang-undang tentang pelestarian harimau, Ritual Marindu Harimau sudah mulai berkurang mungkin bisa dikatakan tidak ada lagi, karena orang yang melakukan praktek itu tidak mau mengambil resiko hukum. Namun menarik juga ketika Eka memaparkan pada kita beberapa lembar surat, semacam legitimasi dari kepolisian, untuk mengakui aktivitas pawang harimau tadi. Artinya lembaran-lembaran itu memberikan ia kekuatan hukum tersendiri.
Lalu, dari data yang dijabarkan Eka, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pada tanggal 8 Agustus 1862, Gubernur Jenderal Belanda menerapkan sistem bounty atau semacam sayembara untuk memburu dan membunuh harimau. Hal ini berbarengan dengan propoganda bahwa harimau adalah makhluk yang buas, hama, dan jahat. Hal ini bertentangan tradisi yang diyakini, yang sebelumnya sangat menghormati harimau. Seperti pendapat Albert yang kebutulan juga aktif meneliti sejarah dan lingkungan di Sumatera Barat, dalam beberapa praktek kolonial dalam menaklukan suatu masyarakat, memang sering kali Belanda menciptakan adu domba dari hal yang paling disegani masyarakat. Seperti mengajak masyarakat menaklukan harimau yang sebelum ini hubungan itu sanagat mereka jaga. Walaupun, barang kali harimau itu sendiri memiliki potensi nilai jual bagi mereka, seperti menjual kulit, dan organ lainnya. Tapi keuntungan besar mereka adalah mampu membuat masyarakat tunduk ada seruannya untuk melawan hal yang sebelumnya dihormati masyarakat. Di saat itu terjadi penurunan moral, dan yang terperdaya mulai bertuan pada uang.
Dari apa yang dijabarkan Eka dan yang kita diskusikan sore itu, sebenarnya menarik menyadari bagaimana tradisi itu hadir sebagai kebutuhan dari masyarakat lokal itu sendiri, di dalamnya terangkum refleksi nilai-nilai sosial, dan kearifan lokal. Bagaimana sebenarnya persoalan seperti perusakan lingkungan dan perburuan liar itu, sebelumnya dapat diatasi dengan cara-cara lokal.