Pelestarian Kesenian Tradisi Melalui Platform Multimedia
Kehadiran media dan segala perkembangan teknologinya, — tidak lupa segala kontroversinya – hampir tidak dapat kita tolak. Media dan teknologi hadir dengan cita-cita mulia: membebaskan manusia dari pekerjaan yang berat. Seiring dengan itu, media berkembang dengan segala kepentingan, baik itu untuk memenuhi keinginan pemilik modal besar, kekuasaan, maupun untuk tujuan awalnya yang mulia tadi. Tidak sedikit dari kita masyarakat dunia yang berhasil diatur untuk menjadi konsumen semata dan seterusnya merubah pola-pola kehidupan kita.
Di era milenial ini, kita kemudian dihadapkan pada kemungkinan baru yang barangkali tidak dibayangkan oleh nenek moyang kita sebelumnya. Setiap orang dengan perangkat media di tangannya, dapat memproduksi dan mendistribusikan informasi dengan bebas. Hal ini barang kali patut kita rayakan, ia menawarkan kesetaraan akses dan desentralisasi yang selama ini menjadi persoalan kita di ‘daerah’. Namun, faktanya kini kebebasan media ini perlu pula kita waspadai. Selama lebih dari 30 tahun Indonesia berada di bawah pemerintahan otoriter yang membatasi segala kebebasan, termasuk kebebasan bermedia. Selama tiga puluh tahun itu kita hanya dapat mengakses kebenaran tunggal. Lebih dari itu, kita tidak mendapat pendidikan media yang merata dan kesadaran-kesadaran untuk mengkritisi segala informasi yang kita terima.
Di era milenial, era kebanjiran informasi ini, Gubuak Kopi sebagai organisasi yang bekerja mengembangkan masyarakat berdaya melalui kegiatan-kegiatan berbasis media, dalam hal ini percaya bahwa media dengan kesadaran akan literasi media, sadar akan cara kerja media, serta potensi-potensinya, dapat menjadi counter atau alternatif pemanfaatan media. Mengingat media atau peragkatnya berada hampir di setiap genggaman masyarakat segala lapisan, adalah modal penting untuk terlibat dalam pembangunan kebudayaan. Media dalam arti seluas-luasnya, baik itu esensinya sebagai alat perantara pesan maupun dalam wujud perkembangan teknologi terkini.
Kehadiran teknologi-teknologi terkini sering kali dianggap sebagai musuh utama kebudayaan asli atau kebudayaan lokal. Kesadaran ini muncul di berbagai permbicaraan konservatif yang mewaspadai kehadiran teknologi yang berpotensi merenggut nilai kebudayaan asli. Lebih dari itu, konstruksi-konstruksi yang dibangun media arus utama, yang menampilkan kebudayaan-kebudayaan asing sebagai sesuatu yang unggul, berpotensi membuat generasi kita yang tidak sadar akan posisi kebudayaan lokal ini, beralih meninggalkan. Tapi, tidak sedikit pula ketidak- skeptisan pada pandangan konservasi membuat kita tertutup pada kemungkinan perkembangan terbaru dari nilai-nilai kebudayaan lokal. Berbagai upaya konservasi pun digencarkan oleh pemerintah ataupun swasta, namun sebagian besar prakteknya tidak lagi mencerminkan nilai-nilai kebudayaan lokal. Semisal melestarikan tradisi dengan praktek ‘merawat tubuh-tubuh yang antik’ untuk kepentingan pariwisata semata, yang kemudian bermuara pada kepentingan komersial. (baca juga: Pengantar: Merawat Tubuh Tradisi, 2016)
Pada kegiatan kali ini, Gubuak Kopi, melalui program Daur Subur, mengundang sejumlah pegiat seni, media, dan komunitas, serta individu dari beragam latar disiplin, untuk membaca posisi kesenian di Solok secara khusus dan Sumatera Barat umum, yang memiliki latar sejarah sebagai masyarakat pertanian, dan motif-motif pelestarian terkini beragam latar belakang. Nama kegiatan: “Lapuak-lapuak Dikajangi” dipenggal dari petitih adat di Minangkabau, yang bertaut dengan satu kalimat berupa: “usang-usang dipaharui, lapuak-lapuak dikajangi” dalam Bahasa Indonesia: yang telah usah diperbaharui, yang telah lapuk disokong kembali. Kemudian, dalam situasi yang sama biasanya muncul pula ungkapan “Adaik dipakai baru, baju dipakai usang” (adat terus digunakan menjadi baru, pakaian terus digunakan menjadi usang) serta “sakali aia gadang, sakali tapian baraliah…” (sekali air besar, saat itu tepian berubah) serta “walaupun baranjak, di lapiak nan sahalai juo” (walapun beranjak, masih di tikar yang sama). Dalam hal ini, ungkapan-ungkapan adat ini kita gunakan sebagai dalil untuk mengingatkan bahwa, masyarakat Minangkabau pada dasarnya sangat terbuka sekaligus selektif terhadap perubahan, selektif dalam kerangka untuk maju mengikuti perkembangan peradapan, dengan tetap sadar akan sejarah kebudayaan lokal. Serta merespon pandangan yang memisahkan adat dari kebudayaan yang sedang berlangsung. Lokakarya ini nantinya diharapkan dapat dipresentasikan dalam bentuk pameran multimedia, pemutaran film, dan produksi buku hasil pelatihan.
Albert Rahman Putra