Minggu, 18 Juni 2017 merupakan hari kesembilan kegiatan lokakarya Kultur Daur Subur berlangsung. Tidak jauh berbeda dengan beberapa hari sebelumnya, partisipan masih melanjutkan riset mereka memperdalam bingakain isu yang didapatnya di sekitaran Solok. Selain itu para partisipan kini melanjutkan tulisan dengan revisi yang intens bersama Albert Rahman Putra. Para partisipan selama kurang lebih 30 menit secara bergantian memperdalam isunya bersama Albert. Sementara yang revisi satu per satu, yang telah selesai atau belum mendapat giliran melanjutkan kegiatan di lapangannya untuk menambahkan data-data yang dibutuhkan.
Rizaldy Risky bersama Intan melakukan ‘sensus taman’ di sekitar Kelurahan Kampung Jawa atau biasa disebut Kampuang Jao. Mereka mengambil gambar taman-taman di rumah warga dan dasa wisma di RW 06, Kelurahan Kampung Jawa. Sementara melakukan sensus mereka mendapatkan banyak informasi menarik dari warga tentang cara-cara khusus mengelola tanaman rumahan. Sementara itu, di lain tempat Ogy melanjutkan pengamatannya di Taman Bidadari. Albert menyarankannya untuk berkali-kali datang ke sana, dan ngobrol dengan siapa saja yang ada di sana. Menurut Albert, hal ini penting untuk dilakukan agar kita dapat lebih ‘mengalami’ persoalan ketimbang hanya melihat persolan. Hal serupa juga disarankan untuk dilakukan oleh partisipan lainnya. Di lain tempat, Amathia Rizqy juga melakukan hal yang sama terkait isu di sungai Batang Binguang Kampuang Jao Bawah. Tak jauh dari sana, Joe Datuak melanjutkan mencari informasi tentang distiribusi pinang di Solok pada beberapa warga penjual pinang kering. Sementara itu, saya bersama Muhammad Risky mengunjungi rumah Bapak Elhaqki Effendi atau yang biasa disapa Pak El.
Pak El, adalah salah seroang pemateri kuliah kami di lokakarya ini. Selain ia telah mengalami banyak peristiwa terkait pertanian di Solok, ia juga masih menyimpan koleksi-koleksi arsip terkait aktivitas pertanian di Solok, semenjak Solok belum dimekarkan menjadi tiga kota/kabupaten. Arsip-arsip itu berupa foto-foto dan tulisan-tulisannya di beberapa media yang membahas tentang pertanian dan kehutanan. Beberapa koleksi arsipnya dipinjamkan untuk diteliti oleh Gubuak Kopi. Malam sebelumnya sebenarnya saya dan Risky sudah memulai pertemuan dengan beliau, tapi waktu rasanya begitu singkat sementara informasi yang kami butuhkan masih banyak.
Saya sendiri sehubung dengan Pak El dan terkait lokakarya ini, mencoba menggali kesadaran pengarsipan yang dilakukannya dan pandangan-pandangan terhadap kebijakan pertanian kala itu. Sementara itu Risky menemui Pak El sekaligus melangkapi misinya penulisnnya tentang Perkembangan Pertanian di Solok, serta kontra yang terjadi antara pengetahuan tani tradisional dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat modern. Selama dua jam kami menggali informas di kediaman Pak El, di Perumnas Koto Baru, Kabupaten Solok, lalu segera kembali ke Gubuak Kopi untuk berbuka bersama.
Adzan magrib pun berkumandang, partisipan maupun fasilitator berhenti sejenak untuk berbuka puasa. Setelah berbuka, Albert menyarankan teman-teman yang lain untuk membaca sebuah buku Robohnya Surau Kami, karya sastra A.A Navis. Menurut Albert buku ini menarik untuk dibaca dan dibahas oleh partisipan. Selain memang isu-isu yang dibahas tulisan itu cukup penting, bahasanya pun sangat bagus. Puitik, tidak meremehkan pembaca, atau mengedepankan kesetaraan bahasa. Baca berjamaah tersebut pun diikuti oleh Rizqy, Ogy, Risky Pakpol, Rani, Volta dan saya hingga kurang lebih satu jam. Setelah selasai membaca buku tersebut teman-teman partisipan maupun fasilitator berdiksusi santai. Setelah memahami beberapa hal yang menarik dari A.A Navis, para partisipan melanjutkan revisi tulisannya.