Sabtu, 17 Juni 2017 adalah hari kedelapan lokakarya “Kultur Daur Subur”. Sebelumnya kita telah mengumpulkan beberapa narasi yang berkembang di antara warga terkait lingkungan hidup dan pemanfaatan lahan pertanian di Solok. Sementara para partisipan terus memperdalam tulisannya, mereka juga diminta untuk mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan teknologi dan pengetahuan pertanian tradisional di Solok bersama para fasilitator. Data ini nantinya akan diarsipkan dan didokumentasikam secara kreatif, salah satunya dengan mentransfernya ke bentuk sketsa gambar.
Siang itu setelah diskusi singkat di Gubuak Kopi, semua partisipan termasuk fasilitator kembali berpencar ke lapangan mencari informasi yang mereka butuhkan. Joe Datuak bersama Amathia Rizqyani mencari isu terkait keberadaan pinang sebagai batas kepemilikan tanah, dan penyalahgunaan fungsi sungai sebagai tempat pembuangan limbah oleh masyarakat. Perjalanan mereka dimulai dari menyusuri sungai Batang Binguang hingga tembus ke Saok laweh. Sementara itu Rizki Rizaldi ditemani Ogy wisnu, Intan, Arif dan Volta melakukan ‘sensus taman’, yang dimulai dari jalan Yos Sudarso, terus ke Ampang Kualo, dan singgah ke rumah Pak Suardi, ketua RT1/RW6. Di rumah Pak RT, mereka berbincang-bincang mengenai pupuk komposter, hingga Pak Suardi membagikan bibit cabe kepada mereka.
Sebelumnya, kita juga mendapat beberapa gambaran tentang perkembangan alat pertanian tradisional dari Buya Khairani. Dan kali ini saya bersama Riski memulai perjalanan dari Kantor Gubuak kopi dan berencana berkunjung ke Galeri Kincie, atau studio lukis Uda Dayat di Koto Baru, Solok. Kami pun memulai perjalanan dari Kantor Gubuak kopi. Dalam perjalanan, saya dan Riski menyempatkan diri untuk mampir dan melihat hal-hal yang bersangkutan dengan tema pertanian tadi. Saat melintasi jalan Lubuk Sikarah, Solok kami singgah melihat proses mambangkik[1] padi ke dalam karung menuju heler[2]. Kebetulan saat itu angin berembus kencang menunjukan cuaca akan hujan. Sebelum hujan turun, padi harus cepat diangkut ke dalam heler. Jika terlambat dan terkena hujan, padi yang sudah seharian dijemur akan sia-sia dan tidak siap digiling ke dalam mesin huller. Padi yang terkena air akan berat dan mesin tidak dapat menggiling dan memisahkan sakam padi.
Setelah padi terkumpul, padi disalin menggunakan sekop yang terbuat dari besi ke dalam karung. Setelah karung penuh, karung diangkat menggunakan gerobak dan didorong menuju gudang heler. Beruntung hari itu kami diizinkan untuk mengambil beberapa gambar, kami pun menuju ke dalam bangunan heler, melihat dan medokumentasikan suasana di dalam bangunan. Di dalam bangunan, terlihat karung-karung padi yang telah terisi tersusun rapi, juga terdapat mesin penggiling padi, dan juga timbangan. Saat itu mesin penggiling padi sedang tidak bekerja, jadi saya belum dapat melihat langsung proses pemisahan/pengupasan padi dari sakam.
Setelah melihat dan mendokumentasikan bagaimana pengangkutan padi hingga ke dalam heler, kami pamit dan melanjutkan perjalanan kembali. Saat memasuki Nagari Koto Baru, Solok. tak jauh dari jembatan, ada beberapa karamba berderetan di sungai. Karamba adalah semacam kurungan ikan yang dibuat dari potongan bambu, yang disusun berupa kota panjang untuk beternak ikan. Setelah mengambil beberapa gambar, kami langsung menuju rumah Uda Dayat. Sesampai di sana, kami dipersilahkan masuk dan berbincang-bincang hangat dengannya. Sembari berbincang dan melihat-lihat karyanya kami menanyakan kincie kepadanya. Uda Dayat langsung merespon pertanyaan saya dan Riski. Kami pun diajak ke lokasi yang tidak jauh dari lokasi rumahnya. Setelah melewati beberapa kelok simpang, tibalah kami di sebuah rumah di mana lokasi kincir tersebut berada. Kami lumayan tersentak setiba di lokasi karena suasana dan kondisi di rumah tersebut sangat asri dan terkesan jarang digaduh. Di sana dia juga memiliki kebun yang ditanami cukup beragam tanaman.
Isi kebunnya antara lain, cangkeh, pohon coklat, pisang, pepaya, kedondong, durian dan bermacam-macam bibit menghasilkan lainnya. Setelah itu barulah Saya dan Riski diajak masuk ke dalam rumah tua di mana kincir tersebut terpasang. Sami terpukau membayangkan kecerdasan berpikir orang zaman dahulu, yang mampu menciptakan teknologi yang dapat mempermudah proses penumbukan padi maupun kopi dalam jumlah yang cukup banyak. Uda Dayat bilang, itu adalah peninggalan kakeknya. Ia menjelaskan pada kami cara pengoperasian alat tersebut. Kerjanya dimulai dari perputaran kincir yang memanfaatkan arus aliran air berasal dari saluran irigasi, yang sengaja diarahkan menuju kincir. Kincir berputar paralel atau terhubung dengan batang tonggak yang menjadi poros kincir. Di saat yang sama sambungan tuas, yang dikaitkan pada batang poros, berputar menggerakkan tujuh tuas Alu, yang menumbuk padi atau kopi di lasuang. Semuanya bekerja seperti gear-gear mesin. Lalu, kopi atau padi hasil dari tumbukan, diambil dan dipindahkan ke alat pengipas, sementara kipas ini masih sambungan dari putaran kincie. Fungsi kipas ini adalah untuk memisahkan kopi atau padi dari sakam-nya. Begitulah proses penggilingan berjalan. Namun kini, kincie milik kakek Uda Dayat tersebut berfungsi lagi, ada beberapa bagian yang sudah rusak. Selain itu, saluran irigasi sudah tidak berair lagi karena sudah dialihkan lagsung ke sawah atau parit.
Setelah mengabadikan beberapa foto, dan berjalan-jalan mengitari sawah dan rumah kincie, kami pun pamit kepada Uda Dayat. Pada saat perjalan pulang saya dan riski kembali melihat sebuah kincir kecil dan unik, disebuah rumah warga. Kincir mini ini pun tidak bergerak lagi. Setelah mengambil beberapa foto, saya dan Riski kembali ke Kantor Gubak Kopi.
_____________________
[1] Mambangkik atau dalam Bahasa Indonesia bisa diidentikan dengan kata membangkit, dalam hal ini adalah proses pembangkitan padi yang sudah dijemur untuk dilanjutkan pada prosespenggilingan.
[2] Heler, adalah istilah yang dipakai oleh warga lokal di Solok, menyebut tempat pengolahan padi. Istilah heler diambil dari kata Huller, nama alat atau mesin penggilingan padi.
Wahh mantaapp,, Sukses terus yaa..