Catatan observasi hari pertama di Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Observasi ini adalah bagian dari kegiatan lokakarya Kultur Daur Subur yang diselenggarakan Gubuak Kopi, pada tanggal 10-20 Juni 2017. Catatan ini ditulis oleh partisipan lokakarya.
Siang ini, Minggu 11 Juni 2017, merupakan hari observasi lapangan pertama terkait Lokakarya “Kultur, Daur, Subur” di Gubuak Kopi. Perjalanan saya awali dengan berjalan kaki bersama kawan-kawan partisipan lainnya, dari kantor Gubuak Kopi menuju rumah Buk Ami yang merupakan salah seorang pegiat Dasawisma di Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Rumahnya cukup asri, sejuk, dan nyaman. Pekarangannya dipenuhi berbagai jenis tumbuhan seperti: bunga hias, tanaman buah, sayur-sayuran, bumbu masak dan lain sebagainya.
Di rumah tersebut Buk Ami tinggal dengan suaminya yang lebih akrab dipanggil Pak De. Mereka cukup ramah menyambut kedatangan tamu, apalagi generasi muda yang tertarik dengan hal-hal yang antik dan seni. Sesampai di sana, kami langsung ditawarkan untuk memasuki rumah beliau. Di sana juga terdapat satu unit vespa antik. Buk Ami pun memanggil suaminya di kamar, si bapak pun keluar dan langsung membuka pembicaraan terkait Vespa antik-antik yang akan dijualnya.
Cukup lama bercakap-cakap dengan keluarga tersebut, kami pun berpamitan untuk melanjutkan observasi ke lokasi lain, sembari kawan-kawan lain juga masih memotret beberapa jenis bunga yang ada di pekarangan rumah Ami. Baru saja akan beranjak dari rumah keluarga Buk Ami, seorang warga di depan rumahnya terlihat sedang menjamur “Pinang Belah” di pekarangan. Rumah tersebut ditinggali oleh keluarga Buk Ida. Sebuah rumah sederhana, dengan halaman tak terlalu luas, di sanalah pinang belah tersebut dijemur dengan jumlah yang tak begitu banyak. Kebetulan Buk Ida terlihat sedang bersantai di depan rumahnya, kami pun menghampiri beliau sekaligus mendokumentasikan jemuran pinang.
Pembahasan dimulai dari harga pinang. Harga pinang belah kering perkilonya berkisar Rp.14.000,- s/d Rp.15.000-. dengan jumlah yang terlihat mungkin tak begitu banyak yang akan dijual nantinya. Tapi keterangan tersebut tak sebatas itu, ternyata di dalam rumahnya masih ada pinang yang sudah kering, baru dibelah, dan yang akan dipisahkan dari cangkangnya dengan jumlah yang lumayan banyak. Dalam cuaca yang lumayan terik siang itu, pembicaraan terus berlanjut pada status kepemilikan pinang. Buk Ida menyebutkan bahwa, pinang yang dia jemur tersebut didapat dari salah seorang saudaranya. Saudaranya tersebut bekerja sebagai pengumpul pinang dari kampung-kampung dan dijadikan bisnis jual beli. Meskipun pinang yang dicarinya pinang buat juice (pinang muda), pinang yang sudah tua ataupun ‘pinang masak’ tetap dikumpulkan dan selanjutnya diberikan kepada Buk Ida. Tentunya tidak sebatas diberikan secara gratis saja, Buk Ida harus membeli ‘pinang utuh’ (pinang yang masih utuh/belum dibelah) tersebut seharga Rp.5000,- s/d Rp.7.000,-. Setelah pinang utuh tersebut dibeli, Buk Ida akan mengolahnya, yakni dengan mengupas lalu menjemur pinang tersebut. Lalu pinang tersebut dijual sebagai ‘pinang belah kering’ kepada toke (tauke).
Di rumah Buk Ida, terlihat tumpukan limbah pinang yang diolah tadi berupa kulit dan cangkangnya. Lalu saya pun menanyakan kemana akan dibuang limbah pinang nantinya?, apakan akan diolah kembali menjadi sesuatu yang bermanfaat atau hal lain? Tapi ternyata tidak demikian, dengan lugas Buk Ida, menjawab bahwa limbah ini dibuang begitu saja ke sungai. Kalau dikelola kembali, butuh waktu yang lama untuk pengeringan, kecuali sudah ada wadah semacam pabrik pengolahan, yang kabarnya juga bisa dijadikan diolah menjadi bahan pembuatan permen karet. Kalau ada, bisa jadi limbah ini kami bawa kesana, kata Buk Ida. Puas tak puas mendengar jawaban tersebut, kami sengaja meninggalkan lokasi untuk melanjutkan observasi ke tempat lain berharap waktu selanjutnya akan mengupas isu tersebut lebih dalam melalui lokakarya yang sedang dijalani.
Sepanjang perjalanan ke lokasi lain, jawaban tadi masih menjadi pusaran air yang memutar roda pemikiran saya. Pengalaman tadi memancing ribuan keabsahan data, dan alasan-alasan yang jelas untuk saya ajukan sebagai materi tulisan lokakarya. Tanpa disadari, saya dan kawan-kawan partisipan lain sudah sampai di sebuah sekolah yang cukup asri dan mungkin satu-satunya sekolah yang paling hijau diantara sekolah-sekolah lain. Di depan sekolah tersebut berdiri sebuah plang dengan ejaan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 07 Kampung Jawa, Kota Solok. Banyaknya jenis tanaman, buah-buahan, bunga-bunga baik yang menjalar maupun yang tumbuh mengelilingi pekarangan sekolah tersebut. Menyaksikan keadaan tersebut, kami berinisiatif untuk melihat lebih dekat, masuk ke dalam pekarangan sekolah untuk sekedar pengambilan gambar, video kebutuhan vlog, melihat jenis-jenis tanaman yang ada di dalamnya. Fasilitator kami pun memintai izin pada penjaga sekolah memasuki pekarangan.
Pembahasan sekolah hijau ini mungkin tidak akan diperpanjang, karena saya masih penasaran dengan kejadian sebelumnya terkait limbah pinang yang dibuang ke sungai. Perjalan dilanjutkan mengitari RT terdekat dari Kantor Gubuak Kopi. Panas terik matahari cukup menyengat siang itu, kami pun sering berhenti untuk sekedar melepas lelah di sebuah jembatan. Jembatan tersebut dialiri sungai yang airnya tak terlalu jernih, tapi masih ada bayang-bayang air berlumpur, hal itu bisa saja terjadi karena sungai tersebut bersebelahan dengan area persawahan. Teringat kembali perkataan dari Buk Ida yang katanya membuang limbah pinang di sungai. Sungai ini adalah sungai yang terdekat dari tempat tinggal Buk Ida. Tidak ada terlihat bekas limbah pinang, yang ada hanya sampah-sampah plastik yang hanyut maupun tersangkut. Limbah pinang tersebut barang kali tenggelam di aliran sungai yang tidak terlalu deras ini.
Perjalanan kembali dilanjutkan, sembari berjalan, kami berhenti di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 13 Kampung Jawa, Kota Solok. Halaman sekolah tersebut juga tak terlalu luas, tapi yang menarik dari pekarangan itu adalah adanya warga lainnya yang memanfaatkan sebagai tempat menjemur pinang. Di sana sudah disisihkan, pinang yang sudah dipisahkan dari cangkangnya, yang sudah mengelupas, dan yang masih belum bisa dicongkel.
Saya sempat menanyakan kepada orang sekitar lokasi tersebut siapa pemilik jemuran itu. Kebetulan sekali salah seorang sedang membawa gerobak yang berisikan sampah limbah pinang, bercampur dengan sampah rumah tangga. Sempat bergurau saat bertemu dengan pemuda tersebut.
“Banyak ko da?” (banyak ya, Uda?), tanya saya.
“lai saroknyo” (ya, sampahnya), jawabnya lugas.
Pemuda ini terus berjalan menuju sungai yang tidak jauh dari sini. Barang kali dia juga membuangnya ke sungai. Tak lama berselang, dia pun kembali menderek gerobak yang sudah kosong, dan tak sempat berbincang panjang lebar, sepertinya uda ini sibuk sekali. Saya rasa kegiatan yang dilakukan penjemur pinang ini, sama halnya dengan yang kami temukan sebelumnya.
Dari pengalaman di atas, memang sungai menjadi alternatif ke dua tempat membuang sampah, baik limbah perkebunan ataupun sampah rumah tangga. Selain itu, sepanjang perjalanan saya hanya melihat cuma dua orang itu saja yang berkegiatan menjemur pinang. Dari kedua lokasi penjemur pinang ini, memang tidak ada terlihat batang pinang yang siap untuk dipanen atau pun pasca panen. Meskipun terdapat beberapa pohon pinang, tapi itu tidak di halaman rumah mereka. Hal itu menurut saya ada hubungannya dengan keterbatasan lahan, ataupun kekurangan minat warga untuk berkegiatan seperti yang dilakukan dua orang ini. Tak bisa dipungkiri karena kegiatan ini cukup memakan waktu untuk mendapatkan keuntungannya.