Catatan observasi hari pertama di Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Observasi ini adalah bagian dari kegiatan lokakarya Kultur Daur Subur yang diselenggarakan Gubuak Kopi, pada tanggal 10-20 Juni 2017. Catatan ini ditulis oleh partisipan lokakarya.
Sore lalu, Minggu (11/06/2017) saya bersama teman-teman partisipan lokakarya literasi media di Gubuak Kopi, dan didampingi fasilitator, kami berkeliling melakukan observasi. Kegiatan ini kami laksanakan di sekitaran kantor Gubuak Kopi, yakni Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok, atau yang biasa saya sebut dengan Kampuang Jao. Kami berkeliling untuk melihat dan mencari isu yang berhubungan dengan tema lokakarya, yaitu “Kultur Daur Subur”.
Tema lokakarya ini sangat berhubungan dengan fakta-fakta di lapangan yang saya temukan dalam observasi tadi siang. Kultur sendiri adalah budaya, sedangkan daur adalah bentuk pemanfaatan dari lingkungan atau benda yang ada di sekitar untuk di-recycle atau diperbaharui, sehingga memiliki manfaat lain bahkan bernilai jual. Subur dalam hal ini, sesederhana melihat apa yang ditanam dan kemudian tumbuh dengan baik. Jadi saya menarik kesimpulan bahwa ‘Kultur Daur Subur’ itu sendiri adalah sikap yang mencerminkan tindakan manusia dalam mengolah, memanfaatkan unsur-unsur yang ada di sekitar kita dengan tujuan bertahan hidup dengan tetap memperhatikan keberlangsungan dan kelestarian lingkungan.
Perjalanan saya dan kawan-kawan partisipan diawali dengan menuju rumah Bu Ami, atau yang biasa dipanggil Ami. Rumah Ami ini tidak jauh dari kantor Gubuak Kopi, rumahnya sangat asri dan ditanami berbagai jenis bunga. Selepas melihat-lihat rumah Ami, kami mampir ke seberang rumahnya. Di sana kami bertemu Uni Ida yang tengah menjemur pinang di halaman rumahnya. Selepas dari dua tempat ini, kami melangkah menuju Sekolah Dasar Negeri (SDN) 07 Kampung Jawa. Di sekolah ini, saya menemukan sebuah taman yang bagus. Saya dan kawan-kawan memutuskan untuk masuk ke halaman sekolah tersebut kami ingin memotret dan melihat taman ini lebih dekat. Di bagian depan juga ada taman-taman yang ditata mengelilingi sekolah. Ada juga kandang burung merpati yang bertuliskan “house of bird”.
Di sekolah ini terlihat sekali bahwa peserta didik diajarkan untuk mencintai lingkungan dan bercocok tanam sedari dini. Hal menarik lainnya adalah sepetak ‘sawah mini’ yang terdapat di sudut kiri halaman depan sekolah. Sawah yang saya maksud berukuran sekitar 1 x 0.5 meter atau seluas meja ibu guru di kelas. Sekolah tersebut juga sangat tertata dengan elok dan rapi. Bunga dengan beragam jenis dan warna berjejer di sepanjang teras kelas, ada pula yang digantung di bibir atap, semua bunga disusun tanpa mengganggu jalan dan arena bermain.
Seusai kami melihat, memotret, dan membuat vlog, kami melanjutkan kegiatan observasi menuju jembatan Kampung Jao. Tapi sebelum sampai di jembatan, ada hal lain yang membuat saya tertarik. Hal tersebut adalah rel kereta api Solok-Padang Panjang yang telah beralih fungsi. Seperti yang kita ketahui bahwa rel kereta api berfungsi sebagai jalur khusus kereta api. Namun yang saya lihat, rel dijadikan sebagai tempat berdagang, bahkan sudah ada lapak semi permanen yang berdiri tepat di perempatan jalan menuju SDN 07 Kampung Jawa atau yang lebih dikenal dengan nama Simpang Kamboja.
“Aneh!” adalah kata pertama yang terbersit di otak saya. Kenapa? kok bisa? Entah orang yang membangun tidak tahu fungsi rel kereta api itu sendiri atau mungkin ada alasan lain.
Memang benar saat ini kereta api tujuan Solok – Padang Panjang sedang tidak berjalan, namun bukan berarti rel-rel itu tidak akan dipakai lagi. Rel kerta api berada di bawah kepimilikan PT. Kereta Api Indonesia (KAI). Sepengetahuan saya, yang pernah disampaikan oleh Ayah, bahwa batasan dari rel kereta api minimal 11 meter baru boleh mendirikan bangunan. Hal ini sesuai dengan undang-undang nomor 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian tertulis bahwa jarak antara bangunan dengan bangunan minimal 6-20 meter. Ditambah lagi dengan pedoman perlintasan jalan dengan jalur kereta api yang diterbitkan Dirjen Prasarana Wilayah, disebutkan bahwa ruang bebas samping harus berjarak lebih dari 5 meter. Artinya bangunan harus berjarak minimal 11 meter dari as rel. Sesuai dengan undang-undang nomor 23 tadi, dalam pasal 181 disebutkan bahwa sepanjang 6 meter jarak dari as rel kereta api harus steril dari kegiatan apapun. Sementara untuk pendirian bangunan harus 11 meter dari sisi kanan-kiri as rel. Apabila dilanggar, maka akan dikenakan denda sebesar Rp15 juta rupiah atau kurungan penjara selama 3 bulan.
Pendirian bangunan di rel kereta ini tidak terjadi di Kampuang Jao saja, hal ini tampaknya juga terjadi di beberapa kota di Indonesia. Jalur rel di tepian Danau Singkarak, bahkan sudah ada yang diberikan peringatan oleh PT.KAI untuk segera dibongkar. Tapi fenomena ini munkin tidak sepenuhnya kesalahan warga, karena kita tahu beberapa tahun belakangan rel kereta api tujuan Solok-Padang Panjang tidak difungsikan. Apa yang dilakukan warga barang kali hanyalah inisiatif untuk memanfaatkan ruang yang ada. Beberapa warga juga memanfaatkannya sebagai tempat bercocok tanam. Ya, walaupun hal-hal seperti ini sering kali berpotensi menimbulkan konfik. Selain masalah pemanfaatan rel kereta api tadi, ada hal lain lagi yang juga tidak bisa disepelekan.
Sesampai di jembatan, saya melihat banyak sampah yang tersangkut dan hanyut di sungai kecil itu. Sampah ini adalah hasil dari kegiatan pembuangan sampah dan limbah rumah tangga ke sungai oleh beberapa warga. Seperti sudah diatur dalam Perda bahwa ada larangan membuang sampah ke sungai. Hal ini juga tercantum dalam sebuah plang yang berdiri di dekat jembatan Lapangan Merdeka kota solok. Di plang yang sudah terlihat usang itu tertulis “Dilarang membuang sampah ke sungai”. Plang itu terlihat tidak bagus lagi, beberapa hurufnya sudah rusak. Di bawahnya tercantum Perda Kota Solok Nomor 9 tahun 198(x), angka terakhir dari tahun itu tidak terlihat jelas karena tertutup oleh stiker. Namun yang membuat saya sedih sebenarnya, adalah kenyataan beberapa masyarakat di sekitaran aliran sungai Batang Binguang tampaknya sudah terbiasa dengan “kebiasaan” tersebut. Sauatu kali kami bertemu salah seorang warga disekitar sana yang mengatakan bahwa limbah bekas kupasan pinangnya selalu dibuang saja ke sungai.
“saroknyo dicampak an se ka tang ayia… kok dibaka lamo lo, dinantian lo sampai kariang lu baru dibaka”(sampahnya dibuang ke sungai saja… lama kalo dibakar, harus ditunggu hingga kering dulu baru bisa di bakar) tutupnya.
Sore itu kami kembali ke kantor Gubuak Kopi. Demikian masalah yang saya temukan di hari pertama observasi. Masalah ini saya bawa pulang untuk didiskusikan bersama teman-teman dalam Lokakarya Kultur Daur Subur.