Dalam perhelatan “Moods of May”, Komunitas Gubuak Kopi mengundang Fadlan Fahrozi, salah seorang kurator muda Padang, untuk mengkurasi pameran seni rupa yang beraitan dengan isu buruh. Berikut pengantar dari kurator, silahkan dibaca:
Pengantar Kurator: Pameran “Moods of May”*
MERENUNGKAN JEJAK KAPITALISME**
Oleh: Fadlan Fahrozi***
Asalamualaikum Wr.wb
Semangat budaya!
Penetapan 1 Mei sebagai hari buruh dunia diawali dengan berbagai rentetan aksi perjuangan kelas pekerja di dunia sebagai bentuk pemberontakan terhadap kapitalisme industri yang mewarnai kondisi ekonomi-politik pada awal abad ke-19. Perjuangan kelas pekerja yang pertama dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1806 oleh pekerja Cordwainers yang melakukan mogok kerja untuk menuntut penurunan jam kerja. Aksi perjuangan hak buruh selanjutnya dilakukan di berbagai belahan dunia (yang dipelopori oleh Peter Mc Guire dan Matthew Maguire) dengan gerakan-gerakan terorganisir, yang pada intinya menuntut kenaikan upah dan penurunan jam kerja. Pada tahun 1886, Federation of Organized Trades and Labor Unions menetapkan 1 Mei sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia. Tanggal 1 Mei dipilih karena terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872, yang menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat. Selain untuk memberikan momen tuntutan delapan jam sehari, peringatan ini juga memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara sederhana buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Pada dasarnya Buruh, pekerja, worker, laborer, tenaga kerja atau karyawan adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk bekerja, tetapi di Indonesia kultur buruh lebih identik dengan pekerja kelas bawah atau orang rendahan yang sering mendapatkan upah yang kecil, penindasan, dan perlakuan yang tidak senonoh dari majikan atau tempat dia bekerja, sehingga pelanggaran-pelanggaran seperti ini yang banyak mendapatkan kecaman dan aksi protes dari berbagai pihak.
Perayaan hari buruh di Indonesia sering diwarnai dengan orasi dan aksi turun ke jalan, hal ini bertujuan untuk menuntut hak buruh kepada kaum-kaum kapitalisme yang dengan senantiasa menindas hak-hak tersebut. Menilik pada sejarah buruh di Indonesia, perlawanan seperti ini telah dimulai sejak zaman kolonial oleh kaum tani yang menentang penindasan VOC. Permasalahan perburuhan merupakan masalah klasik yang tak kunjung usai dari dahulu hingga sekarang, bahkan di setiap perayaannya selalu diwarnai dengan aksi yang sama. Pertentangan yang terjadi seolah-olah tidak pernah menemui titik temu dan selalu dihiasi oleh jurang pemisah bahkan berujung pada situasi-situasi hukum, dimana kaum buruh selalu dirugikan oleh kepentingan-kepentingan kapitalisme.
Menjamurnya kaum-kaum kapitalisme di Indonesia semakin menambah daftar buruk tentang nasib buruh, dampak sosial, lingkungan, budaya, pendidikan dan situasi politik di negri ini, hal ini dipengaruhi dengan masuknya modal-modal asing yang mengakibatkan kesenjangan antara masyarakat yang memiliki modal dengan yang tidak memiliki modal kemudian pada kenyataanya kita selalu terjajah dengan produk – produk asing yang sangat berkembang pesat di negri ini, selain itu hal yang harus kita renungkan yaitu: nasib rakyat kita selalu diperbudak di negrinya sendiri karena sebahagian besar masyarakat Indonesia adalah golongan pekerja yang bekerja untuk industri asing, lokal dan lembaga-lembaga kepemerintahan lainnya. Memang tidak bisa dipungkiri di satu sisi kapitalisme telah membawa Indonesia menjadi negara yang lebih berkembang, namun di sisi lainnya, kapitalisme dapat membuat orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga hal inilah yang selalu memberi dampak buruk bagi kehidupan buruh di Indonesia, Selain itu juga berdampak pada pengikisan nilai-nilai budaya yang ada seperti: melemahnya sistem adat istiadat dan tatanan sosial yang berkembang di masyarakat.
Minangkabau merupakan salah satu dari sebahagian banyak daerah di Indonesia yang merasakan dampak negatif dari pengaruh kapitalisme yang masuk, pengikisan nilai-nilai adat dan pergeseran nilai-nilai social membuat daerah yang dulunya memegang keras “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai” (adat bersendi agama, agama bersendi kepada kitab ALLAH SWT / al-quran, agama memberitahukan adat menjalankan) sekarang sedang berada pada nasib yang memperihatinkan, hukum-hukum adat yang dulunya sangat dipatuhi oleh masyarakatnya sekarang mulai ditinggalkan satu per satu, gadis – gadis Minang yang dahulunya calon bundo kanduang hiasan rumah gadang sekarang lebih memilih “keluyuran gak karuan”, seorang mamak yang dahulunya menjaga dan membimbing anak kemenakanya sekarang sibuk dengan urusan menambah kekayaan bahkan ada di antaranya menjual harta warisan kaumnya, ini tentunya bahagian kecil dari dampak yang ditimbulkan dari pengaruh kapitalisme yang masuk. Maka dengan momentum perayaan hari buruh sedunia mari kita tingkatkan kesadaran dan perenungan kita terhadap pengaruh kapitalisme yang masuk di derah kita dan semua perenungan itu kita curahkan pada event pameran “MOODS OF MAY ” yang mengungkap nasib buruh dan pergeseran nilai-nilai adat yang sudah berabad-abad tahun yang silam diwarisi oleh leluhur kita. Semoga dengan merenungkan hal tersebut dapat meningkatkan kesadaran tentang nasib bangsa dan betapa pentingnya nilai sebuah kebudayan sampai akhirnya kita siap menyambut perdagangan bebas yang sebentar lagi berada di depan kita.
*Moods of May: adalah rangkaian pageralan seni dalam memperingati hari buruh dunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei. Pagelaran ini diadakan pada tanggal 05 -07 Mei 2016, dan terdiri dari pameran seni rupa, penayangan film, dan pertunjukan seni. Dalam agenda ini Komunitas Gubuak Kopi mengajak warga: pemuda, seniman, buruh, dan semua kalangan untuk membaca serta memberikan pandangannya mengenai situasi buruh di sekitar kita, khusunya Sumatra Barat, dalam seni sebagai media.
**Artikel ini diperuntukan sebagai pengantar kurasi pameran Moods of May
*** Fadlan Fahrozi seorang anak laki-laki yang berasal dari sebuah nagari di Sumatera Barat yang bernama Padang Sibusuk pada tanggal 28 November tahun 1990. Fadlan merupakan sebuah nama yang diberikan oleh seorang guru besar sekolah PGA di nagari tersebut, dengan harapan esok hari kelak dapat “menjadi orang yang diutamakan” seperti arti nama itu (dalam bahasa arab). Sejak duduk di bangku sekolah Fadlan aktif dalam organisasi sekolah dan keaktifan tersebut dilanjutkan pada jenjang perkuliahan dalam bidang seni dan budaya. Semasa kuliah sampai sekarang telah menyelenggarakan dan mengkuratori beberapa event pameran: Ruang Kecil = Kecil, Pameran Sketsa, Unlimited Freedom, Lomba Mengambar Kota Tua Padang, Pameran Seni Grafis ‘Kembali Mencetak’, Festifal Seni Rupa 2013, Gebyar UNP, Bulan Seni Komunitas Seni Belanak, Drawing Room, Ruang Fine Art dan Villa A.
****dipublis oleh Komunitas Gubuak Kopi, 2016.