*Artikel ini diperuntukkan sebagai pengantar Pagelaran Seni Moods of May selaku Ketua Komunitas Gubuak Kopi,serta pengantar diskusi seni Kelas Warga.
Di sebuah pertualangan, di tengah rimba raya, saya ingat seorang teman yang bertanya heran, “kenapa tiba-tiba rimba ini menjadi diam?” seorang teman lainnya yang baru saja sadar, meloncat dan melihat sekitar. “predator”, begitu tegasnya, tak lama seekor ular besar lewat. Ia terus melintas dihadapan kami dengan seekor tikus besar di mulutnya, pergi, dan menghilang. Rimba kembali bernyanyi. Pengalaman ini mengingatkan saya pada narasi mengenai Orde Baru, ketika kemegahan pembangungan, sepinya hiruk-pikuk rakyat kecil, ataupun kestabilan sebuah Negara bersemi karena mereka yang kecil ketakutan. Mungkin banyak sebab, tekanan, tidak ada suara, takut atau merasa percuma berteriak. Awalnya, saya tidak tahu persis apa yang terjadi pada rezim itu, saya belum terlalu dewasa untuk memahami apa yang yang tertulis “di buku sejarah sekolahan”. Belakangan baru saya menemukan banyak literature mengenai itu. Laporan KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) setidaknya menyebutkan Soeharto bertanggung jawab atas pembunuhan masal (1965), penggusuraan, manipulasi sejarah, pembredelan media, korup, dan banyak lainnya. Sebuah kekuatan besar, yang membuat takut banyak orang untuk menolak, demikian saya memahaminya.***
Komunitas Gubuak Kopi, sebagai salah kelompok studi yang berfokus pada pengembangan pengetahuan/literasi seni dan media, berupaya mendekatkan seni pada setiap kalangan masyarakat. Melebur batas-batas konvensional yang membuat seni terpisah dari masyarakat atau komunitas lain di sekitarnya, di Sumatra Barat, khusunya Solok. Hal tersebut telah diaktualkan sejak tahun 2011, dengan menghadirkan beragam praktek berkesenian yang terbuka untuk setiap lapisan masyarakat, bahkan melibatkan masyarakat itu sendiri. Seni, kita perkenalkan ‘tidak mentok’ untuk dikonsumsi orangorang sekolah seni, ataupun kritikus saja, melainkan juga milik warga. Seni, kita perkenalkan sebagai media bagi mereka yang tidak memiliki akses atau kecewa terhadap praktek ‘media massa’ – yang banyak diantaranya fokus menyuarakan kepentingan pemilik modal.
Pada tahun 2016 ini, adalah kali pertama Komunitas Gubuak Kopi, mengagendakan pagelaran seni peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh pada tanggal 01 Mei. Kita tidak mengenyamping: seniman ataupun intelektual telah mendefenisikan seni dalam banyak pemahaman; ada yang menyebutnya sebagai hiburan, misi kebudayaan untuk kunjungan luar negeri, misi menyambut tamu, produksi layak jual, dan sebagainya. Setidaknya pemahaman tersebut telah cukup berkembang di Kota Solok. Agenda kali ini merupakan bagian dari “kelas warga” program yang diracang oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam distibusi pengetahuan seni dan media. Kali ini kita berada dalam PR (pekerjaan rumah) memperkenalkan bahwa seni sejak tempo yang lama sekalipun telah bergelut banyak di wilayah aktivisme, artinya ia begitu dekat dengan masyarakat dan sekelumit persoalan di sekitarnya, menawarkan pertanyaan – pertanyaan baru, pertanyaan bersama, ataupun sebuah jawaban. Selain itu agenda ini juga hadir mengingat minimnya praktek berkesenian yang bergaul di kalangan ini. Pernah sebuah pemberitaan media local, menyebut dua orang pegawai perusahaan rokok di Padang mendirikan sebuah organisasi semacam organisasi kesejahteraan pekerja. Tak lama setelah itu, dua pekerja ini di PHK. Tapi tidak ada pemberitaan dan mendalam mengenai kasus seperti ini. Berita lainnya soal buruh yang pergi jalan santai setiap perayaan 01 Mei, makan bersama gubernur, dsbg. Kita juga tidak ingin terlibat dalam konstruksi bahwa “buruh identik dengan demonstrasi, penolakan, penuntutan, dan pembangkangan” seperti yang banyak muncul di media nasional. Dan tentu kita juga tidak ingin konstuksi ini menjadi “misteri”.
Kita tidak tahu persis, minimnya pembicaraan serta pemberitaan media mengenai buruh di Sumatra Barat adalah petanda sesuatu yang baik-baik saja, buasnya predator, keterbatasan dalam beraspirasi, buruh yang tak kenal haknya, atau seniman yang tidak peduli, atau hal lainnya. Kali ini, masyarakatlah yang akan menjawabnya. Kita mengajak warga, termasuk seniman, sastrawan, aktivis, dan buruh itu sendiri untuk mengumpulkan karya mereka, sebagai “pembacaan” yang umum bahkan intim atas situasi buruh di sekitar mereka.
***
1947 di Indonesia waktu itu berdiri SOBSI: Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia. Sebuah federasi serikat buruh pertama yang berdiri di Indonesia. Organisasi ini juga merupakan gerakan yang berperan penting dalam perjuangan mempertahankan republik baru Indonesia. Menyerukan pekerja untuk bersatu dan berjuang untuk menciptakan sebuah masyarakat yang sosialis. Buruh dan kebutuhan Kemerdekaan Indonesia yang mendesak adalah sebuah tanda seru besar tentang siapa yang kita lawan, pada siapa kemerdekaan berpihak. Organiasi ini kemudian pada masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto, dianggap sebagai organisasi “sayap kiri” atau organisasi terlarang, karena di dalamnya turut terlibat Partai Komunis Indonesia; merupakan partai yang berkembang pesat dikalangan buruh Indonesia era pemerintahan Soekarno. Orde Baru, yang juga saya kenal sebagai diproduksinya buku sejarah, yang dikonsumsi generasi saya di sekolah. Buku sejarah yang dipenuhi dengan aksi-aksi heroik militer kala itu dan citra buruk ‘gerakan sayap kiri’.
Salam warga, salam budaya, salam Solok Milik Warga!
Albert Rahman Putra, 2016
(Ketua Komunitas Gubuak Kopi)
_________________________________________
*artikel ini merupakan pengantar kegiatan “Moods of May” dari Ketua Komunitas Gubuak Kopi dan sebagai bahan pengantar dalam Kelas Warga: “Diskusi Seni Moods of May” pada 06 Mei 2016 di Gallery Gubuakkopi