I – Pak Mali
Di sebuah sisi danau seekor bangau terbang tanpa koloninya. Sepertinya dia tengah tersesat. Danau diselimuti kabut, seberang tak tampak. Tapi seskali hembusan angin menyibak, orang-orang diseberang sepertinya baru saja panen dan membakar tumpukan jerami mereka. Di dekat saya, sorang wanita terlihat anggun dengan sapu lidinya yang seakan tengah mendayung tanpa sampan. Dia dia tidak sedang berandai-andai mendayung sampan, apa lagi memparodikan cerita nenek sihir yang terbang dengan sapu lidinya. Perempuan ini tengah menyapu sampah yang melayang-layang di perukaan danau Singkarak.
Tak jauh dari tempat perempuan ini menyapu seorang Nenek dan cucunya, Rafael, tengah asiknya mandi. Si balita itu tidak hentinya tertawa ketika si nenek menggeleng-geleng sambil menggosok tubuh si balita ini dengan sabun. Ibu Neni, nama nenek itu, dan perempuan yang tengah menyapu adalah anak sulungnya Nova, ibunda dari Rafael. Saya menyaksikan adegan ini dari sebuah warung bersama Pak Mali, suami ibu Neni, kakek Rafael. Warung ini berada di bibir danau, menghadap ke jalan, membelakangi danau.Warung ini memang tidak seperti banyak warung/kedai/resto lainnya yang juga berdiri di bibir danau. Biasanya resto sedikit menjorok ke danau, memiliki kaki-kaki tembok yang kurus dan tertancap di danau. yang seakan muncul dari dasar danau menompang bangunan rumah di atasnya. Sedangkan warung Pak Mali, disusun dari puluhan potongan kayu dan bambu. Bagian atasnya ditutupi terpal dan beberapa baliho/poster iklan. Seperti banyak warung dadakan lainnya yang muncul 2 hari sebelum lebaran atau tahun baru.
Warung ini berdiri di trotoar jalan, lebarnya hampir seluruh trotoar jalan. Kira-kira 3 meter dan memliki panjang sekitar 8 meter. Warung itu seakan disandarkan pada sebatang pohon besar. Sedangkan di salah satu sisi dapurnya, sisi paling ujung bangunan ini, terdapat sebuah dinding, tembok. Dinding itu adalah sebuah bak persegi yang dulunya adalah bak sampah. Bak itu sudah ada sekitar satu tahun sebelum warung ini dibangun. Tong sampah ini sebenarnya adalah bagian dari komitmen Pemprov. Sumatera Barat melalui Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) dalam rangka pemulihan Singkarak yang baru dicanangkan pada tahun 2012. Disalah satu media Nasional disebutkan Bapedalda berupaya meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat sekitar danau dengan menerapkan sistim pendampingan pada setiap agenda pengelolaan lingkungan, kemudian melibatkan warga secara langsung mulai dari pembibitan hingga pemeliharaan tanaman penghijauan. Lalu Bapedalda melakukan sosialisasi dan pembinaan perubahan masyarakat di dalam menangani sampah dengan memberikan sarana prasarana (tong sampah), dan memberikan pelatihan serta penerapan teknologi pengomposan berbasis masyarakat.[1]
Apa yang Bapedalda canangkan mungkin belum tercapai dengan maksimal, seperi an dikeluhkan pak Mali, sampah-sampah di tong sampah dibiarkan menumpuk dan melimpah. Ditambah lagi, belum setahun program ini dilaksanakan Bapdalda telah kehilangan dua tong sampahnya. Kehilangan pertama karena tugasnya digantikan oleh Ibu Neni, dan kehilangan kedua, Tong sampah itu rubuh dan akhinya menyatu dengan danau. Mungkin ini sebuah kecelakaan yang luput dari perhatian tim, seharusnya Bapedalda heran kenapa di daerah dengan pemandangan strategis seperti di tempat tong sampah yang rubuh itu tidak ada bangunan resto. Dari apa yang saya amati selama empat tahun terakhir, masyarakat dengan bebasnya memlih tempat dimana ia ingin mendirikan resto/kedai/warung/rumah makan. 70% dari bangunan itu selalu mencari tempat dengan pemandangan strategis (tempat yang bisa menyaksikan pemandangan seberang danau, melihat Gunung Marapi dan Singgalang ke arah utara, bahkan ada beberapa tempat yang bisa menyaksikan tiga gunung sekaligus, Marapi, Singgalang, dan Gunung Talang di Selatan. Tempat-tempat seperti ini biasanya diburu oleh orang-orang yang ingin mendirikan bangunan di bibir danau. Bahkan ada yang menandai/memesan (booking) dengan membangun pondasinya saja terlebih dahulu. Nanti kalau modal udah cukup baru dibangun bagus-bagus, Seperti bangunan pondasi disebelah kedai Ibu Neni. Pondasi yang sudah berusia lebih dari lima tahun itu ditinggalkan pemiliknya yang menurut Nova lagi pergi merantau.
Struktur tebing (bibir danau) di bagian tempat tong sampah yang hancur menurut analisa warga sekitar memang tidak bagus, rapuh. Hampir serupa dengan yang berada di depan Tiang Tujuh. Di sana dulunya adalah tebing batu yang curam, tebing bibir danau yang tampak hanyalah timbunan tanah yang juga rapuh. Di tambah lagi, bibir danau dibagian tiang tujuh sangat curam. Sulit untuk mendirikan pondasi.
Pak Mali dan Buk Neni mendirikan bangunan ini dua hari sebelum lebaran Idul Fitri 1434 H, Minggu pertama Agustus 2013. Waktu itu ada banyak warung dadakan lainnya yang berdiri, itu sudah biasa terjadi sebelum lebaran atau tahun baru. Warung dadakan itu biasanya disusun dari beberapa potongan kayu seperti kedai Buk Neni, kalau dengan pondasi tembok itu biasanya memang sengaja dibuat permanen. Pembuatannya pun lama, biasanya diisi oleh orang-orang yang sudah pensiu atau yang sudah tua. Berbeda dengan warung buk Neni yang berdiri terburu-buru karena membayangkan ramainya lebaran waktu itu. Menurut Buk neni sebelum lebaran kemarin banyak yang mendirikan kedai serupa, tapi ada yang meninggalkanya setelah itu, ada juga yang membiarkannya tetap ada, seperti yang dilakukan Neni ini.
Warung ini memanfaatkan salah satu sisi dinding bak sampah sebagai dinding dapurnya,“untuk penahan angin” katanya.
Kini bak sampah itu berisikan beberapa benen dan ember yang biasa digunakan oleh para pemburu pensi pada siang hari. Sejak Buk Neni mendirikan waung di situ tidak ada lagi yang buang sampah di sana. Buk Neni dibantu anaknya sering membersihakan sampah yang ada di sekitar sini, kadang dibakar, dan kadang disapu ke danau. Sampah rumah/warung lainnya biasanya juga disapu ke danau, dibakar di depan rumah atau membuangnya ke bak sampah yang lain.
Buk Neni dan pak Mali, biasanya tidur di warung ini, di bawah meja tempat panjang dagangannya. Ia juga membawa televisi 21 incinya dari rumah, untuk hiburan katanya. Ia jarang pulang ke rumah pada malam hari, walaupun dekat. Di rumah ada anak-anaknya yang menunggui. Kalau Siang, biasanya baru ia ke rumah, anaknya yang kecil ke sekolah, si sulung Nova dan cucunya menjaga warung, dan Pak Mali ke ladang.
Rumah Buk Neni sekitar 100 meter mendaki meneyeberangi jalan lintas di bibir danau. Tidak sulit untuk menemukan rumahnya, cukup mengikuti kabel listrik yang membentang dari warung itu hingga ke atas sana.
Sore itu saya duduk di salah satu bangku menghadap ke danau, di sebelah saya ada Pak Mali yang telah pulang dari ladang. Kadang ia menyaksikan siaran televisi, kadang ia memutar lehernya 90 derjad untuk melihat anaknya yang tengah menyapu tadi.
“rami tahun baru patang pak?”(tahun baru rame pak?)
“langang, antah dek a lo ko lah,”(sepi, entah kenapa)
Singkarak pada tahun-tahun sebelumnya memang terkenal ramai dikunjungi pada perayaan pergantian tahun tapi tidak untuk tahun ini. Biasanya jalanan akan macet, banyak kendaraan yang parkir di bibir danau, dan kendaran yang berjalan pelan sambil menikmati keindahan danau. Macet diisi kendaraan yang datang dari berbagai kota. Ada yang memang sengaja menuju Singkarak, dan ada juga mereka yang awalnya menuju Bukittinggi akhirnya terjebak macet di Singkarak. Entah apa yang terjadi, Singkarak dipergantian tahun kali ini bagitu sepi. Pak Gaek salah seorang pemilik kadai di Ombilin sana, juga mengatakan hal yang sama. Bahkan Ombilin yang biasa menjadi pusat keramaian pada tahun baru, menurut Pak Gaek biasa saja.
Awalnya saya kira sampah yang banyak itu adalah akibat dari ramainya orang-orang di bibir danau merayakan tahun baru. Menurut Pak Mali, itu bawaan hujan. Dua hari sebelum tahun baru hujan datang hampir tiada hentinya. Ketika hujan lebat di Solok dan di Padangpanjang sampah-sampah yang biasa berputar-putar di muara sungai akan menyebar karena kencangnya air yang masuk. Singkarak adalah tempat muaranya 7 sungai. Sungai-sungai yang mengaliri banyak desa tersebut saya adalah salah satu kontributor atas banyaknya sampah di Singkarak. Hal ini pun sudah beberapa kali disorot oleh media lokal maupun nasional. Pada tahun 2012 lalu, media haluan mencatat
Tidak ada lagi wisatawan yang berminat berlama-lama di pinggir danau ini. Sampah pasar Solok maupun sampah pasar Padang Panjang masuk ke sungai (yang bermuara ke danau singkarak). Pintu air yang berada di bagian bawah danau, tidak bisa menyerap sampah ini. Sampah hanya berputar-putar saja.[2]
Sebenarnya tidak hanya sampah pasar, di beberapa Jembatan Di Solok, kita bisa melihat betapa rutinya masyarakat melemparkan sampah rumah tangga mereka, belum lagi yang rumahnya di bibir sungai.
“Padahal, selama ini kualitas air Danau Singkarak juga sudah terganggu dengan PLTA Singkarak serta aliran air dari Sungai Sumani dan Lembang di Solok,” kata Hafrijal, yang juga Rektor Universitas Bung Hatta, Padang[3]
***
Pandagangan saya dan Pak Mali teralih ketika kami mendengar suara tawa yang besar dari Ibu Neni dan cucunya. Sekitar 10 meter dari tempat kami. Mereka sepertinya makin asik bermain-main. Ibu Neni terus mengguyur cucunya sambil terus mengahalau sampah-sampah yang ada di dekatnya. Saya menunduk memperhatikan air danau. Begitu banyak sampah, airnya cukup tenang, mengeluarkan gelembung-gelembung kecil. Seperti buih.
“lai ndak gata-gata mandi disiko pak?”(gatal nggak pak mandi disini?)
“ndak lo do. kami biasanyo di siko mandi tiok sore. Iko dek hujan se nyo, biasanyo lai ndak banyak sarok doh.”(nggak juga, kami sudah biasa mandi disini setiap sore. Ini mungkin karena hujan, biasanya tidak banyak sampah di sekitar sini.)
Sehari sebelumnya, setelah tahun baru memang sering kali hujan. Di Padangpanjang hujan terjadi sepanjang hari, lebih banyak dari pada biasanya. Begitu juga di Solok, waktu itu juga sempat terjadi banjir. Aliran Batang Lembang meluap, salah satu sekolah menengah di Salayo terendam banjir seperti biasanya, hampir setiap tahun. Batang Lembang ini melewati banyak desa, banyak jembatan, sampai akhirnya bermuara di Singkarak. Bukan hal yang mengherankan sebenarnya ada banyak sampah di Singkarak, jika kita sama-sama menyaksikan rutinnya orang-orang dan banyak ibu rumah tangga yang membuang sampah di sungai ini. Beruntung beberapa sampah tersangkut di sisi pembatas jembatan dan semak bibir sungai. Tapi tetap saja, ketika hujan lebat semuanya akan diangkut menuju danau.
II – Muara Lembang
Pada 20 Januari 2014 lalu saya mampir sejenak di pasar Sumani, tepatnya di sebuah jembatan. Jembatan terakhir dari aliran Batang Lembang. Airnya begitu tenang, beberapa kantong plastik, tersangkut di pondasi jembatan. Dari sisi jembatan ke arah aliran sungai, kita bisa melihat sebuah sebuah Dam (dinding tembok) yang baru diselesaikan tahun kemarin. Tidak ada lagi sampah yang tersangkut, tiak seperti bibir sungai dibawah jembatan, ada banyak sampah yang tersangkut di semak.
Di sisi kanan sungai saya melihat sebuah jalan. Saya mengikuti jalan tersebut, kurang dari 1 Km ke dalam sana sekelompok anak-anak tengah asik bermain bola di tepian sungai. Di sana saya berkenalan dengan Andy, seorang penjaga gawang di permainan ini. rumah Andy dan teman-temannya tidak jauh dari sini. Mereka biasa main bola di sini tiap sorenya. Waktu itu, sepertinya pihak Andy sering menguasai bola. Andy punya banyak waktu luang untuk bersantai di tengah permainan.
“kalau bolanyo masuak ka tang aia baa?”
“sia yang nyipak, inyo maambiak”
“kalau sampai katangah, baranang tu?”
“tu iyo nyo da.”
“lai ndak gata-gata?”
“iyo jo, baa jo lai”
|
“Kalau bolanya masuk ke sungai gimana?”
“Siapa yang nendang, dia yang ngambil”
“Kalau sampai ke Tengah, berenang dong?
“Tentu,”
“Gatal-gatal?”
“Iya Sih, tapi mau gimana lagi” |
“Andy biasonyo dima buang sarok?”(Andy biasanya buang sampah dimana?)
“di tapian, situ a”Andy menunjuk salah satu sisi sungai tempat ia biasa membuang sampah. Tak jauh tempak yang ditunjuk Andy, beberapa orang juga tengah asik mandi di sana.
“nyo lah biaso tu iyo, ndak lo baranang do,” (tentu saja, mereka sudah biasa mandi disana, lagi pula mereka tidak berenang) jelas Andy.
Saya teringat ibu Neni dan Cucunya yang tengah mandi, dia juga sering mandi di Danau, tapi mereka mungkin sedikit lebih beruntung dari pada Andy, di tempat ibu neni mungkin, volume airnya mampu menghimpit volume bakteri yang dibawa sampah-sampah dari sungai ini. Di tambah lagi posisinya yang cukup jauh dari muara sungai ini.
Tempat Andy main bola adalah ujung sungai yang bermuara menuju Singkarak. Apa lagi di tempat Andy, di sini airnya sudah cukup tenang, perlahan memasuki danau, di sini lah tempat semua sampah akan menumpuk kalau tidak ada hujan deras yang segera melancarkannya ke danau. Mungkin Andy tidak tahu, tidak hanya dia dan teman-temannya yang suka buang sampah ke sungai ini di Koto Baru sana ibu-ibu suka buang sampah di sungai ini, di Solok, Anam Suku, KTK, Sumani. Mungkin Andy juga tidak tahu setiap hari kotoran ayam, bulunya, serta darah busuk dari Kios Daging Kota Solok juga menyatu dengan sungai ini.
Apa yang dilakukan Andy dan teman-temannya, hanyalah salah satu contoh dari apa yang disebut dua orang psikolog, Neil Miller dan Jhon Dollard sebagai Sosical Learning (1941). Apa yang dilakukan Andy adalah apa yang diajarkan oleh lingkungan sosialnya. Cukup duduk di sana beberapa jam, kita akan bisa menyaksikan orang-orang di sekitar sana membuang sampah mereka ke Sungai. Mereka tidak membuangnya dengan sembunyi-sembunyi atau dengan ragu.
Andy hanya telah biasa melihat hal-hal seperti itu. Dan saya kira, orang-orang sebelum Andy pun juga sudah biasa dengan pemandangan itu, tanpa perlu komentar. Apa yang sudah biasa mereka lihat, tanpa sadar telah mengiringi proses sikap (mentalitas) orang-orang di sekitar sana sejak dari ia kecil. Sekilas pemandangan itu seakan bimbingan sebuah insting. Ketika orang tua Andy menyuruh Ia membuang sampah, ia tidak akan bertannya lagi mau dibuang kemana. Ia hanya meniru apa yang di terapkan di sekitarnya.
***
Saya terus menyusuri muara sungai hingga akhirnya ia menyatu ke danau. Tidak ada penyaringan sampah. Hanya beberapa sampah tersangkut di rawa. Di Muara Sungai sekelompok lelaki tengah asik memancing. Kalau pagi biasanya mereka menangguk rinuak[4] dari atas palanta yang mereka dari puluhan potongan bambu itu. Potongan Bambu itu dibuat seakan melintasi sungai, agar pada petani rinuak mudah menangguk rinuak dari atas palanta tersebut. beberapa palanta rusak karena memang sudah lapuk, ditambah lagi sebelum tahun baru aliran begitu kencang memasuki danau. Ketika itu menurut Ibu Idan, salah seorang masyarakat yang tinggal di Muara Sungai ini, terjadi sebuah fenomena alam yang menarik.
Cerita Buk Idan, ketika arus besar, air dari batang lembang ini tidak menyatu dengan danau Singkarak. Pernah beberapa nelayan memperhatinnya. Kalau air deras dan keruh, itu adalah waktu yang bagus untuk panen rinuak. Ketika itu air akan terlihat tengah berputar bersama sampah-sampah bawaannya. Seakan Singakrak tengah menolak air keruh itu. Air itu enggan menyatu, menurut Buk Idan salah seorang nelayan pernah memperhatikannya. Air coklat Batang Lembang tidak menyebar, tapi ia terus mengalir di dasar danau, terus menuju Sumpu dan lenyap bersama buangan PLTA.
Lalu sampahnya?
“Sampah itu hanya berputar-putar di muara ini. Kalau air besar baru mereka menyebar ke tengah, tapi kalau angin danau berhembus ke tepian, sampah-sampah itu kembali lagi ke bibi-bibir danau di muara ini,” Kata Buk Idan.
***
Ingatan saya kembali melayang pada momen di warung pak Mali. Waktu itu air danau cukup tenang, sampah-sampah itu perlahan menepi dan langsung di halau oleh Nova.
“Kok ndak disapu kalua se?” tanya saya pada pak Mali yang masih duduk disamping saya.
“saroknyo basah, payah mambakanyo.”
Lalu kalau sampah itu disapu ke arah danau dimana sampah ini akan berakhir? Saya tidak menanyakan langsung pertanyaan yang tiba-tiba muncul pada saat itu. Pertanyaan seperti ini, saya kawatir malah merusak suasana, saya tahu saya akan sering datang ke sini. Sampah-sampah yang datang di danau hanya akan berputar – putar di danau tersebut. Air danau menjadi berbuih dikala tenang, dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Seperti ini juga memberi penjelasan atas kebingungan saya dan Pak Mali atas sepinya danau Singkarak pada taun baru.
“…Air danau berbau akibat sampah yang dibuang ke danau serta banyaknya titik lahan kritis di sekitar danau. Tak mengherankan bila belakangan ini, tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan itu menurun.
…Tidak ada lagi wisatawan yang berminat berlama-lama di pinggir danau ini. Sampah pasar Solok maupun sampah pasar Padang Panjang masuk ke sungai. Pintu (Keluar) air yang berada di bagian bawah danau, tidak bisa menyerap sampah ini. Sampah hanya berputar-putar saja.”[5]
Sampah yang masuk ke Singkarak ternyata tidak memiliki jalan keluar. Dari 7 sungai besar yang masuk ke Singkarak hanya ada dua jalan keluar. Jalan Keluar pertama adalah batang Ombilin, tapi kini di pintu (keluar) batang ombilin itu telah dibuat penutup atau khusus untuk mencegah kekeringan yang bisa mengakibatkan tidak maksimalnya produksi PLTA[6]. Peintu keluar yang kedua, adalah buatan Khusus PLTA. Pada tahun 2000 an pihak PLN menembus sebuah bukit tembus hingga Lubuak Aluang, Kabupaten Padang Pariaman. Pintu keluar yang satu ini terdapat di dasar danau, saringannya juga tidak membiarkan sampah-sampah lewat. Akhirnya sampah-sampah itu hanya berputar-putar di selingkaran danau, sampai akhirnya mengendap ke dasar danau.
Jasman, Ketua Badan Pengelola Kawasan Danau Singkarak (BPKDS), menganjurkan Batang Lembang tepatnya di Muaro Sumani yang berhubungan dengan danau harus dipasang saringan, agar sampah tidak masuk ke danau. Namun belum ada hasilnya. Sebab menurut pengakuan Jasman yang ditulis media Haluan[7] pemerintah pusat justru mempertanyakan komitmen pemerintah daerah. Hal ini tak terlepas dari saling tuding dari delegasi Sumbar pada saat pertemuan bersama kementrian terkait. Dan sampai kini, penanganan Danau Singkarak belum menunjukkan kemajuan.
Di media memang sering kita lihat para pejabat dan tokoh cendikia yang bermental suka menjual pariwisata berkoar-koar. Mengeluhkan sekaligus melihat potensi Singkarak sebagai lokasi wisata yang menjual. Benarkah Singkarak hanya persoalan pariwisata?. Lebih dari itu di Singkarak dalah ekosistem yang di dalamnya terdapat juga spesies perlu dilindungi, banyak pertanian yang perlu diairi, ada banyak banyak hal yang bergantung pada keasrian Singkarak. Pembangunan pasar tidak memperhitungan sampah dan limbahnya yang akan masuk danau. limbah hotel. Pengaturan PLTA. Pengelolaan dan penangkapan Bilih yang tidak ramah lingkungan, Serta limbah resto di bibir danau yang jumlah semakin banyak dan terus bertambah. Semua pembangunan seakan tidak ada pertimbangan dalam jangka panjang. Akhirnya, Pembangunan yang memanfaatkan keindahan danau ini malah dicap sebagai penyebab rusaknya keindahan danau.
___________
Albert Rahman Putra, 15 September 2014
*liputan mendalam ini diselesaikan pada September 2014, dan akan dilanjutkan dalam project “akumassa bernas”, dipublis secara berseri (serial) di (www . akumassa . org)
[1] Program Pemulihan Kualitas Danau Singkarak Dimulai. Metrotvnews.com edisi 23 Desember 2012
[2] Lihat: Haluan, Danau Maninjau dan Sinkarak Kritis 05 Agutus 2012 http://www.harianhaluan.com/index.php/laporan-utama/17081-danau-maninjau-dan-singkarak-kritis-
[3] Budidaya danau Singkarak Ditentang. Kompas.com Kamis 19 Mei 2011 http://regional.kompas.com/read/2011/05/19/20020186/Budidaya.di.Danau.Singkarak.Ditentang
[4]Ikan air tawar khas sumani, kecil seukuran kuaci
[5]Danau Maninjau dan Singkarak Kritis. Haluan 05 Agustus 2012 http://www.harianhaluan.com/index.php/laporan-utama/17081-danau-maninjau-dan-singkarak-kritis-
[6] Lihat: BPPT dan PLN Upayakan Hujan Buatan Atasi Kekeringan, Kompas.com 20 April 2013 (http://regional.kompas.com/read/2013/04/20/10265361/BPPT.dan.PLN.Upayakan.Hujan.Buatan.Atasi.Kekeringan)
[7]Danau Maninjau dan Singkarak Kritis. Haluan 05 Agustus 2012 http://www.harianhaluan.com/index.php/laporan-utama/17081-danau-maninjau-dan-singkarak-kritis-
0 comments