Singkarak malam itu sebenarnya tidak begitu dingin, tapi angin bertiup kencang. Berbeda dengan Kota Padangpanjang yang akan tetap dingin dengan angin yang bertiup kencang ataupun tidak. Hawa dinginnya langsung terasa ke tulang-tulang dan membuat daun telinga menjadi sangat dingin.
Malam itu, sekitar Bulan Maret 2015 lalu, berangkat dari Padangpanjang, saya memarkir kendaraan di salah satu kedai di bibir danau, di Danau Singkarak, di daerah Ombilin Simawang. Saya duduk di bagian belakang kedai. Di sana, tempatnya sangat terbuka, hembusan angin sesekali bisa menampar, tapi kita bisa bersembunyi di balik tiang dan pagar. Cuaca agak mendung, kilat juga terlihat di tengah danau. Mungkin sebentar lagi mau hujan. Tapi, di ruang yang cukup terbuka ini saya bisa melihat lampu-lampu redup desa di seberang danau, Sumpu, Malalo, bahkan Paninggahan, dan Saningbaka. Kalau malam itu tidak mendung, mungkin lampu-lampu itu akan terlihat cantik menyatu dan menjadi bagian dari taburan bintang-bintang.
Malam itu danau juga terdengar berombak, turut bersamanya tecium aroma yang aneh, aroma yang tidak membawa kesegaran. Aroma aneh itu, dengan istilah lain, disebut oleh orang-orang sebagai aroma danau. Bersama dengan itu juga terdengar sayup-sayup azan isya entah dari mana.
Di hadapan saya, di meja lainnya, empat orang pemuda terlihat baru saja menyelesaikan semangkuk mi. Mereka menutup kenikmatan tersebut dengan hembusan rokoknya. Mereka adalah empat orang yang datang dari Batusangkar, untuk memancing malam ini. Empat orang pemuda ini, tidak serentak, menutup jamuan makan dengan tegukan panjang segelas air putih, lalu menitipkan helm mereka pada penjaga kedai. Mereka langsung berjalan ke luar dan turun lewat tangga di sebelah kedai. Saya berpikir, ternyata posisi kedai yang berdiri di atas tiang-tiang yang tertancap ke danau ini, seakan memang dirancang khusus untuk pemancing. Di antara pondasi-pondasi itu, melintang papan-papan sehingga orang-orang bisa bersantai, bahkan merebahkan diri.
Angin masih saja kencang, empat orang pemuda tadi tiada terpengaruh. Saya kira mereka adalah pemancing yang nekat. Saya ingat perkataan Mak Adang, warga setempat dan juga seorang pemancing handal, yang saya temui kurang lebih setahun lalu, di kedai Pak Gaek di Ombilin. Setidaknya, begitulah pendapat Pak Gaek dan Mak Adang jika ada yang memancing dalam cuaca seperti ini. Malam itu, Mak Adang tidak memancing.
“Aia gadang (air besar),” demikian alasannya.
Aia gadang adalah istilah yang biasa digunakan para pemancing di Singkarak, untuk menujukan kalau air danau naik dan berombak. Pada cuaca seperti ini, ikan pasti susah didapat. Menurut Mak Adang, kalau berombak begini, ikan lebih senang berada di bagian tengah dan di kedalaman atau mencari bagian air yang tenang. Ini sudah biasa terjadi pada musim hujan. Tapi ada juga pemancing yang masih nekat. Mereka biasanya akan menggunakan teknik “manciang banam”. Teknik ini tidak menggunakan apung-apung (kambang; benda kecil yang bisa mengambang dan diikatkan pada benang agar benang dan umpan tidak sepenuhnya tenggelam). Teknik manciang banam hanya menggunakan batu-batu (pemberat) dan kail saja. Biasanya starlet (berbentuk kapsul berwarna hijau dan mengeluarkan pendaran cahaya) dipasang di ujung tangkai pancing. Ketika starlet bergerak, maka pemancing akan segera menarik pancingnya. Tapi berbeda dengan empat orang pemancing nekat ini, mereka tetap menggunakan apung-apung, yang artinya ikan akan sulit didapat karena mereka akan kaget dan lari.
Seingat saya, di Singkarak hampir setiap bulannya adalah musim hujan. Atau menurut temuan Kementrian Lingkungan Hidup (2011), hanya pada bulan Juni-Juli Singkarak bermusim kemarau.1 Tapi, karena Singkarak cukup luas untuk tidak terkena hujan sekaligus, bisa jadi pemancing dapat memprediksi tempat mana yang ‘kemungkinan’ tidak akan diterpa hujan dan angin kencang. Dan aktivitas memancing akan terus ada.
Ke empat pemuda tadi masih asik mengobrol sambil menatap ke arah starlet yang berpendar dalam gelap malam di apung-apung-nya. Benda bercahaya hijau itu melayang terombang-ambing bersama ombak. Biasanya, ada banyak pemancing di kedai ini. Tapi malam itu terbilang sepi. Mungkin belum ‘jamnya’. Atau harinya tidak tepat, atau mungkin faktor lainnya. Menurut Pak Marah, pemilik kedai dengan akses tangga ke lokasi memancing —tempat saya duduk— malam itu memang agak sepi, walau hari itu adalah Hari Senin. Biasanya, masih ada 5 hingga 10 pemancing. Tapi mereka memang tidak datang sekaligus. Mungkin sebentar lagi akan datang beberapa pemancing lagi. Kalau Hari Sabtu dan Minggu akan lebih ramai. Tidak hanya di kedai ini, bahkan sepanjang danau, baik di kedai-kedai atau pun di tepi jalan akan terlihat banyak motor pengunjung danau terparkir, termasuk milik para pemancing.
Malam itu sepertinya Pak Marah terlihat tidak terlalu berharap, lalu menyambung perkataanya tadi bahwa akhir-akhir ini, memang agak jarang orang datang memancing. Baginya, faktor pertama mungkin saja soal cuaca, dan mungkin juga karena desas-desus tentang “begal” yang gencar terdengar di media nasional awal 2015 ini. Bulan lalu ada sebuah kedai di daerah Kacang (masih di bibir danau) yang didatangi oleh satu orang yang tidak dikenal. Menurut cerita yang berkembang, pria itu berbadan besar dan kekar, datang bersama sebuah mobil avanza hitam yang diparkir dalam posisi sulit untuk dilihat. Kata Pak Marah, ini sejalan dengan informasi dari beberapa polisi yang datang tiga hari lalu.
Malam Minggu lalu, empat orang yang mengaku polisi dari Padangpanjang mampir ke kedainya sekitar pukul 12 malam. Polisi itu berkata padanya, “Barani jo Apak bukak malam ko, yo?” (Berani sekali Bapak masih buka sampai jam segini?) demikian ia menirukan ekspresi polisi itu, yang seolah kaget dengan keberaniannya.
Polisi itu sebenarnya mendapat tugas untuk ronda di Padangpanjang. Tapi malam itu dia menyempatkan untuk makan malam di Singkarak yang berjarak sekitar 30 km dari Padangpanjang. Menurut polisi itu, ‘Si Begal’ badanya lebih besar dari mereka. Kemungkinan datang dari daerah Selatan Sumatra dan diperkirakan berkerjasama dengan orang-orang lokal sebagai penujuk arah. Orang-orang lokal itu umumnya menyupiri si ‘orang asing’.
“Kalau lai ado urang manciang ambo bukak jo (kalau ada orang datang untuk memancing saya akan buka kedai),” demikian ia mengulangi jawabannya pada malam itu.
Tapi pada saya ia mengaku, ia sering meninggalkan pemancing kalau sudah lewat dari tengah malam, terutama setelah kedatangan Polisi tersebut. Menurut Polisi, mereka tampaknya saja memakai clurit, tapi kalau sudah terdesak mereka akan menggunakan beceng. Polisi pun melakukan ronda hanya untuk menggertak dengan atributnya saja, alias mencegah, padahal si polisi bahkan sempat mengaku pada Pak Marah bahwa kalau dia ketemu langsung pun rasanya agak gentar.
***
Malam itu, sebenarnya di sepanjang jalan saya melihat banyak motor-motor yang parkir di pinggir danau ataupun di kedai-kedai di bibir danau untuk memancing. Memang tidak daerah sekitar sini, daerah sana anginnya tidak terlalu kencang. Tapi malam itu, saya tiba-tiba teringat Ari Kantuak, seorang teman dari Padangpanjang yang juga biasa mancing di Singkarak, saya pun menelponnya.
“Ndak ado acara manciang kini?” (Gak ada acara memancing sekarang?).
“Ndak do, hari acok hujan, lagian sadang banyak karajo.” (Enggak. Hari hujan terus, lagipula sedang sibuk kerja).
“Banyak karajo atau takuik begal?” (Sibuk kerja atau takut begal?).
“Ee … begal tu nyo takuik lo jo hujan mah! Haha…!” (Ya, para begal itu, kan juga takut sama hujan).
Saya menutup telepon, lalu menoleh pada empat orang pemancing tadi, mereka mulai mengurangi jumlah percakapannya, lebih sering diam menyaksikan alat pancingnya.
***
Saya pernah beberapa kali ikut memancing dengan Kantuak di Singkarak ini. Biasanya juga ada Datuak dan Cudin. Mereka mulai memancing dari jam 10 malam hingga matahari terbit. Kadang, memang membosankan. Sesekali saya dibawakannya pancing, tapi setelah beberapa kali saya coba, tidak membuahkan hasil. Barang kali memang kurang berbakat. Tapi saya senang berada di tengah-tengah orang memancing, atau memutuskan untuk meninggalkan mereka untuk sekedar melihat situasi di tempat pancing lain.
Sebagian besar dari para pemancing yang pernah saya temui tidak benar-benar datang untuk mencari ikan. Mereka hanya ingin sejenak melarikan diri dari rumah dan aktivitas rutinnya, menyalurkan hobi, dan sekedar pergi untuk mengobrol. Ikan bagi mereka hanyalah bonus. Tapi ada juga yang benar-benar datang untuk mencari ikan, biasanya mereka akan membawa lima pancing sekaligus, tapi itu cukup jarang saya temui.
Saya ingat waktu itu, saya, Datuak, Kantuak, dan Cudin pergi memancing di salah satu sisi danau di daerah Tanjung Mutiara. Pemancing sering menyebut lokasi itu dengan nama Bonjo. Waktu itu hanya ada seorang bapak dan putranya yang berusia sekitar sepuluh tahun. Mereka baru saja selesai memancing dan tidak mendapat hasil hari itu. Tapi Bapak dan anak ini tidak langsung pulang, mereka terlebih dahulu menyaksikan kami membongkar tas dan menyiapkan alat pancing.
Si Bapak menyapa kami, “Ee.. lah biaso mamanciang jo mah, yo? Langkok alaik-alaik, mah,” (Ee.. sudah biasa mancing, ya? Lengkap sekali peralatannya).
“Lai jo, lah, Pak. Lai ado dapek, Pak?” (Lumayan, Pak. Ada dapat ikannya, Pak?) Kantuak menyahut sambil mengeluarkan peralatannya
“Ndak ado do, taragak ncaliak-caliak danau se nyo.” (Nggak ada. Cuma pengen lihat-lihat danau saja).
“Samo se wak nyo, Pak, taragak pai main se nyo,” (Sama aja kita pak, kami juga pengen pergi main aja).
“Apo umpan? (Pakai umpan apa?).
“Kapuyuak nan babaok tadi nyo, Pak,” (Tadi cuma bawa kecoak, Pak).
Di antara kami, Datuak dan Kantuak lah yang paling mahir soal memancing. Mereka memang sangat hobi memancing. Kami juga pernah beberapa kali memancing di Nyarai. Di sana memang ada lebih banyak ikan, bisa berkemah, dan pemandangannya sangat bagus untuk dinikmati sambil bersantai. Tapi sebenarnya kami memang tidak sedang mencari ikan. Malam itu alasan kami pergi memancing hanya karena sudah lama tidak pergi memancing, walaupun Datuak dan Kantuak memang sudah memliki track record yang bagus soal memancing. Mereka senang mengadu skill pancingannya, lalu saling membanggakan ketika dapat ikan, apa lagi kalau ikannya besar.
Malam itu juga datang beberapa orang lainnya, tapi mereka tidak langsung mengeluarkan pancing. Mereka meletakkan tasnya, kemudian melihat-lihat aksi Kantuak dan Datuak melancarkan serangannya. Salah satu di antarnaya adalah Da Jon, yang datang dari Batusangkar. Ia hanya datang sendiri. Saya duduk di sebelahnya, sambil menikmati kopi.
“Acok jo manciang siko, Da?” (Sering mancing di sini, Da?).
“Lai jo, kadang di siko kadang di daerah lapeh Ombilin stek,” (Lumayan, kadang di sini, kadang tak jauh selepas daerah Ombilin).
“Oh, dakek bengkolan tu. Sorang se nyo, Da?” (Oh, dekat tikungan itu. Sendirian saja, Da?).
“Ndak, biaso nyo lai jo kawan, beko sabanta lai nyo tibo.” (Nggak, biasanya sama teman juga kok, sebentar lagi mungkin dia datang).
Kami tertawa, menyaksikan tingkah Kantuak yang hanya nyaris saja mendapatkan ikan. Apung-apung milik Kantuak bergoyang seperti pertanda umpannya sudah dimakan ikan, namun ketika ditarik, memang umpannya hilang dimakan, namun tak ada ikan yang menyangkut. Hal itu semakin membuatnya penasaran. Ada juga beberapa orang lainnya datang ikut menyaksikan. Hari waktu itu hampir tengah malam, Si Bapak anaknya tadi, dan beberapa orang lainnya yang ikut menonton, segera pulang. Tak lama, kawan Da Jon datang. Dia duduk sejenak, lalu memesan kopi, sementara itu Da Jon mempersiapkan alat pancingnya.
“Sampai jam bara lo biasonyo ko, Da?” (Sampai jam berapa biasanya, Da?).
“Sampai bara talok se nyo,” (Sampai berapa sanggupnya saja), dia tertawa lalu lanjut bertanya, “Adiak dak sato manciang?” (Adik nggak ikut mancing?)
“Sato mancaliak se nyo, Da,” (Saya ikut melihat saja,Da).
Mereka tertawa, mungkin bagi mereka itu lucu. Jarang-jarang ada yang mau nonton orang mancing sampai selarut ini. Saya jelaskan pada dia, kalau saya hanya tertarik melihat orang mancing, dan ngobrol-ngobrol bersama teman-teman saya tadi. Lagi pula tidak ada kegiatan lain malam itu.
Da Jon ternyata juga seorang pemancing yang handal. Dia lebih dahulu mendapatkan ikan dari pada Datuak dan Kantuak. Kami bertepuk tangan untuk dia. “Pacah talua!” (pecah telur) demikian ungkapan untuk perolehan pertama. Tapi tak lama setelah itu Datuak menyusul. Ia dapat ikan yang lebih besar dari perolehan Da Jon. Kantuak merasa kalah. Ia pun mulai mempelajari kesalahan, mencoba menanyai umpan yang digunakan Datuak. Mereka menggunakan umpan yang sama, yaitu kecoak yang sudah kami persiapkan dari Padangpanjang. Tapi sepertinya Kantuak ingin mencobanya dengan umpan lain. Ia meminjam senter, lalu turun ke air untuk mencari beberapa udang sebagai umpan.
Kantuak turun ke ke bawah. Ia perlahan membungkuk di bibir danau yang landai dengan senter dan tangguak (jaring tangguk) di tangannya. Ia mendapatkan beberapa udang untuk dijadikan umpan. Sebenarnya ada cara mudah untuk mendapatkan udang ini, orang-orang menyebutnya dengan ma-rekor, yaitu mengunakan racun hama yang biasa dipakai oleh petani cabai. Racun itu berupa cairan, biasanya dimasukan dalam gelas plastik air mineral yang biasa dijual di kedai-kedai. Cairan itu dimasukan sebanyak tiga tutup botol minuman air mineral besar, kemudian dicampur dengan pasir dan kerikil. Gelas plastik tersebut dibungkus dengan kantong plastik tanpa diikat, lalu dilempar ke danau. Biasanya setelah satu jam akan banyak muncul udang yang teler (atau istilah pemancing: udang paniang) di permukaan danau dalam radius seluas satu lapangan futsal. Udang yang sudah teler tersebut lebih mudah ditangguk. Tapi cara seperti ini sudah lama ditinggalkan. Biasanya pemancing senior atau orang yang lebih dewasa akan menegur kalau ada orang melakukan cara seperti itu, karena menurut Kantuak ini juga berakibat buruk terhadap ikan-ikan di sekitar danau, ikan-ikan jadi lari. Sebenarnya, racun ini jika digunakan dengan dosis yang lebih tinggi tidak cuma membuat udang teler tetapi juga ikan-ikan yang ada disektiar sana.
Kantuak kembali ke atas lesehan tempat pemancing lainnya, ia cuma membawa lima ekor udang. Ia langsung mencoba memasangnya sebagai umpan, dan melemparnya. Saya kira memancing hanya persoalan beruntung atau tidak, tapi ternyata tidak sesimpel itu. Ada beberapa syarat menjadi pemancing handal, seperti pandai mambaco suluak (pandai membaca suluk). Suluak adalah tekanan atau arus dari dasar danau. Pemacing yang baik akan tahu ukuran tekanan angin dan ukuran apuang-apuang yang akan digunakan, ukuran batu-batu, kili-kili atau stopper, panjang juran (joran) dan sebagainya. Kemudian, juga dibantu dengan teknik maremot. Maremot maksudnya di sini adalah mengendalikan ikan. Setelah melempar umpan pancingannya, si pemacing biasanya akan menembakkan segenggam kecil biji kapuk menggunakan katapel ke arah umpannya tadi. Ini tujuannya agar ikan datang beramai-ramai ke arah sana. Semacam, pengalihan atau mengelabui, agar ikan-ikan terfokus pada satu titik. Setelah itu barulah dilakukan ritual berdoa agar keberuntungan membawa ikan menanggkap umpan kita, atau istilah Da Jon: “Sisonyo sarahan ka hoki surang-surang!” (sisanya serahkan pada keberuntungan masing-masing).
Saya mendekati Da Jon, ia sepertinya sedang asik membicarakan hal yang hanya ia ketahui dengan temannya. Tapi mereka sangat suka bergaul, seperti pemancing pada umumnya, jadi saya tidak ragu-ragu ikut dalam pembicaraan mereka. Pria berumur 30-an ini terlihat lebih santai, ia melempar kailnya, meletakan pancing, lalu duduk kembali. Da Jon sehari-hari bekerja sebagai seorang pedagang pakaian di Batusangkar. Ia biasa mancing di sini satu hingga dua kali seminggu. Baginya, memancing adalah hobi yang sulit di tinggalkannya. Dulu ia memang sering juga memancing di tempat lain, tapi beberapa tahun terkahir lebih sering di Singkarak.
“Tu kini baa kok di Singkarak, Da?” (Lalu sekarang kenapa di Singkarak, Da?)
“Ndak ado, do, siko nan rami. Kalau di tang aia, ndak bisa masan kopi, do, kalau di tampek pamancingan, murah bana dapek ikannyo. Baa tu?” (Nggakkenapa-napa, di sini cukup ramai. Kalau di sungai kita nggak bisa memesan kopi, kalau di tempat pemancingan umum terlalu mudah dapat ikannya, emang kenapa?) Da Jon balik bertanya.
“Ndak ado, do, Da, tanyo-tanyo se, dek namuah na ati da dari Sangka kamari,” (Tidak ada, pingin tanya-tanya saja, semangat sekali jauh-jauh datang dari Sangka (Batusangkar)).
“Di siko pemandangan lai agak lapeh dari pado tampek lain,” (Di sini pemandangannya lebih lepas dari pada di tempat lain).
Dari pemancing lain, saya juga mendengar hal yang sama. Selain itu, di Singkarak ikannya terkenal lebih manis. Di sini ikan juga menarik, mereka seperti punya karakter khusus dan menantang, seperti ikan Sasau (Hampala mocrolepidota). Mereka menyebut ikan ini “ketek babayo” (kecil berbahaya), walaupun ukurannya kecil, tetapi dagingnya manis dan cukup sulit didapat. Tantangan lainnya memancing ikan Sasau, seperti yang pernah diceritakan Kantuak, adalah karena biasanya mereka suka bermain di antara Jaramun (rumput danau). Kalau tidak mahir menarik dan mengulur, tali pacingan bisa tersangkut dan putus. Kalau ikan Asang Batu (Osteochilus brachmoides) lebih sering memakan umpan kue. Kemudian, dengan umpan udang biasanya yang sering didapat adalah Kapiek (Puntius shwanefeldi), Balingka (Puntius Belinka), Bagiak, termasuk juga ikan Sasau. Tapi kadang-kadang umpan udang juga bisa dapat Bauang (Macrones planiceps). Oleh pemacing lokal, fenomena ini dikenal dengan istilah Bauang Kuok atau Bauang litak alias kebetulan.Bauang kuok maksudnya, ikan Bauang yang tidak sengaja sedang menguap dan tiba-tiba tertelan umpan, atau Bauang litak, maksudnya adalah ikan Bauang yang terlalu lapar, jadi memakan apa saja yang tampak. Tapi sebenarnya jarang sekali ikan Bauang mau makan umpan udang.
Lain pula dengan ikan Jabuih (Tetradon mappa), mereka memiliki gigi yang tajam, sehingga sering juga memutuskan tali pancingan. Itu juga tantangan. Dan ada banyak ikan lainnya seperti Kiuang/Gabus (Chana pleurothalmus), Turiak (Cyclocheilichthys de Zwani), Mujaie/Mujair (Tilapia pleurothalmus), Kalang (Clarias batrachus) dan Gariang (Tor tambroides). Soal umpan, rata-rata umpan ikan di Singkarak mudah didapat. Biasanya ikan di sini senang memakan umpan udang, kapuyuak (kecoa), anak Bilih, dan roti yang mudah di temukan di pasar Padangpanjang atau sekitaran danau. Lalu, belakangan juga populer istilah umpan paping. Umpan yang bentuknya seperti ikan bilih mainan, terbuat dari plastik, ukurannya sangat kecil dan mengkilat. Umpan ini biasanya mengenai ikan Sasau, seperti kata banyak pemancing, bahwa ikan Sasau suka benda-benda yang mengkilat.
Ikan-ikan di Singkarak walaupun enak, tapi sebenarnya ukuran mereka tidak terlalu besar. Ikan yang paling sering didapat di sini biasanya berukuran dua sampai tiga jari,2 tapi sesekali ada juga yang dapat dua kilo, dan pernah juga ada yang mendapatkan ikan seukuran paha orang dewasa. Lain hanya kalau di laut, ikan seukuran tiga jari tidak ada artinya bagi mereka. Kebanggaan di laut adalah mendapatkan ikan dengan ukuran yang lebih besar, biasanya seukuran dua paha orang dewasa. Tapi untuk memancing di laut memang membutuhkan modal yang lebih tinggi, selain masalah peralatan (tangkai pancing, kail, dan benang khusus) yang mahal, untuk ke laut biasanya orang-orang juga perlu menyewa satu speed boat.
Saya kembali pada Da Jon, yang sudah biasa memancing ikan di sini sejak tahun 2007. Menurutnya, tidak banyak yang berubah dari Singkarak sejak tujuh tahun terakhir. Suasananya, siklus cuaca, masih tetap sama. Kecuali ikan yang sudah mulai jarang didapat, katanya.
“Biasanyo sahari tu pasti mambaok agak limo, tapi kalau kini, bisa se ndak mambaok,” (Biasanya sehari pasti membawa sekitar lima, tapi sekarang bisa saja tidak membawa apa-apa).
Da Jon juga mendengar soal praktek ilegal fishing yang sering dilakukan banyak pemancing nelayan sekitar sini, seperti pengeboman, sengatan listrik, dan ma-rekor. Selain itu rasanya tidak ada.
“Pemandangan?”
“Sama,” katanya.
“Sarok?” (sampah?)
Da Jon berfikir sejenak, “Sama,” katanya lagi.
“Brarti dak batambah dak bakurang?” (Berarti tidak bertambah dan berkurang?) tanya saya sambil bercanda.
“Mode tu lah kiro-kiro,” (Begitulah kira-kira) dia tertawa.
Jawaban Da Jon rata-rata sama dengan beberapa pemancing lainnya ketika saya tanya hal serupa, terutama mereka yang datang dari jauh (rata-rata pemancing di lokasi Bonjo datang dari arah utara danau: Padangpanjang, Batusangkar, Padang Lua, dan Payakumbuh) dan suka mancing di malam hari. Daerah Tanjung Mutiara, khususnya tempat yang biasa disebut oleh para pemancing sebagai Bonjo ini memang menjadi lokasi favorit karena lokasinya cukup bersih dari sampah. Tapi bagi saya, sebagai salah seorang yang sering melintasi daerah pinggirian danau, antara Solok-Padangpanjang hampir setiap minggunya, Singkarak banyak mengalami perubahan, terutama secara fisik. Di beberapa titik tertentu terlihat lebih banyak sampah, karena memang belum ada aksi yang efektif menangani persoalan sampah. Hal ini juga diakui oleh Bapedalda Provinsi Sumatera Barat (2011) bahwa persoalan sampah memang belum ditangani dengan baik, dan juga berdampak pada air danau yang semakin keruh dan bau busuk.3 Kemudian pulahan tong sampah yang dibangun sekitaran tahun 2012 lalu juga ada yang roboh, sampahnya dibiarkan melimpah, dan ada juga yang dijadikan tempat penyimpanan barang pribadi. Air pun mulai berbuih, bangunan kedai yang terus bertambah setiap tahunnya, serta aktifitas wisatawan yang sudah mulai jarang mandi-mandi di Danau Singkarak.
Tapi memang benar, kalau dilihat dari jalur yang dia lalui, Da Jon tidak akan menyadari hal tersebut. Ia tidak melewati banyak tempat di sekitaran danau, karena langsung berangkat dari Batusangkar, ia juga tidak memancing pada sore hari di daerah Kacang dan di sekitar Tiang Tujuh. Saya yakin Da Jon pun tidak tahu kalau pada sore hari, di musim panen, Singkarak akan berkabut. Kabut tersebut adalah kabut asap dari pembakaran ampas jerami oleh masyarakat sekitaran danau.
Dari jalur sirkulasi mobilitasnya menuju Singkarak, Da Jon mungkin juga tidak mengetahui bukit Paninggahan, di seberang sana, dari daerah sekitaran Tiang Tujuh, kebotakan lahan terlihat semakin lebar karena penambangan batu dan cadas. Tapi bagi penikmat keindahan danau, hal itu bisa terlupakan oleh matahari yang yang menyelinap di balik barisan bukit-bukit. Mungkin sesekali Da Jon harus mencoba memancing di sore hari, menurutku.
***
Awal 2015 lalu, banyak petani ikan yang mengalami kerugian. Ikan-ikan yang mereka budidayakan di Keramba Jala Apung (KJA) tiba-tiba teler, dan sekitar puluhan ton ikan mereka mati terapung.4 Kejadian seperti ini sebenarnya sudah jauh-jauh hari diprediksi oleh peneliti lokal. Karena kejadian serupa sudah kerap terjadi juga di Danau Maninjau. Prof. Hafrijal Syandri, pakar perikanan dari Universitas Bung Hatta, sebelumnya pada tahun 2011 lalu pernah mengingatkan hal ini sebagai respon akan diadakannya KJA di Danau Singkarak. Menurut Hafrijal, hal ini kemungkinan akan memicu ledakan populasi fitoplankton hingga kurangnya oksigen di permukaan, karena naiknya konsentrasi kandungan pada pakan ikan dalam keramba jaring terapung, seperti fosfor, belerang, nitrit, dan nitrogen. Pencemaran air Danau Singkarak itu pada akhirnya dikhawatirkan akan mengganggu populasi ikan-ikan lainnya, termasuk ikan bilih.5
Sebenarnya cukup banyak yang menolak rencana pengadaan KJA ini, terutama setelah melihat sering ada kejadian ikan-ikan mati terapung di Danau Maninjau. Keberadaan KJA dikawatirkan akan mebahayakan keberadaan ikan Bilih (atau Mystacoleucus padangensis) sebagai spesies langka. Tapi di lain pihak, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat, Yosmeri (2011) mengatakan, bahwa budidaya dengan KJA ini perlu dilakukan untuk membantu perekonomian masyarakat di sekitaran danau. Menurutnya, ini juga dilakukan untuk menyelamatkan ikan Bilih dari kepunahan. Karena dalam budidaya KJA ini, ikan yang dibudidayakan adalah ikan jenis Nila sehingga nelayan tidak perlu lagi menangkap Bilih secara berlebihan.6 Tapi menyikapi soal itu, Hafrijal lebih menyarankan untuk memaksimalkan populasi Bilih saja, dari pada membangun KJA. Namun, sejak dua tahun terakhir, KJA muncul dan terus bertambah di Danau Singkarak.
***
Empat orang pemancing tadi sepertinya sudah banyak mengobrol lagi. Mereka masih belum mendapatkan ikan. Sudah hampir tengah malam, belum juga ada yang datang bergabung dengan mereka. Angin di sini masih tetap kencang, danau masih terdengar berombak, turut bersamanya tercium aroma tidak segar. Saya pikir saya harus pulang lebih dulu dari mereka yang masih tinggal.
Sepanjang perjalanan pulang, saya lihat masih banyak orang-orang duduk dan memancing, dan di sisi lain danau yang saya lewati angin tidak terlalu kencang seperti di lokasi sebelumnya. Danau pun terlihat tenang. Mungkinkah angin ini bergerilya, pikir saya. Dengan lelah, angin membawa bau tiada segar itu, menampar kita bergantian, ke sini, ke sana, ke sini lagi, lalu ke sana lagi.
Adakah angin ini sengaja menampar saya untuk segera pulang? Atau mungkinkah angin-angin ini tersesat tak menemukan dirinya yang segar?∎
Footnote
1. | ⇑ | Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2011. Profil 15 danau prioritas nasional. Lebih jauh, Kementerian Lingkungan Hidup mengkategorikan Singkarak dan Daerah Tangkapan Air (DTA)-nya sebagai tipe B (basah) termasuk pada iklim tipe Afa dn Ama. Tipe Afa dicirikan dengan iklim hujan tropis dengan suhu normal di atas 220C, sedangkan tipe Ama dicirikan dengan iklim basah yang cukup, meskipun waktu kering terdapat kelebihan air dalam tanah dari bulan-bulan yang banyak hujan. Jumlah hari hujan daerah sekitar Danau Singkarak sekitar 144-288 hari/tahun dengan intensitas hujan antara 82-252 mm/bulan. Musim kering daerah sekitar Danau Singkarak hanya sekitar 2 bulan, yaitu pada bulan Juni-Juli (bulan dengan curah hujan bulanan kurang dari 100 mm). Suhu rata-rata di sekitar Danau Singkarak 260C – 270C, sedangkan temperatur air Danau Singkarak bekisar anatara 250C – 270C. Kelembaban relatif rata-rata 80,7. Bulan kering terutama terjadi pada bulan Juni sampai Juli. |
2. | ⇑ | Dua jari, tiga jari, dan seterusnya: sagadang paho (sebesar paha), sagadang pangka langan (sebesar pangkal lengan), dll., adalah tolok ukur yang biasa digunakan pemancing di Sumatera Barat untuk menakar ukuran ikan. Misalnya, tiga jari, berarti ikan tersebut seukuran tiga jari orang dewasa yang dirapatkan. |
3. | ⇑ | Lihat dalam Makalah Persentasi “Pengalaman Pengelolaan Danau Singkarak” Pada Acara Konferensi Nasional Danau Indonesia Ke-2 Semarang, Tanggal 13-14 Oktober 2011. |
4. | ⇑ | Haluan (12 Februari, 2015), “Puluhan ton ikan mati di danau singkarak“, diakses pada Mei, 2015. |
5. | ⇑ | Ingki Rinaldi (19 Mei, 2011), “Budidaya Di Danau Singkarak Ditentang”, diakses dari Kompas.com pada Mei, 2015. |
6. | ⇑ | Ingki Rinaldi, ibid. |
artikel ini sebelumnya dipublis di akumassa.org dalam rubrik Bernas degan judul Singkarak: Kisah-kisah Malam Para Pemancing