Beberapa bulan lalu dalam sebuah alek Nagari pacu jawi di Tanah Datar kenagarian Parambahan perhatian saya teralihkan pada sebuah kesenian yang dimainkan dalam acara itu. Orang-orang menyebut kesenian itu dengan oguang jana. Kesenian ini dulunya biasa hadir di acara keadatan atau acara kerakyatan di Nagari Parambahan termasuk di alek pacu jawi. Pacu jawi ajang pacu sapi yang telah ada kurang lebih 500 tahun yang lalu. Secara tradisi pacu jawi dilaksanakan secara bergiliran dalam empat kecamatan, yaitu kecamatan lima kaum, kecamatan pariangan, kecamatan rambatan dan kecamatan sungai tarab. Pacu jawi ini dilaksanakan di lahan persawahan yang telah habis dipanen. Sawah yang telah dipanen itu kemudian dipilih sesuai dengan ketentuan yang telah ada dari dahulunya. Ketentuan itu seperti, sawah kaum (tidak milik pribadi), kondisi air dan tanah yang harus cocok untuk arena pacu. . Bagi masyarakat setempat, aktivitas ini adalah manifestasi rasa syukur mereka atas hasil panen.
Sebagai sebuah kesenian rakyat Oguang Jana tentunya lahir dari sebuah sebuah gagasan dan manifestasi sesuatu. Seperti yang dikatakan Max Weber seorang sosiolog Jerman, bahwa kesenian sebagai sebuah manifestasi dari tindakan sosial seseorang atau kelompok dalam hubungannya pada penyampaian pesan atau gagasan kepada orang lain (Effendy:1995). Hal yang serupa juga dikatakan oleh Allan P. Meriam seorang etnomusikolog dan antropolog juga menjelaskan bahwa kesenian sebagai suatu bentuk tingkah laku dari manusia (R.Supanggah:1995).
Kesenian sebagai ekspresi kolektif ini bisa kita temui hampir di seluruh belahan dunia.ada yang hanya berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal ada pula yang berkembangsecara global. Seperti kesenian kolektif lainnya, sulit sebenarnya untuk melacak siapa yang mencetus atau menciptakan karya ini. Ia seakan-akan telah ada sebagai kakayaan sebuah kelompok masyarakat. Untuk kesenian Oguang Jana, ia diwariskan secara oral, dari satu pemain ke pemain lainnya. Siapa saja yang ingin mempelajarinya bisa saja memainkannya. Artinya ia tidak dikekang oleh sebuah otoritas untuk diamainkan orang-orang tertentu.
Dewasa ini oguang jana digunakan dalam tradisi pacu jawi (balap sapi), sebagai ekspresi dari aktifitas masyarakat lokal. Kesenian tradisi oguang jana terdiri dari empat instrument canang. Keempat canang tersebut memiliki nada yang berbeda dan pemainnya terdiri dari empat orang, setiap pemain hanya memainkan satu canang dengan pola dan dinamik yang berbeda. Pola tersebut dimainkan secara bergantian sehingga menghasilkan sebuah melodi yang harmonis.
Dalam konteks kesenian oguang jana, masing-masing pemain memegang peranan yang berbeda, diantaranya ada yang berperan sebagai anak, ada yang berperan sebagai jana, ada yang berperan sebagai cancang, danada yang berperan sebagai tondik. Setiap pemain memukul canang dengan alat pemukul yang terbuat dari kayu, yang biasa disebut dengan panggua. Khusus untuk pemain yang berperan sebagai jana kayu yang dijadikan sebagai panggua tersebut dibalut dengan kain, sehingga dinamik bunyi yang dihasilkan tidak begitu keras (lembut). Untuk pemain yang berperan sebagai anak, sebagai cancang, sebagai tondik kayu yang dijadikan sebagai panggua canang tersebut tidak dibalut dengan kain, sehingga bunyi yang yang dihasilkan jauh lebih keras (high) dari canang yang berperan sebagai jana.
Dalam permainannya oguang jana biasanya memiliki dua repertoar lagu. Setiap lagu mempunyai melodi yang berbeda. Secara tradisi repertoar lagu oguang jana biasa disebut dengan lagu tinggi dan lagu rendah. Pada pertunjukan kesenian oguang jana dalam kegiatan tradisi pacu jawi tersebut repertoar lagu yang dibawakan dimainkan secara acak dan tidak ada ketentuan untuk memulai dari lagu tinggi ataupun lagu rendah.
Permainannya oguang jana dimainkan dalam posisi duduk bersila di lantai yang beralaskan tikar yang terbuat dari plastik. Setiap canang diberi penggantung dari tali kemudian dipegang dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan berfungsi sebagai pemukul canang. Para pemain biasaya terdiri dari laki-laki yang sudah berumur enam puluh tahun ke atas. Sedangkan generasi muda tidak lagi berminat untuk mempelajarinya, karena menurut mereka kesenian tersebut tidak lagi produktif dan mereka lebih cendrung menuntut ilmu secara formal. Kondisi seperti ini membuat kehidupan kesenian tradisi oguang jana dikawatirkan menuju kepunahan.
Kurangnya antusias masyarakat terhadap kesenian oguang jana – yang selama ini telah menjadi salah satu budaya local – akan membuat kesenian hilang di Nagari Parambahan. Menurut masyarakat Nagari Parambahan, pertunjukan oguang jana memegang peran penting dalam menghimbau masyarakat untuk datang dan memberi semangat kepada peserta pacu jawi. Artinya apabila permainan oguang jana belum terdengar oleh masyarakat setempat, maka masyarakat belum datang ke tempat pelaksanaan pacu jawi tersebut.