Sabtu (19/10) Sebagai sebuah kesinambungan, kali ini Komunitas Gubuak Kopi bersama Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (kemendikbudristek) menyelenggarakan diskusi publik dengan tajuk “Jalan-Jalan Kecil Menuju Jalan Kebudayaan”. Diskusi ini menghadirkan Akbar Yumni (Tim Diskusi Dirjen Kebudayaan untuk Pemajuan Kebudayaan), Undri ,S.S, M.Si (Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III), Dr. Desmon, M.Pd (Kepala BAPPEDA Kota Solok), dan Milda Murniati, S.Pd (Kepala Dinas Pariwisata Kota Solok). Diskusi ini dimoderatori langsung oleh Albert Rahman Putra dari Komunitas Gubuak Kopi.
Dalam pengantarnya Albert menyampaikan, bahwa bagi Komunitas Gubuak Kopi diskusi ini adalah bagian dari rentetan upaya untuk mengarusutamakan kebudayaan dalam pembangunan, serta mendorong munculnya infrastruktur yang berpihak pada inisiatif budaya oleh warga. Albert menyebutkan sebelumnya wacana ini sudah dimulai pada Forum Pembangunan yang digagas oleh Jatiwangi Art Factory di Bappenas pada tahun 2023, dalam forum tersebut Komunitas Gubuak Kopi turut terlibat berbagi mengenai wacana dan inisiatif yang digagas oleh komunitas, dalam mendorong ide-ide pembangunan dari perspektif warga, dengan pendekatan seni budaya. Selanjutnya, pada Kongres Kebudayaan Indonesia tahun 2023 di Kemendikburistek, Komunitas Gubuak Kopi juga menjadi salah satu panelis dalam pembicaraan “melumbungkan tanah dan ruang” sebagai inisiatif mengupayakan keberlangsungan dan kemandirian praktik-praktik penyelamatan/pengelolaan lahan oleh kolektif.
Diskusi publik kali ini berfokus pada refleksi 7 tahun Undang-Undang No.5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Agenda ini memerlukan keterlibatan banyak pihak seperti komunitas dan pemangku kebijakan. Albert menyebutkan, dalam Kegiatan ini Komunitas Gubuak Kopi juga mengundang para calon kandidat Pilkada Kota Solok juga tim pemenangan masing-masing calon, dengan harapan terdapat pemahaman baru dan upaya dari masing-masing calon pimpinan daerah untuk mengimplementasikan paradigma baru “jalan kebudayaan” di daerah. Menjadikan kebudayaan sebagai arus utama pembangunan. Diskusi ini berupaya mempertemukan jalan-jalan kecil (inisiatif warga) pada jalan kebudayaan (agenda strategis bersama) di masa depan. Pantikan dimulai dari Kepala Dinas Pariwisata, Bundo Milda yang memaparkan tentang pengertian pariwisata secara harfiah yang berarti perjalanan dari sebuah tempat ke tempat lain yang dilakukan orang atau kelompok demi melakukan rekreasi, pendidikan, atau bisnis.
Pariwisata di kota Solok lebih merujuk kepada kebudayaan karena kota Solok masih kental dengan budayanya. Kebudayaan menjadi nomenklatur di bagian Dinas Pariwisata. ”Di kota Solok yang mengelola kebudayaan adalah dinas pariwisata” ujar Bundo Milda. Bagian pemasaran pariwisata, promosi kebudayaan, industri pariwisata, dan ekonomi kreatif masuk dalam struktur Dinas Pariwisata. Program kebudayaan di kota Solok lebih dominan sebenarnya dan tidak seimbang dengan struktur di dinasnya. Pemajuan kebudayaan di Solok dimulai dari bundo kanduang, LKAAM, pemangku adat dan lembaga. Bagaimana kita menjaga adanya komunitas seni tradisi, musik karawitan, tradisi fashion baju basiba, tari-tarian, dan SDM nya juga harus dituntun. “Raso jo pareso, ereang jo gendeang itu perlu, raso dibaok naiak, pareso dibaok turun”, ungkap bundo Milda berpetatah-petitih.
Kita tidak hanya melestarikan tradisi, tapi harus diseimbangkan dengan nilai-nilai luhur. Bagaimana kita mengembangkan kebudayaan yang ada, sementara adab tidak ditumbuhkan. Itulah pentingnya SDM dikembangkan dalam kebudayaan. “Bundo bangga dengan Komunitas Gubuak Kopi, karena komunitas ini sudah membawa kebudayaan Minang, khususnya Solok hingga ke kancah internasional. Pemerintah butuh kolaborasi dengan berbagai stakeholder seperti komunitas. Mari sama-sama berkolaborasi memajukan kebudayaan di kota Solok” tutup Bundo Milda mengakhiri pembukaan diskusi.
Diskusi dilanjutkan oleh kepala BAPPEDA Kota Solok, Pak Desmon fokus menyatakan bagaimana mengarusutamakan kebudayaan sebagai jalan yang lebih besar lagi. Undang-undang No.8 tahun 1956 tentang kota Solok memiliki landasan karakter falsafah Minangkabau yaitu adat salingka nagari. Didalamnya memuat 10 poin tentang undang-undang pemajuan kebudayaan UU No.5 tahun 2017 yang harus menjadi haluan pembangunan nasional. Sementara di undang-undang Kota Solok, kita harus berdasarkan kepada nilai luhur dan adat istiadat juga pelestarian lingkungan. Ketahanan budaya sudah menjadi landasan utama dari 10 poin tersebut, yaitu untuk membangun karakter manusia juga pelestarian budaya. “Dalam setiap kebudayaan ada kesenian, tetapi dalam kesenian belum tentu ada kebudayaan”, ujar Pak Desmon.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) memuat tentang aspek sejarah para pendahulu yang menyerahkan tanah ulayat mereka untuk pembangunan kota Solok. Kota Solok sebagai suatu kebudayaan dan dan berhimpun atas entitas kebudayaan yang ada. Solok sebagai kota yang maju, sejahtera, dan berkebudayaan. Solok madani menjadi salah satu dari 10 poin Pemajuan Kebudayaan, adat dan budaya yang sudah menjadi landasan pembangunan kota Solok. Dalam praktiknya, khusus sisi kebudayaan mengadopsi Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah yang tertera dalam RPJPD sampai tersusunnya rencana kerja pembangunan daerah yang melibatkan pemerintah dan stakeholder terkait. Mulai bulan Desember 2024 nanti, setelah terpilihnya walikota akan banyak forum diskusi untuk merencanakan kegiatan yang bisa diajukan untuk sumber pendanaan kegiatan. RPJPD juga akan membahas program apa saja yang akan dilaksanakan selama 5 tahun kedepan. “Saya berpikirnya tidak lagi jalan kecil, karena itu adalah amanat UU tentang jangka panjang nasional, kebudayaan sudah menjadi landasan pembangunan nasional”, tutup Pak Desmon dalam pemaparan materinya.
Diskusi ini juga dipantik oleh Akbar Yumni selaku Staf Khusus atau Tim Diskusi Direktorat Jenderal Kemendikbudristek untuk Pemajuan Kebudayaan. Sudah banyak yang melakukan diskusi kebudayaan, poin pentingnya juga melibatkan warga dan pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah selaku fasilitator. Budidaya sebenarnya punya pengaruh alam, seakan ada manusia yang dibudidayakan. Budaya itu masih menjadi kepentingan elit, seolah ada yang perlu diadabkan. Juga ada pengertian budaya yang lebih sederhana yakni tentang bagaimana kehidupan orang sehari-hari? “Negara wajib melestarikan budaya, yang melandasi pendidikan itu sebenarnya kebudayaan”, ujar Akbar. Kebudayaan melandasi aspek kehidupan, penting banget karena budaya bisa menjadi lumbung pengetahuan. Bagaimana ia didistribusikan sebagai lumbung pengetahuan. Sebagai bidang yang otonom budaya bisa sebagai landasan aspek kehidupan.
Prioritas program pemerintah masih berlandaskan economic value. Pemerintah seharusnya membuat kebudayaan menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung kepada APBN. Dampak komunitas sebagai pelaku utama itu juga menjadikan kebudayaan sebagai praktek sehari-hari. Mewacanakan narasi yang dilakukan sehari-hari. Agenda dekolonisasi, seperti kegiatan Lokakarya Kurun Niaga #4 yang tengah berlangsung, juga memberikan kontribusi terhadap definisi kebudayaan. Ideologi pemajuan juga termasuk ide yang radikal, menurut Akbar. Seperti di museum pelestarian benda yang diberikan perlindungan dengan kaca. Apakah mungkin budaya itu kebal oleh waktu? Mungkinkah pemajuan lebih produktif ketimbang kebudayaan yang hanya di museum, ruang-ruang pertunjukan, dll?
Pasca Undang-undang Pemajuan Kebudayaan Nasional sebaiknya ada juga Pemajuan Kebudayaan Daerah. Ketika kebudayaan berjalan dinamis maka dampak ekonominya juga naik. Inklusifitas, juga bagian penting dari semangat Pemajuan Kebudayaan. Bagaimana dengan kebudayaan yang berbeda, bisa tumbuh dan belajar bersama. Itu perlu ditumbuhkan sebagai kebudayaan sehari-hari yang kita bentuk. Kebudayaan daerah juga bagian dari kebudayaan nasional itu sendiri.
Sesi diskusi dibuka oleh Albert selaku moderator, dan Buya Khairani menjadi penanggap pertama. Hari ini kita melihat salah satu sudut pandang, beberapa tahun belakang banyak fenomena alam seperti; banjir, tsunami, longsor, dll. Lahan yang dulu ditanami pohon pada era presiden Soeharto gunanya untuk melindungi daerah dari bencana alam. Ada yang namanya reboisasi dan penanaman pohon oleh ABRI masuk desa, tapi sekarang ini justru diganti dengan tanaman perkebunan yang menguntungkan pihak tertentu seperti kelapa sawit. Sehingga kebanjiran dan kehancuran hutan menyebabkan kerugian masyarakat. Saat ini banyak lembaga penanggulangan bencana, tapi apakah mereka memikirkan keberlangsungan hidup masyarakat?
Di Komunitas Gubuak Kopi ada program Daur Subur dan Bakureh, yang mempelajari kearifan lokal. Saat ini apakah ide kearifan lokal bisa dijadikan sebagai alternatif lain dari penanggulangan bencana? dan ide-ide keselamatan lingkungan di masa mendatang?
Terkait ini ditanggapi oleh Pak Akbar, bencana alam ialah satu contoh tentang kebudayaan yang tidak berangkat dari kehidupan sehari-hari. Banjir bandang dan bencana yang terjadi akhir-akhir ini bisa jadi karena masyarakat kita tidak lagi berlandaskan kebudayaan. Seperti bagaimana membangun sebuah museum menjadi kebiasaan sehari-hari. Kebijakan tata kelola lingkungan dan ketahanan pangan juga merupakan kebudayaan. Bagaimana memelihara yang sehari-hari tetap terhubung dengan kebijakan di bidang kebudayaan. Hal serupa juga diupayakan oleh teman-teman Komunitas Gubuak Kopi melalui platform Daur Subur.
Albert menambahkan, sebelum ini, kebudayaan seringkali dilihat hanya sebagai pestanya saja, seperti pameran, festival, dan pertunjukan. Kita sering terjebak dalam slogan “pembangunan berdasarkan kebudayaan”. Sejauh mana kebijakan tersebut bisa dipraktekkan dalam pemerintahan? Tentu hal itu bisa kita kritisi bersama. Ide pelestarian seringkali terjebak dalam proses “memajang barang antik”, tapi transfer pengetahuan tidak terjadi disana. “Adat dipakai baru, baju dipakai usang”, adalah sebuah pesan yang sering kita dengar karena adat juga tetap harus berkembang, yang mana usang-usang dipabaharui, lapuak-lapuak dikajangi, sakali aia gadang, sakali tapian baraliah… (yang usang diperbaharui, yang lapuk disokong kembali, sekali air besar, ketika itu tepian berubah…) walaupun berubah berkisar di tikar yang selembar”
Tanya jawab dalam diskusi pun berlanjut. Kali ini, Hendra dari perwakilan kelompok tani Galanggang Raya Farm yang menanggapi. Mengenai yang disampaikan bahwa kebudayaan itu apa yang kita lakukan sehari-hari. Sebagai seorang petani misalnya, berarti dia sudah berkebudayaan karena akan melakukan kegiatan yang sama setiap harinya. “Di kota Solok tentu ada bareh solok nya, tapi kenyataan di lapangan untuk dapat beras asli Solok itu sendiri susah”, ungkap Hendra. Kenapa banyak anak muda yang tidak mau jadi petani, apakah karena budaya sebelumnya dari orang tua yang menyampaikan bahwa menjadi petani tidak membuat kita sukses di masa depan?
Pak Desmon kemudian menanggapi bahwa dalam konteks pemajuan kebudayaan yang tidak boleh dilupakan adalah kearifan lokal. Namun, sekarang sudah terkapitalisasi karena perkembangan zaman. Di Jawa Barat, ada desa adat Ciptagelar yang sudah memiliki cadangan pangan untuk beberapa tahun kedepan. Sementara pupuk organik juga sebenarnya sudah ada sejak lama. Orangtua kita dahulu sudah berpikir jauh ke depan. “Sekarang kita lihat di sawah solok, kasian dengan sawah yang berada di bawah karena tempat berkumpulnya residu pupuk kimia dari sawah yang terdapat di atasnya”, ujar Desmon.
Agaknya masyarakat kita sudah lupa akan pepatah, Ka rimbo babungo kayu, ka lauik babungo pasie. Akibat irigasi yang dipagari beton, tidak ada lagi belut-belut yang bisa mengurai residu kimia. Kita akan merumuskan kota Solok untuk 5 tahun ke depan, tentang bagaimana kearifan lokal ini agar kembali hidup. Kita harus menjadikan UU pemajuan kebudayaan sebagai landasan pembangunan. Pemerintah tidak bisa berbuat tanpa komunitas yang juga bergerak ke arah pemajuan kebudayaan. Kita juga harus melakukan autokritik terhadap kebudayaan yang terjadi dalam keseharian kita.
Menurut Bundo Milda, generasi muda banyak yang enggan melakukan kearifan lokal, contohnya aktivitas bakureh. Dalam Bakureh terdapat: gotong royong, silaturahmi, salam sapa, serta sumando pasumandan yang bergaul. Sayangnya yang pergi bakureh sekarang banyak orang tua saja, anak muda sudah jarang berpartisipasi. Orang Solok setiap kegiatan ada budaya berpakaiannya. Baju basiba misalnya yang mengandung makna tigo tungku sajarangan : adat, agama, dan norma hidup. Baju basiba memiliki kriteria longgar yang menggambarkan ; alam takambang jadi guru dan punya kesabaran. Hal ini diartikan bahwa sebagai orang minang kita harus berhati lapang. Namun sayang sekali generasi muda masih enggan menggunakannya. Di kota Solok juga masih berlangsung adat yang kental mulai dari tradisi kelahiran sampai kematian. Kemudian terkait “beras Solok”, pada kenyataannya makin berkurang karena petani mengolah sawah dengan cara berhutang. Belum dipanen berasnya, hasilnya sudah ditetapkan akan dibawa para tengkulak ke luar kota Solok. Ini juga sudah menjadi pembahasan kami bersama dinas pertanian dan pangan.
Mas Tomi, dari Komunitas Parak Batuang, melempar pertanyaan menarik, seperti apa kebudayaan yang kita tuju? Beda kebudayaan dengan adat istiadat itu seperti apa? Karena saya sering di paguyuban dan banyak adat Jawa-nya. Sementara kami tinggal dan bergaul dengan orang Minang, apakah kita harus mengenal budaya minang serta mempraktekkannya dalam keseharian?
Selanjutnya ada tanggapan lain dari peserta diskusi, ialah Pak Raka yang merupakan seorang guru bertanya terkait jalan kecil menuju kebudayaan. Pada akhirnya kebudayaan juga bermuara ke pendidikan. Perkembangan teknologi yang sudah industrial selalu mengarah ke dunia modern. Banyak kasus yang melibatkan generasi muda, seperti pelajaran mulok (muatan lokal) yang sudah ada tapi tidak ada dampak yang baik terhadap perubahan generasi muda. Pendidikan karakter tetap tergerus, barangkali kita sudah lupa dengan pendidikan minang zaman dulu yang memiliki metode pengajaran bersumber pada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Pendidikan di Minang, ada di lapau dan surau. Apa ada metode yang bisa menggelorakan semangat pendidikan untuk membudayakan kearifan lokal? Agar semaju apapun modernisasi ini nilai luhur kebangsaan tetap tertanam.
Berkaitan dengan kurangnya antusiasme generasi muda terhadap kegiatan kebudayaan yang ada di minang. Seperti kata pepatah: biriak-biriak tabang di samak, dari samak turun ka padi. Dari niniak turun ka mamak, dari mamak turun ka kami. Peran niniak mamak dan orangtua agar memberikan wejangan dan informasi tentang urgensi kebudayaan agar hadir di kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana peran pemerintah untuk meningkatkan antusiasme generasi muda terhadap adat dan kebudayaan? “Agak kurang tepat kalau mengatakan bahwa generasi muda banyak yang tidak tertarik mempelajari budaya, sementara hal ini juga dikarenakan peran mamak yang sudah mulai luntur”, ujar salah seorang peserta merespon pernyataan narasumber.
“Sebenarnya hal itu juga merupakan peran perempuan sebagai bundo kanduang” ujar Bundo Milda menanggapi. Norma dan nilai adat itu bahkan dimulai dari merencanakan keturunan, saat dikandung, dilahirkan, disusui, sampai membesarkan anak. Di ranah minang, peran perempuan itu ada tiga yakni ; ibu bagi anak, istri bagi suami, pemimpin perempuan dalam kaumnya. Kembali ke raso jo pareso tadi sangat perlu ditanamkan. Muluik manih kucindam murah, budi baik baso katuju. Anak jika diajarkan sedari dini maka akan terbawa hingga dewasa.
Seorang ibu adalah limpapeh rumah gadang, kalau tiangnya kokoh maka yang lainnya juga kokoh, jika ibu sudah runtuh maka semuanya ikut runtuh. Dari seg akhlak juga harus ditanamkan, agar menjadi filter kemanapun melangkah. Begitupun niniak mamak, harus ditempatkan ke posisinya. Madrasah pertama di kehidupan itu ialah keluarga. Anak dipangku kamanakan dibimbiang. LKAAM di kota solok juga sangat eksis, kita bisa berdiskusi soal pendidikan adat dan kebudayaan di sekolah. Belum lagi kato nan ampek yang sudah mulai luntur. Hingga banyak yang tidak tau tentang sumbang 12. Minangkabau menganut sistem kekeluargaan yang besar, sehingga berkarib dan berkerabat adalah budaya yang mengakar kuat.
Adat adalah bagian dari kebudayaan yang ada dalam sistem pemajuan kebudayaan. Belajar muatan lokal, pengetahuannya hanyalah level 1, tidak ada proses kulturisasi. Minangkabau tidak pernah memaksa suku yang hidup berdampingan untuk menjadi orang Minang. Orang Minang sangat inklusif, nenek moyang kita sudah berpikir melampaui zaman, hanya sekarang saja kita yang tidak mempraktekkannya. Belanda itu menghancurkan Minang, salah satunya untuk menghancurkan kebudayaan. Salah satunya untuk pelestariannya ada di sekolah, kalo berharap di rumah sekarang sudah tergerus nilainya. Kota solok adalah satu entitas kebudayaan: budaya Solok dan budaya yang ada di kota Solok. Bisakah kita di komunitas untuk menggagas budaya leluhur yang sudah ada? Tutur Pak Desmon.
Di sela-sela diskusi, datanglah Pak Undri dari Balai Pelestarian Daerah III yang langsung ditodong oleh moderator untuk merefleksi penerapan Undang-undang Pemajuan Kebudayaan di daerah. Beliau juga memaparkan tentang UU No.5 th 2017, yang merupakan momentum besar tentang kebudayaan dan cita-cita luhur. Sejak lama regulasi kebudayaan itu sudah ada, persoalan budaya itu ada di undang-undang. Perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan penggunaan. Paradigma lama tentang pemajuan kebudayaan ada di pemerintah, tapi dengan adanya UU itu dibalik menjadi komunitas sebagai pelaku, sementara pemerintah hanya sebagai fasilitator. Komunitas harus menjadi garda terdepan dalam pemajuan kebudayaan. Bagaimana transfer pengetahuan sebagai landasan utama dari maestro kebudayaan ke generasi penerusnya. Peran pemerintah memfasilitasi terjadinya transfer pengetahuan kebudayaan tersebut.
Kearifan lokal yang hilang tidak sesederhana perilaku tentang generasi muda yang tidak melestarikan, tapi juga ada design dan kompleksitas kebijakan dibelakang itu yang membuatnya terjadi. Albert menggantung pernyataan itu, menjadi topik pemikiran sementara untuk dilanjutkan diagenda diskusi berikutnya. Ia kemudian meminta closing statement dari Akbar. Ia turut memberi refleksi dan pertanyaan bersama. Pendidikan kontekstual berangkat dari kehidupan sehari-hari, bagaimana mempertahankannya? Ketika melakukan sebuah praktik artistik lebih cair menghidupi pengetahuan tradisi. Bagaimana cara kita tidak bergantung kepada kebudayaan yang termodernisasi. Tetap pertahankan keberagaman, lebih penting menjaga keragaman bukan menyeragamkan budaya yang ada. “Bagaimana pembacaan budaya di daerah agar lebih kompleks dan beragam,” tutup Akbar.
Diskusi juga ditutup oleh Buya Khairani. Sudah banyak dibicarakan, bagaimana bentuk dan keadaan budaya sendiri di tengah masyarakat. Indonesia baru ditinggalkan oleh penjajahan 79 tahun yang lalu, hal ini menimbulkan adanya gejolak ekonomi. Tetua kehilangan keseimbangan kebudayaan untuk diteruskan kepada generasi. Kebudayaan sekarang mudah kritis dan susah dicerna masyarakat. Ada juga semacam nilai dan hukum seperti HAM yang sudah membatasi kreativitas di dalam adat itu sendiri. Seperti peran mamak, yang dianggap sebagai orang berkuasa padahal mamak itu barajo ka kamanakan, yang harus kita kritisi bersama kembali. Tutup Buya mengakhiri diskusi siang itu.
Amelia Putri
Solok, 19 Oktober 2024