MENGKRITISI ARSIP KOLONIAL DENGAN SUDUT PANDANG WARGA

Di hari ke-6 lokakarya Kurun Niaga #4 ini kita kedatangan narasumber dari Bukittinggi. Ia adalah  Maiza Elvira seorang pengajar ilmu sejarah di UIN Bukittinggi dan alumni peneliti di Departemen Sejarah UGM. Baru-baru ini Elvira menyelesaikan studi mengenai kebencanaan, wabah, dan kecurangan-kecurangan politik yang terjadi di masa lampau. Elvira membaca ulang arsip sebagai upaya penelusuran pengetahuan dan menggugat narasi yang dibentuk oleh kolonial. Pada sesi ini Elvira akan berbagi pengalaman penelitiannya mengenai pendayagunaan arsip dan sikap kritis terhadap arsip itu sendiri.

Maiza Elvira atau yang biasa kita sapa Kak El bercerita tentang buku Memorie Van Overgave yang membahas serah terima jabatan pejabat lama ke pejabat baru pada masa pemerintahan kolonial, yang mana hal itu masih dipakai sampai sekarang. Sebenarnya ada banyak praktik kolonial yang masih menjadi kebiasaan dan susah untuk diubah terlebih pada bidang pelaksanaan pemerintahan. Kita bisa melihat sejarah sebagai kepentingan politis. Seperti yang terjadi pada Tuanku Imam Bonjol yang seringkali dianggap pemberontak oleh pemerintahan kolonial, sementara bagi kita Tuanku Imam Bonjol adalah seorang pejuang kemerdekaan. Tak ada yang salah dari kedua sejarah itu, semua tergantung sudut pandang.

Cerita sejarah banyak yang tidak berdasarkan arsip, ada yang bersifat meta histori yang biasanya diawali dengan kalimat “konon katanya”. Biasanya cerita didapatkan dari cerita mulut ke mulut dan tidak memiliki arsip yang jelas. Cerita sejarah biasanya lekat dengan keseharian, karena sudah menjadi legenda. Cerita ini bisa diarsipkan jika memiliki bukti seperti foto. Foto bisa dijadikan sumber arsip, tapi dokumentasi foto cenderung bisa diedit dan dijadikan alat untuk propaganda. Arsip yang digunakan harus dikritik dulu, jangan langsung menggunakan sebagai sumber penelitian.

Ada cara mengumpulkan penelitian tentang arsip, seperti mencari data tentang subjek penelitian yang berangkat dari beberapa fakta sejarah dan melakukan triangulasi data. Kemudian Fariz dari Manual Kampar menanyakan apakah ada penelitian tentang foto yang dijadikan sebagai sumber primer? Menurut Kak El, sebenarnya foto bisa dijadikan data primer jika diperkuat dengan narasi dan data pendukung lainnya.


Foto mulai dijadikan sumber sejarah sejak tahun 1890an. Sebelum itu arsip gambar hanya berupa sketsa, seperti benteng For de kock.  Hal ini memperkuat bahwa peta dan sketsa bisa juga dijadikan sebuah sumber penelitian. Kedepannya banyak harapan agar fotografer dan penulis bisa memasukkan fakta sejarah dalam karyanya, agar nanti bisa dijadikan sebagai bahan sumber penelitian.  Arsip nasional setelah tahun 1960 sudah berantakan karena kolonial Belanda mulai meninggalkan Indonesia. Arsip di masa kolonial lebih lengkap karena mereka sering menulis dan melakukan praktik pengarsipan.

Kelas berlangsung cukup santai dan cair, tidak ada pemaparan materi karena Kak El hanya berbagi cerita. Hal ini membuat partisipan terpancing untuk bertanya-tanya. Saat itu Irvan dari Forum RT05 menceritakan sewaktu berkunjung ke museum kereta api di Sawahlunto, ada foto zaman kolonial yang mana saat pekerja membuat terowongan kereta justru diajak berfoto bersama oleh penjajah. Masih ada romansa kedekatan antara pekerja dan orang kolonial. Jadi menimbulkan pertanyaan: apakah memang benar Belanda itu kejam? 

Jadi pada tahun 1901, terjadi politik etis untuk membalas budi kepada rakyat pribumi karena kekayaan alamnya sudah diperas oleh bangsa kolonial. Mulailah mereka melakukan edukasi dengan cara  membangun sekolah untuk pribumi dan etnis pendatang. Dilakukan juga transmigrasi atau perpindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera. Juga melaksanakan irigasi sebagai upaya melakukan tanam paksa. Pasca politik etis, Belanda menunjukkan bahwa mereka tidak kejam. Rakyat nusantara diajarkan bagaimana cara bertanam, disuruh sekolah, dan termasuk mulai berfoto berdampingan dengan para pekerja tambang. Padahal jika ditelisik, banyak foto orang lokal yang tertekan saat berfoto dengan Belanda. Sebenarnya itu adalah propaganda, foto inlander dengan kolonial banyak diproduksi pasca politik etis. Mulailah mereka mendatangkan penghibur seperti ronggeng, judi, sabung ayam, dll. 

Dea dari Komunitas Solu Balige juga menanyakan tentang patokan yang bisa menjadikan foto sebagai sumber primer untuk penelitian. Kak El berpendapat bahwa sebenarnya kita sudah terjebak dari situasi yang sudah di-setting. Ketika kita mau menjadikan foto sebagai sumber utama, itu adalah arsip satu-satunya yang tersisa. Sebelum foto, kita bisa berangkat dari sejarah lisan terlebih dahulu. Jika sejarah lisannya juga tidak ditemukan, maka foto bisa dijadikan sumber primer. Dalam budaya kita, menulis tidak dibiasakan dan arsip belum menjadi hal yang begitu penting. Seperti contoh skripsi mahasiswa yang bisa ditemukan sebagai pembungkus makanan di pasar, adalah bukti bahwa sebuah arsip tulisan belum begitu dihiraukan. 

Kemudian ditanggapi juga oleh Eka dari Komunitas Ngobrol Buku bahwa membaca sastra sebagai sumber sejarah bisa memuat hal-hal lebih detail dan tentunya tidak seperti di buku sejarah. Di sebuah novel sejarah, memuat narasi tentang upaya dari kolonial untuk menjadikan mereka kuli kontrak seumur hidup. Pada sastra ada keleluasaan pengarang untuk menghadirkan dunia yang baru. Sebatas mana data arsip diolah menjadi sastra dan bisa dijadikan sebagai arsip?


Banyak penulis yang mengangkat fakta sejarah sebagai sebuah karya novel. Ada juga yang menganggap bahwa novel sebagai realita sejarah saking tepatnya penulis menggambarkan soal tempat dan tahun, padahal itu hanyalah imajinasi penulis. Kita banyak berharap pada arsip Belanda, memang banyak sejarah yang tercatat lengkap dan terdokumentasikan. Sejarawan yang kritis tidak langsung percaya atas dokumentasi arsip Belanda, bisa jadi dokumentasi dibuat hanya sebagai pencitraan saja. 

Seperti cerita di Deli, setiap perkebunan punya klinik tapi bukan dijadikan ruang pengobatan melainkan sebagai kurungan orang-orang sakit dan akhirnya dibuang. Berita tentang kejadian-kejadian di perkebunan juga banyak dijadikan novel, tapi tidak diungkap tentang kekejaman yang terjadi di lapangan. Malah ketemunya di artikel dan laporan di surat kabar zaman kolonial. Tidak semua orang Belanda yang pro penjajahan, ada juga yang pro terhadap warga lokal. Memang harus selektif untuk dijadikan sebagai sumber arsip. 

Di sawahlunto sebenarnya ada 3 jenis pekerja yaitu orang rantai, kuli kontrak, pekerja lepas.  Namun dari arsip yang ada terlalu ditonjolkan tentang orang rantai, padahal di setiap pertambangan ada orang rantainya. Kemudian pada masa kerja paksa dan transmigrasi, posisi perempuan selalu menjadi target, baru turun kapal sudah ditarget sama penjajah siapa yang sekiranya akan dijadikan “nyai”.

Bang Akbar juga menanggapi bahwasannya dokumentasi peristiwa masa lalu tak lepas dari imajinasi pelukis, seperti lukisan Raden Saleh. Bahkan pelukis komunis terkenal tak lepas dari imajinasi kolonial. Sulit memisahkan mana yang kolonial dan tidak, susah untuk dibedakan. Apa mungkin kita bisa membedakan antara kolonial dan lokalitas? 

Konstruksi kolonial masih melekat sangat kuat, sejarah konvensional juga masih sangat kokoh. Dari temuan Kak El, rakyat kita taunya Pangeran Diponegoro adalah seorang pahlawan, padahal dia berjuang bukan untuk rakyat melainkan kaumnya saja. Pangeran Diponegoro yang melawan Herman Williem Daendels (Mantan Gubernur Hindia Belanda) sebenarnya karena pemungutan pajak. Pangeran Diponegoro melawan Belanda karena pajak yang dipungut dari rakyat tidak sampai ke kaum bangsawan. Daendels menerapkan pajak 5 gulden kepada seluruh rakyat, sehingga kaum bangsawan / keluarga Diponegoro tidak kebagian. Walaupun kolonialisme sudah habis, tapi secara pemahaman masih bercokol sangat kuat. Seperti kriteria perempuan cantik: tinggi, putih, mancung, dan langsing. Itu adalah pemahaman yang begitu kolonial sekali. 

Setelah istirahat dan makan siang, partisipan diajak Kak El untuk simulasi menelusuri arsip kolonial melalui situs https://www.delpher.nl/ dan situs https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/imagecollection-kitlv juga beberapa situs lainnya. Pada situs-situs ini arsip bisa berupa banyak bentuk, ada dalam buku catatan, lukisan, foto, juga berita-berita lama di surat kabar pada zaman kolonial. Belajar mencari kata kunci di website untuk mencari arsip tentang daerah masing-masing misalnya menggunakan Bahasa Belanda. Kebanyakan menggunakan bahasa ejaan lama. Kak El mencontohkan membaca arsip dengan kata kunci fort de kock yang merupakan nama kolonial Kota Bukittinggi. “Intinya menggunakan keyword yang sesuai zamannya dengan bahasa Belanda” Tutup Kak El di kelas lokakarya sore itu.

Amelia Putri
Solok, 16 Oktober 2024

Amelia Putri, S.TP (Padang Pariaman, 1993) biasa disapa Amel. Sehari-hari berkegiatan di Galanggang Raya Farm, sebuah peternakan dan ruang berbagi inspirasi petani milenial di Gelanggang Betung, Kota Solok. Juga mendirikan sebuah pustaka kecil @pustakagrfinstitute yang digarap untuk mengundang anak-anak di sekitar farm agar gemar membaca. Ia juga menjadi salah satu Inkubator Literasi Perpustakaan Nasional (ILPN) Prov. Sumbar th 2022. Pertengahan tahun 2021 merupakan awal mula berkenalan bersama Komunitas Gubuak Kopi dalam agenda Daur Subur #6 di Kampung Jawa, Kota Solok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.