Sokong Publisher adalah sebuah platform penerbitan buku terkait fotografi yang berbasis di Yogyakarta. Mereka sudah hadir sejak tahun 2018. Penerbit ini menyokong praktik artistik dan diskursif dalam langkah memantik pembahasan terkait fotografi secara berkelanjutan. Sokong mengutus Prasetya Yuda sebagai narasumber di project Kurun Niaga kali ini. Pras sudah pernah menerbitkan zine pada tahun 2014. Selepas kuliah, Pras dan kawan-kawan memutuskan mendirikan publisher untuk ruang penerbitan buku fotografi. Mereka belajar membuat publikasi digital dan editorial di tahun pertama. Menurut Pras, publikasi cetak membangun peristiwa sosialnya sendiri. Melalui zine jugalah Sokong Publisher akhirnya bisa terhubung dengan komunitas-komunitas di seluruh nusantara.
Sokong pertama kali menerbitkan zine berisikan foto-foto bencana gempa Lombok tahun 2018. Kumpulan foto tersebut kemudian dibukukan, tentunya foto diambil dalam sudut pandang relawan dan jarang seperti yang ditemukan di media massa. Zine itu kemudian dicetak sejumlah 50 eksemplar di Yogyakarta dan diperjual-belikan. Selain zine, Sokong publisher juga menerima penerbitan buku custom/sesuai keinginan penulis, tapi proses cetaknya membutuhkan waktu yang lama. Sokong setidaknya sudah menerbitkan 17 buku serta zine sejak pertama berdiri.
Pras membawa contoh-contoh buku fotografi yang diterbitkan oleh Sokong. Ada yang berupa dummy, zine, dan buku yang dipasarkan. Buku-buku fotografi ini seolah menabrak stereotip buku pada umumnya, karena buku yang diciptakan tidak seperti biasa. Pras juga membawa contoh ukuran-ukuran buku, mulai dari kertas ukuran plano, A2, A3, A4, juga A5. Kebanyakan buku-buku yang beredar adalah ukuran A5. Sementara buku-buku yang diterbitkan Sokong bisa hanya berupa lembaran-lembaran A4 yang dilipat sesuai praktik artistiknya.
Partisipan diajak memikirkan proyek artistik berupa buku manual seperti apa yang akan mereka buat. Untuk membuat sebuah dummy buku manual ini, partisipan bisa mengambil ide dari materi “situs ingatan” dan kolase yang telah dikerjakan hari sebelumnya. Praktik produksi buku ini nantinya diharapkan bisa menjadi salah satu pilihan artistik para partisipan dalam mengembangkan ide-ide mereka di kolektif masing-masing, selain itu tentu juga bisa dipamerkan pada saat open lab (presentasi publik hasil lokakarya) nanti. Pras memberikan waktu hingga jam istirahat untuk mempersiapkan bahan-bahan buku. Setelah makan siang, partisipan diminta mengolah bahan tersebut menjadi sebuah dummy buku. Lalu sehabis istirahat sore masing-masing partisipan diminta untuk presentasi tentang dummy buku yang telah dikerjakannya.
Presentasi dimulai dari Eka Dalanta, butet dari Deli Serdang yang konsisten membahas tentang kampung halamannya di Pancur Batu. Pada zaman kolonial, perkebunan tembakau di Deli memiliki nama Arnhemia, perkebunan ini yang menjadi pusat perekonomian memicu dibangunnya berbagai fasilitas. Mulai dari pembangunan stasiun kereta api, pertokoan, dan bioskop kota. Eka membuat dummy buku ukuran A5 yang memuat info tentang Pancur Batu dan hal-hal yang melekat di ingatannya tentang masa lalu.
Kemudian Awang mempresentasikan tentang buku berupa lipatan seperti flyer yang memuat info tentang peradaban yang dimulai dari sumur. Sebagai anak alam yang sering berkegiatan di alam bebas, Awang menaruh perhatian khusus kepada sumur-sumur yang ikut membentuk peradaban manusia. Menurut Awang, keberadaan sumur ini banyak kaitannya dengan mitos-mitos yang beredar di masyarakat. Sumur banyak dikaitkan dengan tempat suci, seperti yang ada di Candi Muara Takus. Juga keberadaan sumur minyak di Riau mempengaruhi kualitas air tanah. Dampak modernisasi sumur berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan.
Lalu Fauzan dari Bukik Batabuah, Agam mempresentasikan dummy bukunya yang berukuran A5. Bukunya berisi tentang perkebunan tebu di Bukik Batabuah di masa kolonial. Fauzan menampilkan juga tentang pondok kilang penggilingan tebu milik keluarganya. Perkebunan tebu yang berada di belakang rumah Fauzan, perkebunan menyokong perekonomian keluarganya selama ini. Pondok kilang tebu yang masih dipertahankan secara manual membuat tradisi yang turun temurun masih tetap lestari. Melalui buku manual yang dibuat Fauzan, ia berharap agar arsip mengenai tradisi ini tetap dibudidayakan hingga masa nanti.
Tiba giliran Dani, ia mempresentasikan sebuah dummy zine yang beda dari tema sebelumnya. Dani membuat zine tentang kejadian yang spontan. Menurut Dani, hal-hal tidak terduga seperti kejadian jatuhnya Riki adalah sebuah hal yang perlu diarsipkan. “Terkesan bercanda, tapi esensinya adalah proses artistik pengarsipan” tutur Dani. Zine diambil dari foto-foto peristiwa jatuhnya Riki yang direkam menggunakan smartphone milik Dea.
Sementara Fariz dari Kampar, membuat dummy tentang Bendungan Oeway di Bangkinang. Pada masa kolonial tahun 1935, bendungan ini dinamakan Oeway Stuwdam. Ketika pertama kali diresmikan, masyarakat lokal mengadakan jamuan bersama orang Belanda. Bendungan ini dijadikan pusat irigasi pertanian untuk lima desa di sekitar bendungan. Fariz membuat dummy buku berukuran A5 dengan menyelipkan peta bendungan dan foto-foto peresmian bendungan di cover depannya. Ia memilih memisahkan dimensi sekarang dan masa lalu, karena ada perubahan terhadap pembangunan dan tradisi yang berkembang.
Dea dari Balige, Sumatera Utara, juga masih konsisten menyajikan praktik artistik tentang buah karimunting di Balige. Buku yang dibuat Dea berupa bentuk “accordion”, seperti lipatan yang bisa memanjang ketika dibentang luaskan atau ditarik. Isinya memuat tentang karimunting yang dulunya tumbuh subur di Balige. Berawal dari tanaman ini, memori masa kecil berkelindan dan membentuk situs tersendiri. Dulunya buah ini dijadikan bahan pewarna alami untuk songket Balige yang dijual di pasar balerong. Sementara sekarang, dengan ketiadaan buah ini maka pewarna alami beralih ke pewarna tekstil. Selain karimunting, Dea juga membuat peta tentang perjalanan kota Balige yang dulunya banyak perbukitan. Sekarang bukit yang dulunya ditumbuhi karimunting sudah disulap menjadi area menikmati balap F1H20.
Selanjutnya presentasi Riki, dar Paninjauan, Tanah Datar. Ia membuat zine 8 halaman tentang waterleiding atau menara air di Paninjauan. Menurut pengetahuan Riki, menara air ini sudah dibangun sejak tahun 1913. Menara ini menjadi pusat perairan khususnya untuk kota Padang Panjang dan sekitarnya. Dalam zine yang dibuat Riki juga mencantumkan peta desa Paninjauan yang berada di kaki gunung Marapi. Jalur sungai di Paninjauan juga merupakan garis zona merah aliran lahar dingin Marapi. Sewaktu banjir bandang bulan Mei 2024 lalu, Nagari Paninjauan yang berada di pinggir aliran sungai termasuk zona darurat. Sementara menara air ini tidak tersentuh najis karena berada di ketinggian, sekarang menara ini tidak lagi dimanfaatkan warga.
Lalu presentasi bergilir ke Sandro, dari Langkat, Sumatera Utara. Sandro membuat dummy A5 tentang kilas balik masa kejayaan Kesultanan Langkat. Konon katanya nama Langkat diambil dari jenis pohon yang disebut Pohon Langkat. Di Langkat sekitar tahun 1920 berdiri sebuah istana Darul Aman di Tanjung Pura. Dalam dummy nya Sandro tak lupa menempelkan foto-foto sultan dan peta Kabupaten Langkat. Pada masa kolonial bahkan sultan-sultan tersebut melakukan perjamuan dengan para pemimpin Belanda. selain kesultanan, dulunya di Langkat juga ada perkebunan tembakau dan kilang minyak. Kilang minyak di Pangkalan Brandon inilah yang menjadi cikal bakal perusahaan minyak Pertamina.
Berbicara tentang kejayaan masa lalu, Mellya dari Solok juga merajut memori stasiun Solok pada dummy yang dibuatnya. Stasiun Solok pernah berfungsi di zaman Belanda dan ditetapkan sebagai jalur warisan dunia WTBOS oleh UNESCO pada tahun 2019. Menurut Mellya, banyak yang belum mengetahui soal Kota Solok sebagai kota perlintasan kereta api dari Padang ke Sawahlunto. Sejarah mengenai kejayaan masa lalu kota Solok perlu dibahas guna mendatangkan ingatan tentang kota kecil yang berperan besar ini. Di wilayah stasiun, juga berdiri kokoh gudang rempah yang dulunya dimanfaatkan oleh Belanda sebagai gudang penampungan rempah dari berbagai wilayah sekitaran Solok.
Beralih ke Irvan dari Payakumbuh, ia membuat dami berupa buku saku. Isinya merupakan info seputar kuliner Payakumbuh. Dummy ini ia beri judul Spansan Food Note, pada covernya ia memajang dokumentasi pasar tahun 1911 berjudul Een Warong de Pasar te Pajakomboeh. Begitupun dengan slogan kota yang erat lekatannya kuliner tradisional. Seperti Galamai, Batiah, dan Rendang. Istirlah “Batiah” juga sering dipakai sebagai akronim dari “bersih, aman, tertib, indah, asri, dan harmonis” oleh pemerintah Payakumbuh. Sementara city branding Payakumbuh sebagai kota rendang dikukuhkan sejak tahun 2018. Untuk dipajang di pameran, bukunya berbentuk bundelan buku saku “food note” agar semua warga bisa berpartisipasi dalam praktik artistik seperti yang dilakukannya. Bisa menjadi tracking dan survei literasi kuliner untuk proyek kedepannya.
Terakhir presentasi dilakukan oleh Icung dari Padang membuat buku tentang proses penyembuhan trauma korban penyintas pelecehan seksual. Icung membuat dummy ini sebagai alternatif dan cara lain untuk speak up. Rencananya komunitas Icung akan membuat proyek pengumpulan barang-barang yang dirasa erat kaitannya dengan penyintas.
Amelia Putri
Solok, 17 Oktober 2024
Mampir ke halaman Kurun Niaga #4