Menyimak Lorong-lorong Kolonial Berkisah

Pagi Selasa (15/10) rombongan lokakarya Kurun Niaga #4 berangkat menuju Sawahlunto. Berangkat menggunakan bus dengan suasana yang riang gembira. Kita melakukan perjalanan hanya 1 jam 15 menit dan sampailah di museum kereta api sawahlunto. Untuk memasuki museum kereta api, pengunjung bisa membayar karcis masuk seharga Rp 8000,- /orang. Saat memasuki ruangan museum, kita akan disodorkan narasi-narasi tentang kisah heroik para pekerja kereta api pada zaman kolonial, oleh pemandu museum. 

Selain kita sama-sama tahu bahwa kehadiran Kereta Api di Sumatera Barat adalah bentuk kolonialisasi, menurut pemandu museum kehadiran kereta api merupakan salah satu faktor penting dalam pergerakan melawan penjajahan. Di masa itu para pekerja membentuk organisasi Vereeniging Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) yang didirikan di Jawa Tengah pada tahun 1908. Keanggotaan VSTP ini berkembang pesat sampai ke Sumatera untuk menyampaikan ide pemberontakan di sepanjang jalur kereta api. Pada bulan Mei tahun 1923, terjadi pemogokan buruh besar-besaran dan merata di seluruh Indonesia. Faktor-faktor pemogokan itu seperti; ketidakjelasan hari libur, waktu kerja yang panjang, dan denda yang dikenakan. Pergerakan ini kemudian turut menjadi upaya untuk mencapai kemerdekaan.   

Proyek pengerjaan jalur kereta api di Sumatera Barat dimulai pada 17 September tahun 1887, setelah sejumlah ilmuwan Belanda menemukan cadangan batu bara yang sangat banyak. Pengerjaan jalur kereta api ini memakan waktu hingga empat tahun. Pada 1891 akhirnya diresmikan jalur kereta api sepanjang 71 KM dari Pulau Air, kota Padang ke Padang Panjang. Tahun itu juga konstruksi jembatan tinggi di Lembah Anai selesai. Lalu tahun 1892 jalur kereta api sepanjang 76 KM dari Padang Panjang – Solok – Muaro Kalaban mulai beroperasi. Selama dua tahun dilakukanlah proyek terowongan lubang kalam yang jaraknya 828 M. Hingga pada Februari tahun 1894 jalur kereta api Muaro Kalaban – Sawahlunto sepanjang 4 KM mulai beroperasi.  

Proyek pengerjaan terowongan di sepanjang jalur Sumatra Barat sebenarnya ada beberapa. Namun saat ini yang masih bisa digunakan hanya terowongan lubang kalam di Sawahlunto, itupun dilalui hanya jika ada keperluan pariwisata. Sejumlah terowongan yang dilalui jalur kereta api diantaranya: terowongan Kandangempat sepanjang 22 m pada tahun 1890 di jalur teluk bayur, terowongan Lembah Anai 1 dan Lembah Anai 2 yang dikerjakan tahun 1890-1891, terowongan Singkarak-Batu Tabal 11,5 m tahun 1892, terowongan Lubang Kalam Sawahlunto, dan terowongan Kupitan di Sijunjung sepanjang 600 m pada tahun 1894.


Selain narasi tentang tahun-tahun pengerjaan proyek kereta api, disajikan juga tentang narasi eksploitasi pekerja. Pembangunan jalur kereta api ini membutuhkan banyak sekali pekerja agar proyek bisa selesai tepat waktu. Selain itu pekerja juga didatangkan dari berbagai wilayah seperti daerah lain di Sumatera, Jawa, dan daerah lainnya. Di masa kolonial pekerja paksa pengerjaan proyek kereta api ini dikenal juga dengan “orang rantai”. Mereka adalah tahanan politik yang dihukum berat karena melawan otoritas pemerintahan kolonial. Pekerja ini tidak diberi kelengkapan alat kerja, bahkan mereka hanya bertelanjang kaki. Sayangnya orang-orang ini sulit untuk dilacak apa dan bagaimana yang terjadi di kehidupan sebelumnya karena identitas mereka hanya digantikan dengan angka atau nomor urutan. 

Selama puluhan tahun pengoperasian jalur kereta api di Sumatra’s Westkust, tibalah masa dimana kereta api Mak Itam didatangkan dari Jerman. Tahun 1965 lokomotif uap seri E-1060 beroperasi hingga tahun 1984. Mak Itam menggunakan 5 pasang roda penggerak dan roda gigi untuk menempuh jalur pendakian yang ada di lintasan rel kereta api Sumbar. Di bagian bawah ruang kemudi terdapat pintu untuk memasukkan batu bara ke ruang pembakaran. Lokomotif ini sangat digemari oleh masyarakat terutama yang pernah menyaksikan kereta ini melintas. 

Di depan museum kereta api Sawahlunto terdapat patung seorang insinyur asal Belanda. Dia adalah Dr. Jan Willem Ijzerman yang berasal dari Kota Leerdam, Denhag (1851-1932). Pria berkumis lengkung ini adalah seorang insinyur utama jawatan kereta api Belanda yang akhirnya memimpin pembangunan jalur kereta api semasa Hindia Belanda. Konstruksi rel bergerigi di jalur Lembah Anai dan Batu Taba menjadi rel yang cukup spesial di kalangan pemerhati teknologi. Selain itu Ijzerman memimpin pertambangan batu bara di Ombilin pada masa awal periode 1892 – 1896 (Baca juga: Jalan Panjang Hingga tuan Merebut Wilayah, 2017). Selain di museum kereta api Sawahlunto, Ijzerman juga dikenal sebagai penggagas perguruan tinggi teknik pertama di Hindia Belanda yaitu De Techniche Hoogeschool te Bandung yang didirikan pada tahun 1920 dan sekarang dikenal dengan ITB.

 Di samping pintu masuk museum terdapat kandang/lokasi parkirnya Mak Itam, teralinya dikunci sehingga tidak bisa sembarang orang yang masuk ke dalamnya. Menurut teknisi yang sedang bertugas di areal Mak Itam, untuk menjalankan kereta api uap ini membutuhkan sampai 1 ton batubara. Mak Itam sebelumnya berada di Ambarawa, Jawa Tengah, dibawa kesana dengan tujuan awal dapat membantu perlintasan rel kereta api di sana. Baru setelah dua tahun museum diresmikan, tahun 2007, Mak Itam dipulangkan kembali ke Sawahlunto. Jenis loko uap ini hanya tiga di Indonesia, dan Mak Itam satu-satunya kereta api uap yang masih beroperasi di Sumatera. Untuk merasakan pengalaman menaiki kereta ini, harus melalui jalur pra pesan sebelum persiapan keberangkatan, dengan ongkos 6 juta rupiah dan maksimal 30 penumpang untuk sekali jalan. Kereta ini akan menempuh jalur terowongan lubang kalam di Sawahlunto hingga stasiun Muaro Kalaban.

 


Setelah melihat bagaimana kereta api Sawahlunto dinarasikan, rombongan pun memutuskan untuk istirahat dan makan siang bersama di Puncak Cemara. Di puncak ini kita bisa melihat lanskap kota Sawahlunto yang seperti kuali khususnya Kecamatan Lembah Segar. Secara tidak sadar kita  bermain-imajinasi menjadi kolonial saat berada di puncak, menunjuk-nunjuk, membayangkan bagaimana mereka menata kota dan seperti apa maunya. Kolonialisme barangkali memang tidak lagi ada, tapi ia sering kali masih membekas pada kebiasaan dan pemahaman kita, bahkan barangkali masih eksis dan bercokol kuat di sistem pemerintahan sampai sekarang. 

Selepas turun dari puncak, perjalanan berlanjut ke museum Goedang Ransoem atau biasa disebut sebagai dapur umum. Berdasarkan informasi dari penjaga museum Goedang Ransoem, sepertiga tanah di Kecamatan Lembah Segar ini memiliki kandungan batubara yang masih tersimpan. Tidak bisa terbantahkan karena pabrik penghasil batubara memang ada di kota ini dan konstruksinya seperti tiga buah silo yang berjejer dan menjulang tinggi juga bangunan pabrik batubara masih berdiri kokoh. Itu juga yang membuat kota ini sungguh terasa panas, selain karena berada di lembah, di dalam tanahnya juga terkandung batubara.

Di Goedang Ransoem, kita bisa melihat jenis-jenis makanan dan contoh porsi makanan para pekerja tambang pada masanya. Gudang atau dapur umum ini didirikan pada tahun 1912 dan dijadikan museum sejak tahun 2005. Terdapat banyak instalasi makanan dan juga peralatan memasak. Peralatan seperti periuk penanak nasi, alat steam, dan kuali, juga peralatan lainnya memang disediakan dalam bentuk raksasa. Hal ini dikarenakan dapur umum adalah lokasi untuk menyediakan logistik untuk ribuan pekerja tambang Ombilin. Di belakang gedung dapur umum terdapat generator besar, pada masing-masing tungku pembakaran terdapat dua tabung silinder untuk memanaskan air dengan menggunakan batubara sebanyak 58 ton. Uap panas yang dihasilkan akan digunakan untuk sumber energi memasak di dapur umum. Selain di tungku, pemandu museum juga mengajak kami untuk melihat cetakan pembuat es balok pada zaman kolonial. Cetakan ini ditanam di tanah dan memiliki pengait yang kuat dan besar karena es balok ini dicetak dalam ukuran raksasa. 

Setelah berkeliling Goedang Ransoem, rombongan kembali menyusuri jejak-jejak peninggalan kolonial di kota Sawahlunto dengan mendatangi terowongan Mbah Soero. Konon katanya nama museum ini diambil dari nama orang rantai Samin Soero dari Blora. Tapi, konon setelah ditelusuri Samin Soeroe tidak pernah sampai ke Sawahlunto, ia hanya bekerja di pertambangan di daerah Palembang. Ada juga yang mengatakan bahwa nama Mbah Soeroe adalah nama seorang mandor tambang yang baik hati yang bernama lengkap Soerono. Namun hal ini menjadi pertanyaan, jika penyebutan nama di zaman itu seringkali hanya memanggil nama belakang. Tapi menurut sejumlah warga, ternyata nama terowongan ini hanyalah penamaan untuk menambahkan kesan romansa, dalam konteks wisata sejarah.


Rombongan yang memasuki museum terowongan Mbah Soero harus mengenakan atribut keselamatan. Memakai sepatu boot dan memasang topi ala pekerja tambang. Di terowongan ini banyak cerita mistis tentang kisah orang rantai, para pekerja tambang yang merupakan tahanan politik. Sebelum memasuki terowongan, ada sebuah monumen yang memperlihatkan bagaimana orang rantai bekerja di dalam terowongan. Batubara yang dibawa hanya menggunakan tenaga manual dan menggunakan gerobak  dorong. Sebelum memulai pekerjaan, para mandor selalu meneriakkan “Gluckauf!” kepada para pekerja tambang, yang dalam Bahasa Inggris artinya Good Luck!. 

Matahari menyengat yang menerpa kulit kita pun perlahan condong ke barat. Sore pun hinggap di kota kecil Sawahlunto yang penuh kenangan sejarah masa lalu. Di kota yang dikepung perbukitan ini, dulunya dikepung kolonialisasi, kita masih bisa merasakan jejak itu. Suasana kota tua dan peninggalan bangunan bersejarah yang masih berdiri kokoh menjadi saksi bahwa eksploitasi dan penjajahan itu nyata terjadi. Penghilangan identitas orang rantai, kerja rodi dan kisah kelamnya, juga eksploitasi sumber daya alam, sudah menjadi cerita pengantar tidur untuk anak-anak di zaman kemerdekaan.  Kini, kita hanya menyaksikan kisahnya lewat berkunjung ke museum-museum, atau bisa memproduksi narasi permintaan maaf terhadap masa lalu itu. Semoga kisah penjajahan pada masa kolonial menjadi pemicu agar kita bisa lepas dari bayang-bayang kolonialisme. Melalui penelusuran sejarah dan cara-cara yang ditawarkan oleh para ahli sejarah untuk mulai mengembangkan ide-ide dekolonialisasi. Fasilitator Kurun Niaga #4 memfasilitasi kunjungan ini untuk melihat lagi bagaimana negara atau pemerintah – melalui juru pandu, tata ruang koleksi, dan lanskap arsitektur menarasikan sejarah tersebut, pengalaman ini pun menjadi bagasi untuk topik diskusi selanjutnya. 

Amelia Putri
Solok, 15 Oktober 2024

Amelia Putri, S.TP (Padang Pariaman, 1993) biasa disapa Amel. Sehari-hari berkegiatan di Galanggang Raya Farm, sebuah peternakan dan ruang berbagi inspirasi petani milenial di Gelanggang Betung, Kota Solok. Juga mendirikan sebuah pustaka kecil @pustakagrfinstitute yang digarap untuk mengundang anak-anak di sekitar farm agar gemar membaca. Ia juga menjadi salah satu Inkubator Literasi Perpustakaan Nasional (ILPN) Prov. Sumbar th 2022. Pertengahan tahun 2021 merupakan awal mula berkenalan bersama Komunitas Gubuak Kopi dalam agenda Daur Subur #6 di Kampung Jawa, Kota Solok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.