Senin (14/10), memulai awal pekan dengan kelas secara daring bersama Rifandi Septian Nugroho dari Gudskul Ekosistem. Pertemuan daring ini melanjutkan kelas yang sempat tertunda dikarenakan Rifandi harus kembali ke Jakarta. Para residen Kurun Niaga #4 diminta menjelaskan “situs ingatan” yang sudah ditempel menjadi kolase di dinding depan kelas Rumah Tamera. Masing-masing mengemukakan ide terkait ingatan atas ruang yang dirasakan secara personal.
Kelas dibuka oleh Nanda – fasilitator Kurun Niaga #4 yang kemudian menunjuk partisipan secara acak. Dimulai dari kolase yang ditempel paling atas dan penuh tanda berwarna-warni. Dea mulai bercerita tentang ingatan masa kecil yang masih melekat hingga kini. Dimulai dari gambar Harimonting/karimunting yang merupakan jajanan favoritnya kala itu. Buah ini dijual di beberapa tempat seperti di depan sekolah, balerong, dan di sepanjang jalan gereja. Buah itu biasanya tumbuh liar di perbukitan atau pegunungan. Buah ini memiliki rasa manis dan berwarna ungu. Warna ungu itu dulunya dijadikan bahan pewarna alami untuk tenunan yang dijual di pasar balerong, salah satu tempat bersejarah di Kota Balige, Sumatera Utara.
Dea juga menunjuk foto sidjabi-djabi yang kebetulan bersebelahan dengan rumah Dea. Sewaktu kecil banyak anak-anak bermain petak umpet dan bersembunyi di celah-celah sumur yang bisa menampung badan anak kecil. Seiring berjalannya waktu mual itu ditutup, karena ada beberapa tragedi tenggelamnya anak kecil. Kemudian ada foto sebuah pabrik, dulu di Balige ada industri tekstil bernama Karsitex. Balige adalah karsitex dan karsitex adalah Balige. Saat masa pendudukan kolonial, dibangun juga gereja yang unik di kota. Arsitekturnya mirip gereja Lutheran di Jerman, yaitu gereja HKBP Balige yang sekarang sudah berumur 143 tahun. Selain itu banyak juga peninggalan Belanda seperti rumah sakit dan bioskop-bioskop yang sekarang sudah tidak lagi beroperasi.
Rifandi menanggapi bahwa situsnya menarik karena berangkat dari tanaman/buah, bisa mengingatkan tentang kisah masa kecil. Terhubungnya beberapa situs bisa dijadikan bahan pameran nantinya. “Lebih dipadatkan lagi saja riset tentang tanaman ini dan hubungannya dengan peradaban di Balige” imbuhnya. Lalu Dea mengatakan bahwa sebenarnya dulu harimonting juga disajikan ke pasien di RS. Berbanding terbalik dari mitos banyak orang yang menyebutkan jika mengkonsumsinya bisa menyebabkan kanker. “Padahal sebenarnya itu dijadikan pewarna alami tenun ulos juga”, tutur Dea. Lalu pada sesi diskusi Eka menanggapi, bahwa tenun ulos dijual di pasar Balige karena karimunting dijadikan pewarna alaminya. Lalu Dea menjawab bahwa jika tenun yang sekarang ditemukan bahan pewarnanya dari karimunting dan senduduk harganya bisa 5x lebih mahal.
Pada sesi kedua Nanda mempersilakan Eka untuk menjelaskan situs ingatannya. Eka bercerita tentang perkebunan tembakau Arhemia di Pancur Batu, Kabupaten Deli, Sumatera Utara. Ada stasiun kereta api peninggalan Belanda, yang sekarang nasib bangunan bekas stasiun itu sudah berubah menjadi hunian warga. Eka juga menempel foto-foto etnis cina dan keling/india yang bermukim di Pancur Batu. “Kakek dan nenek itu aku pernah ketemu semasa kecil”, ujar Eka. Di kolase yang Eka tempel ada puisi yang ia buat tentang tembakau Kota Deli. Ia kembali menampilkan puisinya, berkisah tentang tembakau Deli yang tidak pernah dijual bebas di pasar. Tembakau itu dijual ke luar negeri, karena kualitasnya yang bagus. Adapun tembakau yang dibakar orang-orang hanya bungkus luarnya saja, isinya bukanlah tembakau dari perkebunan Arhemia. Rifandi menanggapi bahwa secara konten narasi, apa yang disajikan Eka sudah kuat. Tinggal dijadikan lebih artistik, atau bisa juga berkolaborasi dengan partisipan lain biar hasilnya lebih hidup.
Sekarang tiba giliran Awang yang menunjuk kolasenya tentang sumur yang ada di desa Gema. Apabila ada teriakan ke dalam sumur akan menimbulkan gema. Sementara di Muara Takus yang masih berada di Kampar, ada juga sumur suci yang dilindungi sebagai cagar budaya. Sekarang sumur di desa Gema tidak menjadi perhatian, karena pemangku kebijakan lebih mementingkan keberadaan aktivitas kegiatan alam seperti camp. Menurut Rifandi, sebenarnya pengalaman sensorik kalah sama yang visual, kalah sama kekuatan alam. Arsip yang terpinggirkan itu bisa seperti arsip yang berupa suara, visualnya sama sekali hilang karena lebih ke suara gema-gema yang tercipta dalam sumur. Pada sesi diskusi Eka juga menanggapi bahwa sumur dahulu berbeda dengan sumur sekarang yang punya dampak terhadap lingkungan. Ada yang menyebabkan tanah amblas karena proses pengeboran yang dalam. “Barangkali alasan itu bisa juga dijadikan situs ingatan karena terkait dengan dampak lingkungan”, tutup Eka.
Beberapa partisipan juga menunjukkan kolase mereka terkait penemuannya tentang situs ingatan. Ada Fariz yang menunjukkan eksistensi anak muda penyuka musik underground / hardcore yang berada di Kota Bangkinang. Sampai-sampai di kota itu ada lokasi areal wajib knalpot racing. Seolah hal-hal yang memekankan telinga adalah suatu yang paling digandrungi dan sudah menjadi tren anak muda.
Kemudian dilanjutkan Icung yang menunjukkan kolasenya yang sederhana, hanya terdapat dua tempelan. “Sebagaimana perawakan orangnya, kolase saya juga minimalis”, ujar Icung yang sontak mengundang gelak tawa. Icung menunjuk bahwa kolasenya adalah tentang sebuah ruang kecil. Berisi tentang ingatan pengalaman ngekos bareng mbak Astri saat masih kuliah di Bukittinggi. Pada sesi diskusi ini, Riki menanggapi dengan sebuah kalimat “your room reflect you”, bahwa projek ini bisa menjadi menarik karena sudah pernah ada yang melakukannya dengan cara mengumpulkan foto kamar teman-teman.
Selanjutnya sesi presentasi situs ingatan beralih ke Riki. Kehadirannya di Rumah Tamera menjadi trigger ingatannya tentang ruang kelas. Memori ini membuatnya teringat kenangan saat bersekolah. Soal ruang kelas yang memicu memori kolektif karena semua orang pernah merasakan suasana kelas.
Rifandi menanggapi agar dicari lebih spesifik situs soal ruang kelas. “Dulu kan sekolah itu disebut sokola yang artinya waktu luang”. Informasi mengarsipkan dampak politis dari ruang kelas itu juga bisa dijadikan ide, karena ada perbedaan antara ruang kelas dan ruang kolektif.
Selanjutnya giliran Irvan/Spansan yang lebih mengeksplorasi tentang kuliner galamai, batih, gulai nangka, rendang telur, sate, dll. Slogan kota Payakumbuh selalu dilekatkan dengan kulinernya.
Makanan sebagai modal pengarsipan sudah banyak dilakukan. “Bahkan katanya rendang dulu dimasak karena jaman dulu digunakan sebagai bekal saat berjalan kaki dari Payakumbuh ke Padang dan paling nikmat dimakan saat melewati Nagari Sianok”, terang Rifandi. Rendang tidak menjadi kolesterol jahat karena langsung digunakan untuk energi berjalan kaki. Terkait Payakumbuh kota rendang, Mellya juga menanggapi bahwa jenama kotanya bisa menjadi gastronomi kuliner. Tidak mesti nama salah satu kuliner, tapi bisa dijadikan kota kuliner minang secara umum.
Hari sudah menunjukkan pukul 12.15 WIB dan adzan pun berkumandang. Saatnya istirahat siang dan solat zuhur. Semua partisipan makin merasa lapar, terlebih karena Irvan membahas tentang kuliner di kotanya. Siang itu kami makan dengan lahap, dengan tambahan buah dan kopi susu juga es sirsak yang dibuat oleh Biki. Selalu menyenangkan makan siang saat lokakarya ini, selain sajiannya yang nikmat dan beragam, partisipan juga dengan sadar diri mencuci sendiri peralatan makan setelah digunakan. Sebuah kegiatan yang perlu dibudayakan agar melatih tanggung jawab.
Setelah beristirahat selama 45 menit, presentasi kolase situs ingatan pun berlanjut. Rifandi kembali terhubung melalui daring, sambil memomong anaknya kelas tetap berjalan lancar. Setelah istirahat siang, Dani menjadi presenter pertama. Ia menunjukkan kolasenya yang juga sangat simple. Ialah tentang ingatan masa kecil di rumah nenek. Potret perabotan khas jaman dulu yang ditempel Dani di dinding. Menunjukkan bahwa situs ingatannya lebih kepada hal mendetail dalam sebuah ruangan.
Kemudian giliran Mellya mempresentasikan tentang rumah gadang gajah maharam di kota Solok. Ia menunjukkan foto lama dan foto baru, menurutnya setelah rumah gadang itu direvitalisasi tidak bisa lagi diakses oleh publik. Padahal dulunya merupakan tempat tinggal kaum. Pemerintah sudah menjadikannya cagar budaya dan dilestarikan dengan cara direvitalisasi. Perjanjian awalnya, setelah direvitalisasi rumah itu bisa difungsikan kembali, entah digunakan sebagai museum atau homestay nantinya. Namun pihak keluarga tidak setuju akan hal tersebut. Sudah banyak cara untuk menegosiasi kaum pemilik rumah gadang agar rumahnya kembali diaktivasi. Menurut Rifandi, barangkali bisa di aktivasi dengan cara pameran arsip warga, melalui inisiatif warga, dan pameran hasil foto warga sekitar terkait aktivitas di sekitar rumah gadang.
Selanjutnya Fauzan, yang menceritakan tentang gambar pondok kilangan tebu di Bukik Batabuah, Agam. Fauzan melihat ruang di pondok sebagai ingatan yang paling berkesan. Juga ladang tebu yang rimbun di belakang pondoknya. Aktivitas seperti membersihkan tebu, proses penggilingan yang manual oleh kerbau, juga memasak air tebu adalah pemandangannya sehari-hari. Fauzan menyebut bahwa penyebutan gula merah/saka juga berdasarkan wilayah pembuatannya. Seperti gula merah keluarga Fauzan yang biasa disebut saka bukik. Rifandi menyarankan agar mengambil sudut pandang pamerannya nanti bisa dipilih salah satunya, bisa dari segi batas wilayah penamaan gula merah maupun aktivitas yang terjadi di pondok.
Giliran Sandro bercerita tentang potretnya saat berada di masjid Baiturrahmah, Aceh. Juga pengalaman bertemu Mina si Orangutan di perjalanan ke Bukit Lawang, serta pengalaman saat menaiki getek/rakit untuk menyebrang ke Aras Napal. Menurut Eka, Sandro bisa memilih salah satu yang lebih spesifik dari tema yang ada, apakah mengumpulkan pengalaman bertemu Mina di Bukit Lawang atau pengalamannya di Aras Napal. Rifandi juga menyarankan Sandro agar menggali lebih dalam lagi. Kalo untuk ruang masjid bisa dijadikan pengalaman arsip yang menarik. Apakah cerita masa kecil, kenakalan sewaktu di mengaji TPA, atau menjadikan masjid sebagai alternative mencari toilet gratis. Agar kedepannya bisa dijadikan project open-lab-nya. Rifandi menutup kelas dengan saran-saran yang dirasa perlu menjadi pegangan partisipan untuk mempersiapkan project hasil akhir lokakarya.
Pada sesi penutupan kelas, Akbar menambahkan bahwa pensitusan arsip dari alam ingatan bisa dijadikan project artistic. Kadang-kadang seniman melakukan perjalanan artistic berangkat dari praktek spasial/ingatan sehari-hari. Ketika suatu ingatan menjadi material dan menjadi situs, partisipan punya kuasa untuk melakukan pengarsipan berdasarkan privilege masing-masing. Sementara Dea menyampaikan bahwa ada kekhawatiran akan menyinggung pihak tertentu, karena banyak isu lingkungannya. Saran dari Akbar, buatlah project yang berangkat dari arsip, tidak harus langsung mengusung kritik sosial. Bisa berangkat dari kebudayaan atau tradisi masyarakat misalnya. Partisipan berdiskusi bersama Akbar tentang project yang nantinya akan dijadikan pameran. “Mulailah fokus ke satu objek yang akan dipamerkan” tutup Akbar. Semoga masukan tersebut memancing eksplorasi pikir partisipan untuk memilih topik yang spasial dan membuatnya dari sudut pandang warga.
Amelia Putri
Solok, 14 Oktober 2024
Mampir ke halaman Kurun Niaga #4