Hari ketiga ini kita kedatangan narasumber dari Gudskul Ekosistem, Rifandi yang merupakan seorang arsitektur di arsitekturindonesia.org dan juga seorang dosen di jurusan arsitek. Rifandi menyampaikan materi tentang Simpang Susun yang dulunya pernah digarap bersama beberapa kawan, termasuk Albert (Komunitas Gubuak Kopi) di Jakarta. Simpang Susun Arsip Kolonial adalah sebuah proyek seni berbasis arsip arsitektur dan desain yang diinisiasi oleh arsitekturindonesia.org, Gudskul, dan Nieuwe Institute. Proyek ini membongkar cara kerja design, koloni, dan pengetahuan arsitektur melalui arsip. Pada sesi ini narasumber akan berbagi mengenai pengalaman kurasinya dalam proyek Simpang Susun.
Pertemuan dimulai dengan menonton film dokumenter tentang Bioskop Sovia yang dialihfungsikan menjadi wahana rumah hantu yang berjudul ‘Short Tour for Groy’ karya Albert. Bioskop Savoy atau yang sekarang lebih dikenal dengan bioskop Sovia masih tetap digunakan, cuma dengan pengalaman sinema yang berbeda. Ada juga beberapa film dokumenter pada proyek seni simpang susun lainnya. Dengan latar belakang daerah berbeda dan gaya presentasi film dengan ciri khas masing-masing movie maker. Mereka membuat film dokumenter singkat tentang ingatan masa kolonial yang dihadirkan pada masa sekarang.
Selanjutnya Rifandi menjelaskan bahwa memandang arsip bisa dibagi dalam bentuk alam ingatan dan situs ingatan. Alam ingatan ialah suatu yang didapat dengan pengalaman, penanda, alam sekitar, cerita, lagu, dll. Memiliki sifat yang personal, partikular, dinamis, mendalam, dan subjektif. Sementara situs ingatan bisa didapat dari dokumen, foto, film, monument, arsitektur, cagar budaya, dll. Memiliki sifat yang berbeda dari alam ingatan, yakni bersifat ; universal, general, statis, dangkal, dan objektif.
Partisipan kemudian diminta menuliskan dan menggambarkan alam ingatan tentang ruang yang paling berkesan. Rifandi memberikan waktu sekitar 15 menit untuk para partisipan menggambarkan dan menuliskan penggalaman paling berkesan tentang ruang yang masih diingat. Masing-masing partisipan menjabarkan alam ingatannya, ada yang menyampaikan pengalaman masa kecil, puisi tentang kota, kenangan tentang bangunan lama, kuliner, monument, dll.
Sesi pertama dimulai dari Eka Dalanta – komunitas Ngobrol Buku, Medan yang memulai cerita dengan berpantun “cina loleng makan kaleng, enggak habis kena tempeleng”. Pantun-pantun masa kecil yang ketika dilagukan tidak bikin baper dulunya, menunjukkan betapa beragamnya etnis di sebuah kecamatan di masa kolonial yang merupakan area perkebunan tembakau Deli. Mengenai desa Pancur Batu di Kab. Deli nama lamanya adalah Armhenia. Keberadaan perkebunan tembakau membuat banyaknya masuk tenaga kerja dari luar kota sehingga menimbulkan banyaknya etnis di desa Pancur Batu. Sebut saja etnis cina dan india/keling, yang membuat Pancur Batu menjadi multi etnis. Sementara dalam melakukan komunikasi dan transaksi, mereka tetap menggunakan bahasa Karo.
Eka juga menjelaskan bahwa di Pancur Batu dulunya banyak bangunan peninggalan Belanda. Seperti stasiun kereta api, gedung bioskop yang sekarang berubah jadi pusat pertokoan, pasar adat Deli, kantor pos, kantor camat, rumah sakit, juga deretan pohon asam jawa sebagai penanda pernah ada perkebunan di sana. Eka juga menampilkan puisi tentang tembakau perkebunan Deli yang tidak dijual di pasaran, meskipun banyak yang mengkonsumsi tapi tembakau itu bukan berasal dari Deli. Ada juga ‘kede panjang’ yang dulunya terkenal sebagai tempat nongkrong anak muda tahun 90’an. Ingatan itu masih melekat, walau sekarang banyak yang sudah berubah dan tidak lagi persis seperti asal mula bangunan tersebut didirikan.
Kesempatan bercerita kemudian bergilir ke Dea – komunitas Solu dan Balige Writer Festival. Dea mengenang alam ingatannya tentang Balige Kota Kreatif. Dulu di Kota Balige terdapat Balerong Sidjabi-djabi yang merupakan sebuah hub/ tempat kreatif beragam komunitas di kota. Sayangnya saat ini sudah tidak digunakan sebagaimana fungsinya, bahkan dijadikan pasar tiap pekannya. Kemudian Dea juga mengenang akan makanan masa kecil, yakni Karamunting yang banyak digemari anak-anak. Setiap minggu atau libur sekolah, mereka akan berburu buah itu di semak-semak. Namun seiring berjalannya waktu, buah itu tidak lagi ditemukan karena semak-semak tadi sudah berubah menjadi bangunan.
Berbeda dengan Dani – Non Blok Ekosistem, Pekanbaru yang langsung disclaimer bahwa dirinya kesulitan mengingat soal arah dan ruangan. Namun Dani lebih teringat pada objek-objek di dalam ruangan tersebut. Ia bercerita saat pertama kali menginap di homestay tempat partisipan menginap selama sepuluh hari ini, ia malah teringat akan kenangan masa kecil di rumah nenek. Dani teringat rumah neneknya yang dulu dari kayu dan berpanggung. Namun ia menyayangkan karena kenangan itu sudah sirna disebabkan rumah nenek sudah berubah jadi beton permanen. Dani lebih ingat detail isi rumahnya seperti hiasan dinding karpet bergambar Ka’bah, mesin jahit, lampu petromak, dan juga bufet kayu sebagai rak. Selain itu banyak tumbuhan masa kecil yang begitu melekat seperti bunga kenanga dan perkebunan karet di belakang rumah.
Sementara Sandro – Titik Abdi, Langkat mengenang alam ingatannya yang lebih luas. Paling berkesan baginya adalah ketika berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman Aceh, ia bercerita akan pelataran masjidnya yang mirip dengan Masjid Nabawi di Mekah. Sandro juga terkesan akan bangunan atap bagonjong yang banyak ditemuinya di Sumbar. Tak ketinggalan kuliner dendeng batokok yang begitu nikmatnya ketika pertama kali mencoba. Sandro juga mengenang kejadian dan tempat ia mengabdi belakangan ini. Kenangan tentang bertemu harimau dan dikejar orangutan saat memasuki Desa Aras Napal. Juga pengalaman tak terlupakan saat getek/rakit yang ditumpangi terbawa arus saat menyeberangi sungai menuju Aras Napal. Desa itu lekat dan dekat sekali dengan alam ingatannya sekarang.
Irvan – forum RT05 bercerita tentang kampung halamannya. Irvan mengenang bahwa sewaktu ia kecil, banyak luak atau mata air yang dijadikan tempat pemandian orang-orang desa sebelum masuknya PDAM ke rumah-rumah. Luak atau mata air itu sekarang sudah tidak ada, padahal dulunya banyak luak ditemukan. Menjadi rutinitas pagi dan sore warga untuk sekedar mandi atau mencuci pakaian. Bentuk luak juga beragam, ada yang dibeton atau dibiarkan dalam bentuk asli berupa galian tanah. Namun sekarang kebiasaan mandi ke luak sudah tidak ada, karena luak pun sekarang sudah banyak yang ditimbun karena pelebaran jalan untuk akses transportasi.
Payakumbuh sendiri terkenal dengan banyaknya kuliner menggugah selera yang mudah ditemui di pasar rayanya. Bangunan pasar yang unik, memiliki kanopi besar tempat orang berjualan dan berlalu lalang, membuat siapapun yang lewat merasa terlindung dari panas dan hujan. Kuliner di Payakumbuh sangat beragam, mulai dari rendang telur, sate danguang-daguang, galamai, dll. Tak ketinggalan monumen bersejarah yaitu jembatan ratapan ibu yang ditandai monumen patung seorang ibu .
Tibalah giliran Awang – Pondok Belantara, Kampar, bercerita tentang sumur di Kampar Kiri yang merupakan gerbang masuk menuju hutan Rimbang Baling di pinggir sungai Subayang. Di candi Muara Takus juga ada mitosnya tentang sumur tersebut, tapi Awang lebih teringat tentang ruang yang ada dalam sumur. Sebuah paradoks tentang keberadaan sumur yang berdekatan dengan sungai. “Kalau sudah ada sungai, buat apa lagi sumur dibuat?”, ujar Awang. Ada ruang di dalam sumur yang tidak terlihat, ketika kita berteriak ada gemanya. Kebetulan nama kampungnya adalah Kampung Gema. Ingatan soal perjalanan dari Pekanbaru yang panas, seolah hilang karena karena sejuknya air sumur ini. Menurut Awang ketika kita berteriak ke dalam sumur, yang mendengar gemanya bukan hanya desa itu saja, tapi terdengar sampai desa lainnya.
Selanjutnya Mellya – Gajah Maharam Fotografi, Solok. Ia bercerita tentang kenangan akan rumah gadang Gajah Maharam di Kota Solok, asal nama komunitasnya. Sebuah bangunan besar yang bermaterial kayu, bagonjong, dan bertingkat. Banyak ruangan di rumah gadang yang dulunya bisa menampung keluarga besar. Bentuk gonjongnya yang berlebih di depan, adalah ciri khas dari rumah gadang Gajah Maharam ini, sebagai atap untuk tangga naik rumah. Sayangnya sekarang akses memasuki rumah gadang sekarang susah, karena bukan lagi menjadi tempat hunian melainkan hanya cagar budaya saja.
Lalu Fariz dari Manual Kampar menceritakan tentang ingatannya soal ruang komunitas musik hardcore. Dalam ruang gigs tersebut penuh sesak oleh anak punk yang menyukai musik hard rock. Ruangan tersebut berada di sudut kota Bangkinang, ia pernah kesana saat akhir tahun 2013. Itulah pengalaman pertamanya melihat show music underground dengan dance aerobic yang menggelegar. Fariz juga menambahkan bahwa di samping ruangan tersebut ada lapangan badminton yang selalu terjadwal setiap dua pagi dan sore.
Berbeda dengan Riki – Paninjauan Saiyo yang berbagi cerita tentang ruang di Rumah Tamera yang mengingatkannya ke ruang kelas di sekolahnya di Panjang Panjang. Riki teringat akan meja, kursi, dan papan tulis. Sekolahnya itu, dulunya adalah sekolah pendidikan guru pada zaman penjajahan Belanda. Sekarang sudah menjadi SMA 1 di Padang Panjang. Riki juga teringat ornament burung garuda yang kerap digantung di atas papan tulis.
Sementara Fauzan – Teater Balai, Bukittinggi mengenang tentang pondok kilangan milik ayahnya yang memproduksi gula merah dari tebu. Saat Fauzan masih kecil, ayahnya kerap membeli daging sapi untuk diberikan ke inyiak/harimau. Alasannya untuk menjaga pondok kilangan tersebut supaya aman. Sampai sekarang, Fauzan juga tidak mengkonfirmasi apakah benar demikian tradisinya. Pondok kilang gula merah atau yang biasa disebut Saka Bukik milik keluarganya masih tradisional. Mesin penggiling dioperasikan secara manual oleh kerbau yang berputar/berkeliling mengikuti pengait di lehernya.
Sesi terakhir giliran Icung – komunitas Sekolah Gender, Padang. Ia mengingat tentang sebuah kamar kosnya yang sepi. Hanya ada dia yang menghuni kamar atas di kosan tersebut. Awalnya Icung tinggal bersama dosen muda, tapi setelah Icung sering bepergian ke Pulau Sirandah untuk bekerja beberapa waktu ia kemudian hanya tinggal seorang diri. Meskipun kosnya sepi penghuni, Icung tetap menikmati kesendiriannya, kadang dengan memandang indahnya Ngarai Sianok yang menjadi lanskapnya Kota Bukittinggi kesepian tersebut bisa terobati.
Setelah masing-masing berkisah dan mengenang alam ingatannya, partisipan diminta membuat situs ingatan oleh Rifandi. Partisipan diberi waktu 30 menit untuk mencari gambar, lagu, atau dokumen tentang alam ingatan. Rifandi juga memberikan referensi website untuk partisipan agar menemukan situs tentang alam ingatan mereka. Masing-masing partisipan disuruh membuat kolase yang ditempel di sebelah kanan, setelah sebelumnya menempel alam ingatan di sebelah kiri. [AP]
Amelia Putri
Solok, 13 Oktober 2024
Mampir ke halaman Kurun Niaga #4