Sabtu (12/10), hari ini sendu sekali, semalaman hujan mengguyur kota Solok membuat mata berat untuk diajak beraktivitas. Hari kedua “Lokakarya Kurun Niaga #4” ini tak boleh kalah semangat dari kemarin, sebab di hari Sabtu yang spesial ini kita akan berkenalan lebih dekat bersama seluruh komunitas dan kolektif yang menjadi partisipan di Kurun Niaga #4. Semuanya ada 11 komunitas, tapi ternyata Dea dari Komunitas Solu – Balige Writer Festival, Sumatera Utara tidak bisa mengikuti kelas karena kondisinya sedang tidak fit. Jadilah kita melanjutkan lokakarya dengan paparan dan diskusi dari 10 komunitas yang ada.
Sesi kali ini kembali dibuka Albert – selaku koordinator fasilitator Kurun Niaga #4. Beberapa minggu sebelum pertemuan ini teman-teman dari Komunitas Gubuak Kopi melakukan pemetaan sederhana tentang aktivitas pengarsipan dan pendidikan alternatif yang diinisiasi kolektif, sekaligus menjaring para partisipan lokakarya ini. Sebelum ke Solok, para partisipan telah diminta untuk menyiapkan materi presentasi yang menggambarkan kegiatan-kegiatan mereka di masing-masing kolektif. Sebab, pertemuan ini juga diharapkan menjadi pemantik kolaborasi antar kolektif di Sumatera dan saling menyempurnakan program atau proyek-proyek terkait pengarsipan.
Perkenalan dimulai dari komunitas di wilayah Provinsi Riau. Tampil pertama dari komunitas Manual Kampar, yang diwakili oleh Faris. Pemuda berperawakan tinggi dan sedikit gondrong ini menjelaskan, Manual Kampar terbentuk karena kegelisahan tiga orang pemuda yang merasa aktivitas mereka terhambat gara-gara peraturan berkumpul yang dibatasi pada saat pandemi tahun 2020. Namun justru karena dibatasi itu, keinginan eksplorasi mereka menjadi meningkat. Komunitas ini kemudian menjalin jejaring dengan seniman lintas disiplin dalam pengembangan kebudayaan lokal.
Manual Kampar memiliki 3 platform, yakni : Inkubator kolaborasi – adalah wadah pertemuan antar pegiat budaya dan seniman dalam merespon isu sosial yang terjadi di Kampar, Streetlaturahmi – sebuah upaya mempertemukan kolektif dengan seniman visual berupa produk digital foto dan video dalam merespon kebudayaan Kampar dengan pendekatan street fotografi, dan Corah Kota – diskusi panel yang dirancang sesuai selera tongkrongan untuk membicarakan isu yang sedang berkembang, trend, dan pola yang sedang digandrungi anak-anak muda.
Kilas balik projek Manual Kampar salah satunya: Jaman Bagholak (jaman dahulu). Projek ini membuat Manual Kampar menemukan sejarah tentang ompang/empang Uwai di Bangkinang. Empang ini merupakan pertemuan 5 desa di Kampar. Saat eksplorasi, salah satu anggota Manual Kampar tak sengaja memotret tulisan “Imlaat Oeway 13 April 1934” yang sepertinya ditempel pada sebuah sisi empang tapi tergerus air dan terlempar ke dataran di sekitar empang. Kemudian setelah mencari literature didapatlah nama Oeway – Stuwdam te Bangkinang 1935 milik arsip Universitas Leiden, Belanda. Dalam referensi itu terdapat juga foto saat pembukaan ompang, masyarakat melakukan makan bersama (bajambau). Namun seiring berjalannya waktu, tradisi itu sudah berganti menjadi mangaua (bongkar ikan).
Pada kesempatan diskusi, pertanyaan pertama ditanyakan oleh Mellya dari komunitas Gajah Maharam Photography. Ia bertanya apakah empang tersebut sudah menjadi cagar budaya atau belum, karena melihat tahun dibuatnya empang tersebut sudah layak dijadikan situs cagar budaya. Faris menanggapi bahwa mereka belum mendapat informasi soal pernyataan situs tersebut, karena memang literaturnya sangat minim. Bahkan untuk mendapatkan informasi tentang empang, Faris harus mengubah nama empang ke bahasa Belanda.
Sesi selanjutnya ada Non Blok Ekosistem, yang merupakan sebuah creative hub di Kota Pekanbaru. Sebelum dibentuk Non Blok, Dani dan kawan-kawan berkegiatan di kolektif seni trans disiplin bernama Siku Keluang. Dani menjelaskan sebelum 2023 komunitas Siku Keluang lebih sering berkegiatan di taman margasatwa. Siku Keluang sendiri, didirikan sejak tahun 2011 dan sampai saat ini sudah menjalin jejaring dengan banyak lintas disiplin bahkan dalam skala nasional.
Di Non Blok Ekosistem, Dani bersama kawan-kawan juga melakukan banyak kegiatan rutin. Diantaranya ; belajar nongkrong, pameran instalasi musik, memekak, open kitchen, buah tangan, dan belakangan juga mengadakan English Club karena banyak permintaan dari kolektif berkaitan dengan seringnya residen dan visitor dari luar negeri yang mampir ke Non Blok Ekosistem.
Lebih kurang Non Blok ekosistem seperti Rumah Tamera, yang seringkali dikunjungi banyak kolektif dan komunitas jika berkegiatan di Pekanbaru. Letak tempat yang strategis menjadi nilai tambah sendiri, meskipun Pemprov telah membangun sebuah gedung Creative Hub di Pekanbaru tapi kebanyakan komunitas lebih memilih berkegiatan di Non Blok Ekosistem.
Pada kesempatan diskusi, Akbar Yumni selaku narasumber dua hari ini justru tertarik karena awalnya komunitas berkegiatan di margasatwa. Akbar menanyakan soal taman margasatwa tersebut sudah ada sejak kapan? Tapi kemudian ditimpali oleh Awang, dari komunitas Pondok Belantara. Taman margasatwa awalnya adalah hutan raya yang merupakan hutan lindung Rimba Baling, di Kampar. Setelah penjelasan yang cukup panjang, akhirnya Dani mengambil alih diskusi lagi.
Isu ekologis di Rimbang Baling sangat kompleks karena di hulu sungainya terdapat tambang batubara. Dalam kurun waktu belakangan, Siku Keluang lebih memfokuskan diri untuk aktivasi budaya seperti Art Camp dan residensi juga festival di Rimbang Baling. Awal mula kegiatan karena mengangkat isu “Melawan Asap”. Karna Rimbang Baling adalah benteng terakhir untuk memulihkan isu ekologis yang terjadi Kampar, Kota Pekanbaru, dan Riau pada umumnya.
Kemudian pada sesi sharing simpul yang ke-tiga, ada Pondok Belantara yang awalnya bernama Adventure Riau. Komunitas yang diwakili Awang ini, beranggotakan anak-anak jalanan yang menyuarakan kerusakan hutan di Riau. Berdiri sejak 2014, Pondok Belantara melibatkan aktivisme jalanan dalam menyuarakan isu-isu lingkungan dan pendidikan. Pondok Belantara menjadi wadah anak-anak jalanan untuk mengekspresikan nilai-nilai kemanusiaan. Awang juga melakukan aksi pengumpulan buku bekas yang kemudian menjadi modal awal mereka membuka taman baca.
Pada aksi Revolusi Langit Biru, Pondok Belantara berada di garda terdepan untuk melawan dan terlibat pada aktivisme menyuarakan keresahan masyarakat atas kebakaran hutan yang luasnya hingga ribuan hektar. Seperti halnya Siku Keluang, kelompok ini juga sering mengadakan kegiatan di Rimbang Baling, mengadakan kemping dan festival musik jalanan di bantaran sungai Rimbang Baling.
Pondok Belantara juga kerap melakukan aksi bersih-bersih sungai di Cagar Budaya persinggahan Tuan Kadi di Sungai Siak. Kemudian Akbar bertanya juga terkait komunitas Pondok Belantara, apakah tertarik soal mengelola arsip? Ada tema khusus untuk diriset dan dikembangkan, daripada selebrasi yang beragam. Apakah ada agenda project yang lebih artistik? Lalu Awang menjawab bahwa Pondok Belantara baru menyadari pentingnya arsip, kami baru memiliki arsip digital. Awang mengaku bahwa komunitasnya bukanlah dari kalangan akademisi, dan komunitas mereka saat ini hanya fokus menciptakan sebuah pondok tempat singgahnya teman-teman jalanan dari dalam maupun luar kota.
Akbar menanggapi lagi, “padahal teman-teman walaupun tidak memiliki background akademis, bisa mulai mengarsipkan sejarah sungai. Tidak harus dari dokumen, bisa juga narasi yang berkembang di masyarakat.” Alam itu sebenarnya dekat dengan kebudayaan. Aktivisme yang sporadis umumnya tidak punya tujuan yang besar. Awang lalu menjelaskan bahwa sebenarnya narasi yang pernah bangun sudah mulai kelihatan seperti : Save Rimbang Baling. Akbar menimpali bahwa kedepannya mungkin bisa lebih dikembangkan berdasarkan kesukaan seperti festival musik atau film. Diskusi cukup pelik karena Awang memiliki perspektif sendiri soal komunitas yang dibinanya. Akbar hanya menawarkan agar Pondok Belantara mulai membuat kegiatan yang rutin dan berdampak global, tidak sekedar aktivisme semata.
Sesi selanjutnya kemudian giliran simpul kolektif di Sumbar. Kali pertama ini dibuka oleh Gajah Maharam Photography asal Solok. Komunitas ini diketuai oleh Mellya Fitri, yang menyampaikan awalnya GMP berdiri sejak tahun 2015. Gajah Maharam sendiri adalah nama rumah gadang di Kota Solok. Kebanyakan aktivitas GMP bersisian dengan aktivitas fotografer dalam acara pemerintahan, seperti Dinas Pariwisata, Dinas Pertanian, acara pemilihan Duta Pemuda seperti Uda-Uni kota Solok, dll.
Tujuan berdirinya komunitas ini adalah mendokumentasikan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan budaya, literasi, ekonomi kreatif dan pariwisata serta menelusuri situs-situs dan melestarikan budaya tradisional. Di kota Solok sendiri, sebenarnya ada situs cagar budaya berupa stasiun dan gudang rempah. Namun tempat tersebut belum dijadikan kawasan cagar budaya sehingga ada bangunan yang sedikit dirombak dan dialihfungsikan menjadi tempat yang lebih komersil.
Akbar menanggapi bahwa foto justru memiliki gramatologi yang menarik ketimbang teks. Logika stadium punctum pada foto bisa sangat personal. Walaupun fotonya sama tapi kita memiliki pengalaman berbeda. Lalu Mellya menampilkan sebuah foto lama rumah residen Belanda pada masa penjajahan. Saat ini rumah itu dijadikan kantor Dukcapil yang berdasarkan penelusuran teman-teman terdapat terowongan bawah tanah yang tembus ke stasiun KA Kota Solok. “Nah, itu lebih menarik untuk dijadikan project kedepannya. Memiliki nilai sejarah yang tidak semua kota punya”, Imbuh Akbar. Selain penemuan terowongan, tim GMP juga menemukan brankas yang berada di stasiun yang mana brankas tersebut mirip dengan brankas yang ada di SMP 1 Kota Solok yang dulunya merupakan pusat pemerintahan kolonial.
Kemudian ada Forum RT05 yang diwakili oleh Irvan/Spansan yang merupakan founder kolektif ini. Forum RT05 lebih dekat ke warga lokal karena berangkat dari latar belakang Irvan yang senang membuat film. Produksi film pendek berupa : Jangan Biarkan Pintu Terbuka, Jangan Biarkan Meja Terbuka, Meja Makan, dan Intel Frengki. Tema filmnya juga diangkat dari fenomena yang terjadi di keseharian, seperti harus menutup pintu saat waktu magrib, menutup makanan saat malam hari karena makanan tersebut bisa dimakan setan apabila dibiarkan terbuka, ada juga berangkat dari fenomena sosial yang mana di sekitar RT05 banyak janda muda dan hamil di luar nikah. Terakhir adalah Intel Frengky yang merupakan ODGJ yang seringkali disebut intel karena rutin melakukan perjalanan dari rumahnya menuju pasar.
Kegiatan pengarsipan di Forum RT5 dimulai dengan eksplorasi dan pameran dari tempat bersejarah di Payakumbuh seperti Jembatan Ratapan Ibu. Irvan dan teman-teman juga melakukan open kitchen bersama ibu-ibu PKK, yang dampaknya membuat kedekatan antara ibu dan anak. Sebenarnya selain pameran ada juga jamming puisi, jadi peserta juga membuat puisi, dan memajangnya di pameran. Kemudian Akbar menanggapi bahwa sinema sebenarnya beda dengan film. Sinema sudah ada sejak lama, bisa berlangsung dimanapun. Jika ada arsip foto pun bisa dijadikan sinema. Misalnya hasil rekaman sejarah public bisa kalian pamerkan. Praktik gramatologi juga bisa dilakukan dengan menampilkan sinema. Sebenarnya menampilkan pengalaman warga bisa dijadikan pameran, tidak harus menonton film.
Sesi berikutnya ada Komunitas Sekolah Gender – yang berdiri sejak tahun 2022 yang didirikan sekumpulan pemuda yang resah dengan isu kesetaraan gender di Sumbar. Tagline komunitas ini menggugah Dani, “Gender Equity is a Human Fight not a Female Fight”. Sesi ini ditanggapi pertama oleh Aen. Dengan adanya garis keturunan ibu (matrilineal) yang ada di sumbar, kurang setara apa? Lalu apakah kasus kekerasan seksual yang diangkat hanya karena ada korban dari oknum? Menanggapi ini Icung, perwakilan Sekgen menjawab bahwa memang Sumbar atau Minangkabau pada umumnya menganut matrilineal, tapi pada praktiknya dalam pengambilan keputusan kebanyakan dilakukan niniak mamak. Bundo kanduang yang notabene limpapeh rumah nan gadang malah dinomor duakan. Untuk kekerasan seksual kita tidak menampung korban, melainkan merangkul dan mencoba menyembuhkan traumatik yang dialami korban.
Akbar juga menanggapi terkait bagian kegiatan yang mengumpulkan baju korban, pakaian yang terakhir dipakai saat terjadi kekerasan seksual. “Saya yakin tidak semua yang berpakaian terbuka yang mengalami kekerasan.” Icung menjawab bahwa memang banyak yang pakaiannya tertutup dan ada juga laki-laki, karena toksik maskulinitas yang seringkali menjadi superior dibandingkan laki-laki yang gemulai. Kasus pelecehan pada laki-laki cenderung dialami waria dan ancaman pedofil juga merupakan salah satu kasus yang banyak terjadi akhir-akhir ini.
Sesi sore juga dilanjutkan dengan beberapa komunitas lainnya, seperti Teater Balai dan Paninjauan Saiyo. Dua komunitas ini berangkat dari seni pertunjukan. Bedanya Teater Balai yang didirikan tahun 2018 ini kebanyakan diperankan oleh mahasiswa yang kuliah di jurusan teater dan memiliki markas di Bukittinggi. Teater Balai sudah sering malang melintang di dunia teater yang tampil di Taman Budaya Sumbar. Selain teater, komunita sini juga menguasai seni pantomim dan pernah diundang ke luar negeri.
Akbar kemudian bertanya dalam waktu dekat Teater Balai sedang ada project apa? Apakah ada kegiatan yg berbasis arsip? Aen selaku anggota Teater Balai dan pernah menjadi sutradara teater menanggapi bahwa sebenarnya konsep Teater Balai adalah menampilkan teater ke kehidupan masyarakat. Teater itu dulunya sebagai hiburan keluarga di rumah gadang. Namun teater kampuang baru dilaksanakan 3 kali. Kami melihat ada ingatan kolektif jaman dulu, dibaca kembali dan diadakan menjadi sebuah pertunjukan Teater. Lalu Akbar juga menimpali bahwa teater sebenarnya bisa dijadikan kegiatan arsip, seni pertunjukan di Indonesia sudah jarang dikaji. Seni merupakan ruang aman bagi siapapun, ini bisa menjadi ruang healing bagi memiliki trauma.
Sementara Paninjauan Saiyo yang diwakili oleh Riki adalah Komunitas seni di Tanah Datar yang bergerak di workshop, lapak baca, dan pemutaran film berdiri sejak tahun 2022. Eka bertanya, “untuk kegiatan lapak baca apakah berkeliling ? Justru sebenarnya hal itu menjadi arsip yang bisa dikumpulkan kawan-kawan Paninjauan Saiyo. Riki kemudian menjelaskan bahwa Nagari Paninjauan yang berada di kaki gunung Marapi terdiri dari 3 jorong. Lapak baca berusaha dihadirkan ke jorong di nagari Paninjauan. Kegiatan lapak baca masih bergilir ke rumah-rumah atau tempat terbuka.
Akbar mengapresiasi bahwa projeknya lebih ke membuka ruang buat warga, “apakah tertarik dengan workshop yang lebih dipertebal dengan kontribusi warga sekitar? Tidak hanya sekedar membuka ruang baca kepada warga tapi ada diskusi dengan warga sekitar, berbagi foto-foto terkait arsip misalnya? Kemudian Riki menjawab bahwa kegiatan mereka sempat terhenti karena pertengahan bulan tahun ini Tanah Datar mengalami bencana banjir lahar dingin, kami rencana mengumpulkan foto-foto yang dikumpulkan warga setelah bencana terjadi.
Hari semakin sore dan hujan pun kembali turun, saatnya pemaparan kolektif yang berasal dari Sumatera Utara. Kali ini dipresentasikan oleh Komunitas Ngobrol Buku yang berbasis di Kota Medan dan Titik Abdi dari Kab. Langkat. Komunitas Ngobrol Buku didirikan oleh 6 orang founder, salah satunya Eka Dalanta. Eka menjelaskan bahwa tujuan komunitas ini didirikan adalah untuk membumikan karya sastra ke hadapan khalayak umum. Komunitas Ngobrol Buku berdiri sejak 2020 dan telah menjalin kerjasama dengan beberapa stakeholder seperti akademisi, penulis, dan penerbit yang ada di Sumut maupun nasional. Setidaknya selama komunitas ini berdiri, mereka sudah membicarakan tak kurang dari 230 karya sastra. Komunitas ini rutin mengadakan aktivitas di platform Instagram, pertemuan di ruang terbuka, dan diskusi sastra secara daring.
Selain mengenalkan khazanah sastra ke masyarakat, komunitas ini berharap agar menimbulkan empati kepada pembaca dan masyarakat banyak. “Tidak harus menjadi sastrawan untuk membagikan pengalaman tentang membaca sastra”, ujar Eka sebagai alumni dari jurusan sastra. Tujuan komunitasnya juga mendorong munculnya penulis baru dan penerbit yang akan membentuk ekosistem sastra di Sumut. Kemudian pada sesi diskusi Faris menanyakan untuk praktek yang langsung bersinggungan dengan warga apa saja? Lalu Eka menjawab bahwa komunitasnya masih melakukan penjangkauan melalui platform digital.
Faris mengungkapkan bahwa membahas isi buku rasanya membuat kita merasa lebih eksklusif, praktik seperti itu apakah tidak ada keminderan yang ditimbulkan karena sastra sepertinya eksklusif di sebagian orang. “Sebenarnya ketika kami mengadakan kegiatan di kedai kopi misalnya, pengunjung yang lain juga bisa mendengarkan. Diskusinya tidak di ruang tertutup saja, tapi juga di ruang-ruang terbuka publik lainnya. Harapannya agar pengunjung bisa merasakan atmosfer sastra. Akbar juga ikut mengungkapkan bahwa sastra adalah pantulan dari kehidupan masyarakat, komunitas Ngobrol Buku bisa mengajak warga Medan untuk mengunjungi tempat-tempat yang ada di buku sastra kota Medan. Sebenarnya bisa dihubungkan dengan kalangan pegiat seni di kota Medan.
Untuk penutupan sesi simpul Sumatra ini diakhiri oleh Sandro, dari Titik Abdi, Kab. Langkat. Kolektif ini bergerak di bidang lingkungan, pendidikan, dan literasi. Titik abdi sendiri tercipta karena dulunya Sandro bekerja di NGO konservasi, dan tergerak membuka taman baca di Aras Napal. Rumah Belajar Aras Napal berada di Taman Nasional Gn. Leuser, salah satu dusun terpencil yang berbatasan dengan Aceh. Riset tentang anak-anak perbatasan, dulunya ada masyarakat Batak Karo suku Tarigan yg bermigrasi ke Aras Napal. Rencana besarnya ada dua, yakni: gambar anak-anak bisa dijadikan pameran. Diundang orangtua agar melihat karya anak-anaknya di rumah belajar. Lalu membuat project buku.
Untuk masuk ke Aras Napal, Faris mengaku juga berdoa agar tidak bertemu dengan harimau. Pada sesi diskusi Mellya bertanya apakah di Aras Napal sudah ada sekolah? Sandro mengatakan bahwa di Aras Napal hanya ada SD, jika mau melanjutkan ke SMP harus merantau ke kota kecamatan. Sandro masih melakukan perjalanan ke Aras Napal sendiri, melewati sungai dan jalanan berlumpur. Belum ada signal dan warganya bukan masyarakat adat, banyak juga warga imigran dari Jawa.
Eka menanggapi kenapa masyarakat di sana pernah mengalami konflik dengan satwa seperti gajah, harimau, dll? Bisa digali apakah mereka bisa berdampingan dengan hewan tsb? Sandro menjawab bahwa dulunya tidak ada konflik, tapi akhir-akhir ini terjadi konflik dengan harimau Sumatera. Dulu ada ritual yang dilakukan agar tidak mengganggu aktivitas warga. Akbar menambahkan, “terjadi konflik sebenarnya perkembangan masyarakat itu sendiri, apakah karena pembukaan lahan dan pembukaan jalan. Aras Napal sendiri dibuka tahun 1970, tahun 2016 terjadi banjir bandang dan awal mula masuknya listrik ke Aras Napal.
Amelia Putri
Solok, 12 Oktober 2024
Mampir ke halaman Kurun Niaga #4