Selamat Datang di Kota Solok!
Pada “fase rawat” Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2024 ini, Komunitas Gubuak Kopi dipilih sebagai salah satu hub Sumatera yang menjaring beberapa komunitas di Sumatera Barat, Riau, dan Sumatera Utara untuk diajak berkolaborasi. Fase rawat ini sejalan dengan pengembangan proyek Kurun Niaga #4 yang sedang berlangsung, sebagai upaya menjangkau dan membangun jejaring kelompok budaya lebih luas lagi, khususnya dalam produksi narasi berbasis kegiatan pengarsipan wilayah. Kurun Niaga sendiri adalah serial proyek Komunitas Gubuak Kopi, sejak tahun 2019.
Kali ini Kurun Niaga #4 bertajuk : How is the Story Told After It’s Over? Berfokus pada penceritaan dari situs kekuasaan: bagaimana dan oleh siapa sejarah dirancang. Adalah sebuah upaya untuk melihat kinerja pengarsipan yang belakangan ramai diinisiasi oleh kolektif, komunitas, pemerintah, dan institusi pendidikan lainnya. Inisiatif desentralisasi data dan dekolonialisasi ini menjadi aksi menarik untuk merebut narasi sejarah yang dibuat oleh institusi besar.
Dalam sepuluh hari kedepan, proyek ini akan memetakan model praktik pengarsipan yang diinisiasi oleh beberapa komunitas di Sumbar, Riau, dan Sumatra Utara. Sejumlah partisipan dari dari wilayah tersebut diundang untuk terlibat dalam lokakarya Kurun Niaga #4 yang diselenggarakan di Rumah Tamera Hub, Komunitas Gubuak Kopi, Kota Solok.
Hari pertama ini, Jum’at (11/10) acara dibuka oleh Albert Rahman Putra – selaku Ketua Komunitas Gubuak Kopi sekaligus Tim Fasilitator Fase Rawat PKN 2024 untuk Hub Sumatera. Tepat pukul 10.00 WIB, Albert memperkenalkan kepada peserta tentang proyek Kurun Niaga yang saat ini sudah ke-empat kalinya dilaksanakan. Kurun Niaga sendiri adalah sebuah studi tentang sejarah pertanian dan perniagaan yang berbasis arsip. Dimulai pada tahun 2019 dengan melibatkan partisipan dari beragam disiplin untuk mengkritisi arsip dan narasi yang dikelola oleh institusi besar seperti pemerintah dan kolonial. Kurun Niaga mengembangkan ide-ide dekolonialisasi, serta perebutan/penciptaan narasi yang mengedepankan perspektif warga.
Kolaborasi PKN dan Kurun Niaga #4 bertujuan untuk memperkuat jaringan antar pelaku budaya di Sumatera dalam merespon persoalan kewilayahan melalui metode seni budaya. Juga memperkuat inisiatif komunitas dalam produksi pengetahuan lokal dan praktik pengarsipan berbasis komunitas. Bentuk kegiatan ini melalui direktori pemetaan, lokakarya, presentasi publik berupa open lab dan diskusi publik, serta produksi buku digital.
Perkenalan Narasumber dan Partisipan
Sesi berikutnya perkenalan singkat dari narasumber hari pertama. Ialah Akbar Yumni, seorang peneliti independent DKJ, Jakarta. Sehari-hari berkegiatan sebagai seniman yang berkecimpung dalam kearsipan. Narasi-narasi tentang kolonial menguasai arsip di Indonesia. Akbar Yumni mengungkapkan bahwa budaya kolonial cenderung menguasai alam bawah sadar kita, umumnya jika seseorang melakukan perjalanan ke tempat baru yang dilihat pertama kali adalah alam sekitar bukan manusianya. Apakah ada tulisan dan arsip kita yang benar-benar lokalitas tanpa adanya embel-embel ujaran dari penulis asing? Bahkan pepatah “jadilah ilmu padi, makin berisi makin merunduk” yang sudah jadi local wisdom kita sehari-hari barangkali adalah pepatah kolonial. Jangan-jangan itu adalah sebuah cara untuk membungkam orang-orang kritis untuk mengemukakan pendapatnya. “Pengaruh kolonial begitu mengakar di budaya kita”, ujarnya.
Selanjutnya Akbar mempersilakan partisipan berkenalan dan mengungkapan harapan selama mengikuti lokakarya ini serta menulisnya di sebuah kertas yang kemudian ditempel di dinding. Dimulai dari : Mellya Fitri (Komunitas Gajah Maharam Fotografi, Solok), harapannya untuk menyadari pentingnya pengarsipan. Sebenarnya di Solok banyak tempat bersejarah bahkan dari segi kulinernya, termasuk cagar budaya di kota Solok. Dilanjutkan Eka Dalanta (Komunitas Ngobrol Buku, Medan) yang concern memperkenalkan sastra Indonesia ke orang banyak. Melalui kegiatan ini, Eka berharap bisa melihat bagaimana arsip yang bisa dilakukan untuk khalayak.
Lalu ada Debora Angelina/Dea (Solu – Balige writer festival, Sumut). Dea bersama teman-teman sudah mengarsipkan adat batak jaman dulu dalam bentuk buku. Balige writer festival sudah mengarsipkan beberapa tulisan ttg kota Balige dan dijadikan buku, sejauh ini masih dibukukan, berharap dalam bentuk lain bisa berpameran. Dea mengaku belum menemukan jaringan yang menganggap pengarsipan itu sangat penting. Ia ingin belajar bagaimana melakukan pengarsipan dan kembali ke daerah dengan membawa metode tersebut.
Adapun Awang (Pondok Belantara, Riau) di Riau mempunyai warisan tak benda berupa pantun. Jadi awang membuka perkenalan dengan pantun. Belantara Dibentuk tahun 2014, berangkat dari hamparan luas yang merupakan wadah untuk Belajar Tanpa Rasis (Belantara). “Rata-rata anggota kita orangnya rasis semua, baik dari kesukuan, agama, warna kulit, dll.” Di pondok mereka belajar, bermain, dan berbagi. Kebanyakan anggotanya bukan akademisi, tapi sebuah komunitas yang isinya beragam dan minoritas. Kegiatannya berupa campaign pendidikan melalui kesenian. Inginnya setelah 10 tahun mendirikan komunitas, Awang ingin menyatukan simpul organisasi yang ada di Sumatra. Pengarsipan menurut awang adalah bicara tentang masa depan.
Kemudian disambung Faris (Manual Kampar , Kab. Kampar) Eksplorasi budaya dan sosial mereka lakukan saat pandemi COVID19 2020. Berjejaring bersama Non Blok ekosistem dan belajar tentang kegiatan kolektif. Kegiatan pengarsipan yang dilakukan belum sepenuhnya tercipta dengan baik. Faris berharap dengan mengikuti Kurun Niaga bisa melakukan arsip bersama warga.
Lalu ada Irvan/Spansan (Forum Studi RT05, Payakumbuh) komunitasnya sering memutar film di ruang alternatif seperti kafe-kafe. Belajar bersama Gubuak Kopi membuat Irvan bisa melakukan praktek-praktek yang sama. Ketika pemutaran film, banyak yang tertarik dengan aktivitas Forum RT 05. Harapannya menemukan jejaring dan punya perspektif baru tentang pengarsipan.
Ada juga Diska atau Discung dari Sekolah Gender, Padang, komunitasnya berdiri karena keresahan para pendiri terhadap kurangnya perhatian kesetaraan gender di Sumbar. Discung bersyukur bisa mengikuti lokakarya dan harapannya bisa mengerti bagaimana komunitas bisa mengarsipkan kegiatannya sehingga bisa diaplikasikan di komunitas. Lalu Fauzan dari Teater Balai – Agam, menjabarkan tentang komunitasnya yang merupakan kelompok seni pertunjukan yang melakukan pementasan di beberapa tempat. Harapannya di workshop ini bisa menemukan ide-ide untuk berkarya dalam komunitas nantinya dan bisa melakukan pengarsipan juga.
Selanjutnya Dani dari komunitas Non Blok Ekosistem – Pekanbaru. Komunitasnya Berfokus pada isu ekologi di taman margasatwa. Harapannya mendapatkan hal baru seperti pertemanan dan pengalaman pengarsipan yang bisa dibagikan kembali ke masyarakat banyak di Pekanbaru. Rifki Ramadhani dari Komunitas Paninjauan Saiyo – Kab. Tanah Datar juga berharap memiliki pengalaman tentang kearsipan, harapannya bisa lebih mengenal kerja kearsipan dan berjejaring. Ditutup dengan Sandro Tobing dari Titik Abdi – Langkat, Sumatera Utara, berharap pengarsipan budaya lokal bisa dibawa ke daerah asal dan dikenal masyarakat.
Menyibak Arsip Melalui Perspektif Dekolonialisasi
Pada sesi pertama ini, Akbar mengajak partisipan untuk menyusun gagasan dan pandangan terkait pengarsipan dalam konteks sejarah publik, mengajak para partisipan mengkritisi apa itu arsip dalam konteks dekolonialisasi, apa saja yang kemudian bisa kita sebut arsip warga, dan apa itu praktik pengarsipan dalam agenda merebut/produksi narasi. Pada slide pertama, partisipan diajak mengenal keyword mengenai kata : arsip, repertoar, sejarah, gramatologi, temporal, material, reenactment, sejarah negara dan publik.
Arsip merujuk pada kata menyimpan, merekam, dokumentasi, serta kategorisasi. Seorang arsiparis atau institusi arsip memiliki kuasa untuk mengelompokkan kategori untuk diarsipkan atau dibuang. Kategori seperti daerah dan tempat asal juga merupakan bentuk pengarsipan, misalnya Teater Seblang Banyuwangi, tempatnya memang harus di Banyuwangi karena teaternya memasukkan roh nenek moyang ke tubuh pemain.
Apabila kita bercerita soal sastra, sejarah dan pelajaran sejarah di sekolah tentu berbeda. Banyak yang menyebut bahwa novel “History of Java” karya Raffles adalah sebuah pelajaran sejarah padahal ini adalah fiksi. Begitu juga dengan tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, meskipun disebut novel sastra “fiksi” tapi didalamnya terdapat fakta-fakta sejarah.
Dalam perkembangan sekarang, dunia digital selalu disebut sebagai sebuah aktivitas pengarsipan padahal digitalisasi rentan menjadi tempat arsip yang siap diedit, dihapus, dan dihilangkan. Berbeda dengan arsip di museum, yang dilindungi dan dirawat seolah-olah awet oleh waktu. Sementara pada zaman kolonial bahkan arsip identik dengan perkebunan, modusnya cenderung menciptakan pemberontakan. Sedangkan mitos bisa juga dikelompokkan menjadi arsip, karna mitos seringkali lebih kokoh daripada penyimpanan di museum.
Merujuk ke keyword selanjutnya, sejarah. Sekarang seakan-akan ada pemisahan sejarah, masa lalu, dan masa depan. “Kita gak bisa ngomongin masa depan tanpa masa lalu, pada umumnya manusia adalah makhluk sejarah, tak lepas dari apa yang sudah terjadi dan sedang berlangsung”, ungkap Akbar. Lalu Repertoar sifatnya ephemeral dan temporal. Kegiatan ini butuh akses langsung dan berulang. Repertoar juga melibatkan tubuh manusia sebagai arsip. Repertoar tidak bisa diedit karena merupakan tradisi.
Selanjutnya ada sejarah publik yang tidak terhubung dengan narasi besar, tapi lebih ke sejarah orang-orang biasa. Salah satu buku menceritakan warga biasa : Sejarah Pemberontakan Petani Banten. Bagaimana warga biasa menjadi tokoh, tidak hanya figur besar. Semen vs Samin adalah satu contoh perlawanan warga biasa melawan kekuasaan pabrik semen. Di Gunung Kendeng terdapat goa Syekh Jangkung, dan 8 goa lainnya, yang orang-orang dari Pati dan masyarakat setempat masih berziarah kesana. Dengan adanya argumen narasi seperti itu, tradisi masyarakat tidak akan bisa tergantikan oleh pabrik semen. Ada 9 situs di Gunung Kendeng yang masih relate dengan warga, sehingga perlawanan masyarakat bisa menang melawan kekuasaan.
Irvan atau yang biasa disapa Spansan kemudian sharing tentang rencana komunitasnya untuk menggarap film tentang peristiwa ayahnya yang meninggal karena serangan jantung. Namun dari perspektif warga banyak yang bilang dirasuki roh jahat. Ada yang melihat sosok nenek tua yang menemani ayahnya di ambulance. Sebagaimana peran sejarah yang menceritakan masa lalu, Irvan tertarik untuk membuat film tentang peristiwa ini.
Menanggapi hal ini, Akbar juga merespon bahwa peristiwa mistis justru bisa lebih dekat dengan warga. “Untuk menghadirkan sejarah ke masa kini, paling mudah itu dengan figure hantu”, ujarnya. Narasinya untuk positioning, bukan semata untuk hiburan. Living history sebenarnya lebih menyenangkan daripada hanya mengarsipkan dokumen-dokumen.
Kembali ke proses dekolonialisasi sebenarnya adalah sebuah kemerdekaan yang diraih Indonesia itu sendiri. Namun kolonialisme sudah mendarah daging bahkan diwariskan. Seperti birokrasi, tata kota, museum, perkebunan, dan banyak tradisi masyarakat yang sebenarnya budaya kolonial tapi menjadi budaya negara kita, seperti hal nya tari kecak di Bali.
Sementara arsip adalah asal mula, mengandung yang privasi dan publik. Kalau hanya disimpan saja, tapi tidak punya akses untuk publik bisa disebut sebuah koleksi. Sebuah dokumen atau benda yang bisa disebut arsip adalah ketika hal itu bisa diakses publik. Living history biasanya digunakan untuk narasi besar. Jarang dilakukan untuk narasi biasa.
Biasanya repertoar juga terjadi di keseharian, seperti olah TKP yang memiliki garis kuning batas polisi sebagai batas kekuasaan pelaku sejarah. Berbeda dengan gramatologi yang merupakan kajian tulisan yang selalu merujuk pada penuturnya. Selanjutnya reenactment berbeda dengan rekonstruksi sejarah, yang membuat kembali masa lalu sehingga bisa merekonstruksi masa lalu di masa kini. Sebuah pertunjukan itu juga merupakan reenactment. Sejarah tidak harus merekam semuanya, tapi bisa juga hanya berupa satu element. Reenactment bisa seperti museum tsunami yang menampilkan suara-suara reruntuhan dan badai saat tsunami terjadi. Bercerita tentang sejarah, adalah peristiwa berjalan-jalan ke masa lalu.
Pertemuan ditutup dengan penjabaran tentang dekolonialisasi dalam istilah yang merujuk pada gerakan sosial yang bertujuan melepaskan diri dari paham, pemikiran, kesusilaan yang diwarisi penjajah. Tidak ada pemahaman yang murni, semuanya pasti karna adanya percampuran pemikiran dan pengalaman.
–
Amelia Putri
Solok, 11 Oktober 2024
Mampir ke halaman Kurun Niaga #4