Memperkuat Aktor Kebudayaan Desa

Pengantar Program Daya Desa Warisan Dunia Solok dan Sawahlunto

Desa sebagai penyedia beragam sumber daya menjadi lokus yang masuk akal untuk kita tinjau dan pelajari kembali sebagai model pembangunan masa depan. Sebagai penyembuh atas pembangunan yang selama mengadopsi logika urban, yang telah merubah lanskap geografis, budaya, sosial, dan sistem ekonomi, yang bahkan mengabaikan keselamatan masa mendatang. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari model pembangunan yang selama ini terpusat dan dikelola oleh inisiatif pemodal. Wacana pembangunan berbasis komunitas (community development) dalam hal ini dapat kita lihat sebagai model alternatif untuk ditawarkan. Ia terbuka berbagai kemungkinan pendekatan dan strategi. Inisiatif dan upaya warga dalam menentukan hidup dan masa depan wilayahnya dapat kita lihat sebagai bagian dari itu (bottom-up). Warga yang selama ini dilihat sebagai pihak pasif dan yang perlu dibangun oleh pemerintah, menjadi tidak relevan lagi.

Saat ini terdapat beragam inisiatif warga yang bermunculan, mengartikulasi posisi kritisnya dan mendorong upaya perubahan konkrit bagi wilayahnya, salah satunya melalui pendekatan seni-budaya. Untuk itu menarik memperkuat inisiatif-inisiatif warga tersebut, serta memperbanyak aktornya dalam mengupayakan pembangunan di kawasannya masing-masing, di tingkat desa.

Program Daya Desa adalah upaya penguatan ekosistem budaya melalui penguatan aktor-aktor kebudayaan di pedesaan. Secara spesifik program Daya Desa Warisan Dunia ini diselenggarakan di desa atau nagari yang termasuk dalam kawasan warisan dunia “Warisan Tambang Batu Bara Ombilin”, yakni 5 nagari di Kabupaten Solok (Kacang, Tikalak, Singkarak, Sumani, Tanjung Bingkuang) dan 6 desa di Kota Sawahlunto (Silungkang Tigo, Muaro Kalaban, Rantih, Salak, Sikalang, dan Silungkang Oso). Secara historis, wilayah yang dikukuhkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia itu bukanlah sejarah kemenangan yang menarik untuk dirayakan. Ia tidak tumbuh secara organik sebagai bagian dari kebudayaan yang sedang berlangsung. Terdapat bencana kemanusian, kolonialisasi, dan eksploitasi lingkungan yang menyebabkan banyak kerugian kepada warga Solok dan Sawahlunto di masa lampau. Para peserta diharapkan tidak terjebak pada bingkaian narasi yang telah berkembang pada media massa ataupun yang disusun oleh agenda-agenda pariwisata, bahkan oleh UNESCO. Sebaliknya, para peserta dituntut untuk mampu memproduksi narasi yang berangkat dari sudut pandang mereka sebagai pelaku budaya dan warga berdaya.

Peserta diperkaya dengan materi-materi yang strategis dalam membedah persoalan kebudayaan yang relevan dalam konteks desa warisan tambang. Para peserta didorong untuk menggali beragam pengetahuan lokal bekerja mengelola, mendayagunakan, merawat keberlangsungan sumber daya alam, dan daur hidup antar sesama, serta membangun imajinasi kolektif sebagai “agenda bersama” dalam mengupayakan keselamatan di masa mendatang, melalui pendekatan seni-budaya.

Secara umum program Daya Desa yang akan berlangsung selama 4 bulan kedepan dibagi menjadi tiga tahapan: temu-kenali, pengembangan, dan pemanfaatan. Pada fase “temu-kenali”, para Daya Desa menggali narasi kebudayaan yang tersebar di kalangan warga, melakukan pemetaan potensi dan persoalan, baik itu human dan non-human, ataupun lokus dan ketersedian ekologi pendukung ekosistem kebudayaan. Pada fase “pengembangan”, para Daya Desa didorong untuk menindaklanjuti hasil pemetaan dengan melakukan kolaborasi serta meresponnya persoalan sekitar melalui pendekatan seni-budaya. Selain itu, para peserta juga menyiapkan sasaran (ruang temu) pertukaran pengetahuan dalam perluasan wacana pembangunan berbasis seni-budaya. 

Kemudian pada tahap ketiga, “pemanfaatan”, Daya Desa diharapkan dapat mengaktivasi sasaran pertukaran pengetahuan memberikan ruang bagi dialog dan pertukaran ide. Para peserta diminta untuk melakukan presentasi publik atau open lab, baik itu dalam bentuk pameran hasil temuan, penayangan film, pertunjukan, dan lainnya. Presentasi publik dirancang untuk memaparkan perkembangan proses para Daya Desa untuk publik dan membuka pelibatan warga yang lebih luas lagi. Para Daya Desa dan warga diharapkan dapat menjadi tuan rumah bagi pertukaran pengetahuan dan menjadi kawan diskusi pemangku kebijakan, dalam mengambil keputusan-keputusan terkait kebudayaan kedepannya.

Untuk mendukung capaian itu, para peserta Daya Desa dibekali kegiatan FGD lanjutan. FGD ini mempersiapkan peserta memahami kerja-kerja terkait pengarsipan dan pengembangan narasi kebudayaan desa. Melihat ragam kemungkinan arsip yang tersebar di kalangan warga (artefak, benda sehari-hari, dongeng, kuburan, arsitektur, OPK, dan lainnya), serta menyusun arsip menjadi sebuah narasi baru yang relevan dalam konteks hari ini. Peserta juga didorong memahami pengorganisasian sederhana dalam mengembangkan kerja-kerja kebudayaan. Termasuk mengembangkan metode “berembuk” sebagai pendekatan artistiknya, bertemu para aktor-aktor warga lainnya dengan mengedepankan nilai-nilai pertemanan, bertetangga, dan kegembiraan, dalam menyusun agenda bersama.  

Pada prosesnya nanti, para peserta dan fasilitator mengagendakan diskusi berkala setiap minggunya, untuk saling berbagi perkembangan dan kemungkinan pengembangan terbaru dalam memaksimalkan capaian. Menemukan dan mendapatkan gambaran estetika warga dalam penciptaan ruang pertukaran pengetahuan, mengembangkan ide-ide dekolonialisasi, dan menyiapkan keselamatan masa mendatang.


Albert Rahman Putra


Tentang Program Daya Desa
Program Daya Desa Warisan Dunia adalah upaya penguatan ekosistem kebudayaan di desa-desa kawasan warisan dunia, salah satunya di wilayah Solok-Sawahlunto. Program ini merupakan pengembangan khusus dari Program Daya Desa yang diinisasi oleh Direktoran Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Secara spesifik program kali ini diselenggarakan di desa-desa yang termasuk dalam kawasan warisan dunia, salah satunya “Warisan Tambang Batu Bara Ombilin” (WTBOS) di Solok dan Sawahlunto. Salah satu upaya penguatan ekosistem tersebut direalisasikan melalui focus group discussion (FGD) dan lokakarya penguatan aktor-aktor kebudayaan di pedesaan, sebagai bekal partisipan dalam melakukan riset 4 bulan kedepan di kampungnya masing-masing.

Program Daya Desa Warisan Dunia untuk bagian Solok dan Sawahlunto (yakni 5 desa di Kabupaten Solok: Kacang, Tikalak, Singkarak, Sumani, Tanjung Bingkuang dan 6 desa di Kota Sawahlunto: Silungkang Tigo, Muaro Kalaban, Rantih, Salak, Sikalang, dan Silungkang Oso) ini difasilitasi oleh Albert Rahman Putra. Pada kegiatan FGD ini Albert, bekerjasama dengan Komunitas Gubuak Kopi melalui platform Kurun Niaga, untuk memperkaya bagasi dan penguatan presepsi kritis mengenai warisan dunia tersebut. Para peserta diajak untuk terlibat dalam dialog mendalam dan menyusun strategi penggalian narasi kebudayaan yang tersebar di kalangan warga, melakukan pemetaan potensi dan persoalan, melakukan kolaborasi serta meresponnya melalui pendekatan seni-budaya. Selain itu, para peserta juga menyiapkan sasaran (ruang temu) pertukaran pengetahuan dalam perluasan wacana pembangunan berbasis seni-budaya.

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.