Catatan diskusi Melihat Kolektif Bekerja
Selasa, 21 Oktober 2021 Komunitas Gubuak Kopi bersama Himpunan Mahasiswa Jurusan Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang dan Gudskul Ekosistem mengadakan agenda diskusi buku Mengeja Fixer, buku ini diterbitkan oleh Yayasan Gudskul Studi Kolektif, 2021. Acara diadakan pada sore hari di pelataran pendopo jurusan Karawitan yang dihadiri oleh mahasiswa dan beberapa dosen ISI Padangpanjang, serta tamu kolektif yang berada di Sumatera Barat seperti Ladang Rupa, Kamar Kost CH, dan Komunitas Seni Belanak.
Ketika kami sampai di kampus ISI Padangpanjang, kami disambut oleh para mahasiswa yang sedang latihan tari untuk merayakan Dies Natalis ISI Padangpanjang. Sambil menunggu persiapan perlengkapan yang akan dipakai untuk diskusi nanti kami menikmati pertunjukan latihan itu. Diskusi yang dilakukan menggunakan metode hibrida, diskusi secara langsung bersama para mahasiswa dan dalam jaringan bersama Gudskul Ekosistem dan perwakilan kolektif yang berada di luar provinsi Sumatera Barat.
Mengutip dari buku Mengeja Fixer 2021: Pembacaan Kolektif Seni Indonesia dalam Sepuluh Tahun Terakhir, “FIXER adalah inisiatif penelitian untuk mengumpulkan dan mengarsipkan pengetahuan tentang model kerja dan strategi keberlanjutan kolektif seni di Indonesia.” Awalnya Fixer hanya sebatas pameran yang dikuratori oleh North Art Space yang berada di Jakarta. Kemudian hampir sepuluh tahun berlalu Gudskul Ekosistem ingin melanjutkan kerja pencatatan berkelanjutan atas dinamika kolektif seni yang ada di Indonesia, untuk memetakan dan membaca kembali berbagai perkembangan kolektif seni dalam sebelas tahun terakhir termasuk tahun ini, terutama dalam konteks strategi keberlanjutan serta gagasan dan praktik artistik kolektif seni dari berbagai generasi dan wilayah.
Agenda diskusi buku Mengeja Fixer dimoderatori oleh Aza Khiatun Nisa selaku perwakilan dari komunitas Rumah Tamera, Aza pun memulai diskusi buku dengan memberi sedikit pengantar soal program Fixer, dan dilanjutkan oleh narasumber pertama Albert Rahman Putra dari Komunitas Gubuak Kopi yang membuka pembicaraan dengan merespon salah satu judul di buku mengenai kolektif yang bekerja sebagai wadah pendidikan seni.
“Apa yang membuat komunitas menginisiasi alternatif Pendidikan seni? Apakah dengan kehadirannya ISI yang mana merupakan kampus seni yang belum bisa mengakomodir itu atau masing-masing komunitas merasa memiliki kebutuhan lain untuk publiknya?” dilanjutkan dengan Albert mengutip kalimat Sanento Yuliman bahwa, “Institusi Pendidikan seni mengutamakan sikap rasional dan ekspresi individual, sehingga melahirkan seni baru yang berjarak dengan masyarakat. Sebagai manifestasi kesadaran nasional yang harus melampaui batas-batas kedaerahan pada publik yang beragam kulturnya.”
Seperti yang kita tahu, di Universitas atau Institut lebih fokus terhadap upaya menghasilkan sebuah karya, dan bersifat mandiri. Sedangkan di dalam kolektif selain menjadi tempat alternatif untuk pendidikan seni, juga menunjukan adaptasinya dalam setiap perubahan dan terbilang aktif merespon gejala-gejala isu yang muncul di lingkungan sekitar. Maka dari itu kehadiran komunitas atau kolektif menjadi bagian responsif dari institusi seni yang kurang dalam merespon gejala-gejala yang muncul di lingkungan sekitar dan menjadi alternatif untuk Pendidikan seni yang tidak berjarak dengan masyarakat. Sejalan dengan yang dikutip Albert dari Umar Kayam, “… tetapi modernisasi terjadi di sejumlah tempat, ekspresi tradisi dan kolektif juga menunjukan daya adaptasinya dalam menyikapi perubahan.”
Selanjutnya Bang Dede dosen seni teater ISI Padangpanjang sebagai narasumber kedua memberikan tanggapan bahwasannya di masa ini fenomena tumbuhnya kolektif seni memiliki keunikan tersendiri dengan yang biasa kita ketahui sebelumnya. Gagasan berkolektif saat ini, membuat bingkai yang biasa kita sebut sebagai “seni” menjadi pecah atau mentah kembali. Yang mana dalam berkolektif, seni itu itu bebas dan lintas media, bukan sekedar seni yang biasa kita ketahui di kampus, seperti seni rupa atau seni pertunjukan. Lalu di dalam sebuah kolektif, tidak hanya menjadi tempat untuk alternatif pendidikan seni tetapi juga menjadi tempat untuk belajar hal lain seperti mengorganisir diri. Bang Dede selaku perwakilan dari institusi seni mengakui dalam kurikulum pendidikan seni Indonesia belum memiliki pengetahuan wawasan serta keterampilan untuk mengorganisir diri. Menariknya gagasan tentang mengembalikan seni menjadi institusi sosial, yang mana menjadi dasar tumbuhnya kolektif budaya dan seni, kalau di kampus seni menjadi institusi seni itu sendiri yang mana percakapannya selalu perihal artistik dan estetika.
Bentuk-bentuk kolektif seni yang tumbuh di luar kampus seni mendorong seni bercakap dengan bidang yang lain. Seperti bentuk respon teman-teman dari kolektif atas fenomena yang mereka temui di luar kampus seni. Bang Dede memberi contoh konkrit seperti yang dialami Albert sendiri, dia berasal dari lulusan Seni Karawitan ISI Padangpanjang. Albert mendirikan kolektif di Sumatera Barat, tepatnya di Solok yang bernama Komunitas Gubuak Kopi, di dalam komunitas itu Albert bermodalkan dengan seni lintas media yang mana, seni yang terdapat di dalam komunitas tersebut tidak hanya seni yang pada umumnya. Seperti, Albert mengangkat isu pertanian dalam programnya yang di dalam bisa dikembangkan menjadi beberapa aspek, dari segi pertanian itu sendiri, ekonomi, dan kesenian. Hal tersebut salah satu bentuk percakapan bagaimana estetika yang Albert pelajari di kampus seni kemudian berdialog dengan bidang-bidang yang lain, lalu juga menjelaskan bagaimana seni bisa bekerja di masyarakat, dan tidak hanya menjadi hiburan semata tetapi juga menjadi metode merespon persoalan di sekitar.
Dan dari situ para anggota yang mengisi kolektif itu sendiri tidak hanya berlatar belakang pendidikan kesenian, tapi berasal dari bermacam latar belakang. Jika merujuk pada apa yang coba definisikan oleh Bang Dede, hal tersebut dapat membedakan kolektif dengan komunitas seni yang hanya bergerak pada satu bidang kesenian yang dipilih, seperti komunitas seni teater atau komunitas seni tari. Dengan demikian kolektif ini mengembalikan seni menjadi institusi sosial, yang mana kalau di kampus institusi seni percakapannya seputar artistik dan estetika, dan kolektif mendorong seni bercakap-cakap dengan bidang yang lain.
Di akhir presentasinya, Bang Dede menekankan kepada ciri utama kolektif ada dua hal, yaitu lintas media dan kecenderungan mengutamakan produksi pengetahuan ketimbang konsumsi pengetahuan. Hal tersebut yang membuat kolektif meluaskan ranahnya maka terjadi lah lintas media, berbeda dengan di institusi seni yang hanya mengedepankan konsumsi pengetahuan. Kolektif seni budaya juga mengupayakan terciptanya ruang publik dimana seniman dapat bertemu dengan masyarakat dengan situasi egaliter dan demokratik, berbeda dengan kampus seni yang mana masih relative seperti “menara gading”, dimana kesenian terlalu tinggi sehingga apresian seni harus berurusan dengan hal-hal yang tidak masyarakat pahami. Bang Dede juga mengingatkan beberapa hal tugas kedepannya yang membuat kolektif seni budaya akan terus dinamis, pertama perkara relasi kuasa. Karena Kembali ke infrastruktur gaya kelompok 60an atau 70an, dimana ada namanya figur sentral. Ketika ada yang lebih dominan, yang lain akan merasa terancam. Hal tersebut yang akan dilawan dalam bentuk baru kolektif seni. Yang kedua sumber daya, untuk melahirkan karya-karya baru, meski tidak bergantung pada pasar.
Dilanjutkan dengan tanggapan dari Ajeng selaku perwakilan Gudskul Ekosistem yang tertarik dengan penyampaian yang disampaikan oleh kedua narasumber, tidak banyak Ajeng memberi tanggapan hanya saja sedikit menambahkan persoalan penyebutan kolektif itu sendiri. Kalau kembali pada tahun 2010 istilah yang digunakan oleh teman-teman dari Fixer adalah kelompok dan ruang seni alternatif. Hanya dirasa kurang tepat, akhirnya mereka berinisiatif membaca kembali perkembangan kelompok dan ruang seni alternatif lalu membicarakan istilah-istilah penyebutan yang tepat dan sepakat menggunakan sebutan kolektif, karena dasarnya praktik dari kolektif itu mewakili.
Selanjutnya moderator membuka sesi tanya jawab atau tanggapan lain dari para audiens. Pertanyaan pertama datang dari Ogy Wisnu selaku perwakilan dari kolektif Ladang Rupa yang berada di Bukittinggi. Ogy menanyakan persoalan banyaknya kolektif di Sumatera Barat akankah menimbulkan kompetitif di antara para kolektif? Albert menjawab pertanyaan tersebut. Menurutnya harmonis atau tidaknya antar kolektif itu memang ada, hanya dengan adanya perbedaan antar kolektif kita dapat saling bertukar ilmu dan saling memahami bagaimana cara komunitas lain bekerja, dari situ secara tidak langsung membentuk berbagai macam segmen. Seperti dalam kolektif satu ke yang lain memiliki beda pola dan tidak sesuai. Dengan itu muncul lah eksperimen baru atau cara mengelola kolektif yang ternyata bisa diadaptasi untuk kolektif lain. Albert juga berpendapat bahwa kehadiran banyak kolektif sangat membantu untuk menemukan model yang lebih efisien dalam mengelola kolektif. Hanya saja muncul pertanyaan, mengapa kita harus membuat komunitas sendiri? Kenapa tidak bergabung saja dengan yang sudah ada? Di Komunitas Gubuak Kopi pun sempat berdiskusi tentang hal tersebut, mereka melihat lagi apa yang mereka kerjakan dan perlukah ada komunitas yang menjalankan model lain, contohnya literasi media yang belum ada, untuk mengisi kekosongan yang lain.
Seperti yang dikutip oleh Bang Dede, diambil dari filosofi sapu lidi, ketika hanya satu batang lidi yang diandalkan, bisakah lidi itu bekerja semestinya? Jawabannya tentu tidak. Sama seperti kolektif, jika hanya bergantung dengan satu orang, kolektif tidak akan berjalan. Kolektif juga memiliki ciri lain yang mana unsur-unsur didalam kolektif itu berbeda-beda, diisi oleh orang yang memiliki keterampilan dan wawasan yang berbeda, menjadi munculnya kompetisi yang sehat dengan saling mengkritisi dan mendukung, justru memperkaya ekosistem antar kolektif.
Berkaitan dengan tujuan riset Fixer, selain untuk buku, juga untuk membuat jaringan yang berkelanjutan yang dinamakan Lumbung Indonesia. Di dalam program Lumbung Indonesia melibatkan dua belas kolektif sebagai yang mengawali pembicaraan dan diskusi yang dibicarakan untuk kebutuhan kolaborasi bersama. Dengan adanya Lumbung Indonesia juga sebagai upaya untuk mempertahankan kolektif yang ada.
Datang juga pertanyaan dari kolom chat sebagai penutup diskusi kali ini, mengenai bagaimana melihat dan menyikapi relasi kuasa dalam kolektif? Ciri utama sifat kolektif yaitu egaliter, dimana setiap kedudukan memiliki hak yang sama, hal tersebut yang membedakan dengan sifat komunitas kuat di masa lalu yang memiliki figur sentral di dalamnya. Yang mana membuat aktivitas grup terpaku pada figur sentral itu. Diambil dari analogi matahari, ketika matahari terbenam semua menjadi gelap. Dalam artian ketika yang menjadi sosok figur sentral itu telah tiada, segala aktivitas di dalam grup tersebut pun ikut padam. Agar hal seperti itu tidak terjadi, perlu diingat bahwa di dalam komunitas semua orang memiliki hak yang sama, kesempatan yang sama, walaupun akan ada momentum dimana memberi seseorang kekuasaan yang lebih besar. Kemudian untuk menyamaratakannya kembali, di projek selanjutnya bergantian yang memimpin. Selain itu, dari anggotanya sendiri memiliki kesadaran, mereka tidak mau terlihat dominan, begitu merasa dominan, mereka otomatis mengkritik dirinya sendiri dan memberi kesempatan untuk yang lain. Dari situ kolektif dibuat untuk mengkritik infrastruktur lama yang ada.
Akhirnya diskusi menarik tentang mengeja Buku Fixer kali ini berakhir, banyak ilmu menarik yang kita dapat dari berkolektif. Mulai dari keberagaman, antar disiplin Pendidikan yang dapat menjadi sejalan dengan bergabungnya dalam kolektif dan lain sebagainya. Akhir diskusi dilakukan foto bersama dengan para narasumber dan audiens yang telah hadir.