Kamis, 11 November 2021, Fakultas Seni Pertunjukan di ISI Padangpanjang mengadakan Pelatihan Entrepreneurship untuk kalangan mahasiswa. Audiens berasal dari mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan itu sendiri dan beberapa perwakilan dari universitas lain, seperti Universitas Andalas, Universitas Negeri Padang, dan lainnya. Kegiatan ini mengundang Komunitas Gubuak Kopi untuk berbagi pengalaman mengelola komunitas. Pada saat itu yang mewakili Komunitas Gubuak Kopi adalah Biahlil Badri dan didampingi saya sendiri, Farah Nabila.
Acara harusnya diadakan jam 9 pagi di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam, ISI Padangpanjang, tapi kami pagi itu sedikit terlambat karena memang salah memprediksi durasi perjalanan. Badri, saya, Zekal, dan Dedet pergi menemani Badri untuk mengisi workshop tersebut. Sepanjang perjalanan pak Firman selaku Dekan Fakultas terus menelpon Badri yang tak kunjung sampai di Acara itu. Pak Firman mengkhawatirkan nasib mahasiswanya yang sudah menunggu Gubuak Kopi untuk menghadiri workshop tersebut.
Setelah perjalanan yang cukup singkat karena mengejar waktu, kami sampai selamat di Kampus ISI Padang Panjang. Badri dan Farah segera menuju Gedung pertunjukan. Sesampai di depan para audiens kami menghela nafas lega dibarengi dengan rasa nervous karena hal ini merupakan pertama kalinya untuk saya duduk di hadapan banyak mahasiswa mewakili Komunitas Gubuak Kopi. Melihat wajah para audiens yang terlihat kaku, membuat kami sedikit panik, mungkin karena menunggu kami terlalu lama. Disitu Bang Hafif selaku moderator menenangkan kami untuk minum dan sedikit bersantai. Sambil beristirahat saya menyiapkan media untuk presentasi, dan muncullah masalah baru. Flashdisk yang kami siapkan untuk presentasi tertinggal di Rumah Tamera – Komunitas Gubuak Kopi, dan file nya tidak tersimpan di laptop. Dengan cepat Badri mengingat dimana file tersebut dia cadangkan, syukur sebelumnya Badri sempat mengirim bahan untuk presentasi ke salah seorang teman di Komunitas Gubuak Kopi, dan masih tersimpan di kolom chat.
Akhirnya acara bisa dimulai, Badri memperkenalkan dan menceritakan sejarah singkat tentang Gubuak Kopi dan menampilkan beberapa cuplikan kegiatan yang pernah dijalani.
Kegiatan pelatihan ini terdiri dari beberapa rangkaian materi. Untuk Komunitas Gubuak Kopi, kami diminta berbagi mengenai Ekonomi Kreatif Kolektif. Badri menjelaskan pentingnya penataan keuangan dalam berkomunitas, dan juga memberikan pandangan untuk semua, bahwa terdapat beberapa model kolektif bekerja, termasuk strategi untuk mendapatkan materinya. Bahkan dana yang disediakan pemerintah untuk berkebudayaan itu ada, jadi manfaatkanlah dengan baik dengan rutin membuat kegiatan yang berkebudayaan dan edukasi.
Di akhir sesi bicara moderator membuka kesempatan untuk audiens bertanya. Di pertanyaan pertama audiens menanyakan, “saya suka duduk berjam-jam dengan kawan-kawan, cuma, lama kelamaan, saya ingin ketika saya bersama kawan saya, kami juga dapat menghasilkan sesuatu. Sesuatu yang dapat bermanfaat untuk sekitar. Bagaimana cara memulai nya?” dan pertanyaan lainnya yang saya ingat adalah, “terkadang komunitas masih dianggap negatif oleh masyarakat sekitar atau kurang pahamnya masyarakat dengan komunitas. Bagaimana cara menyelaraskan agar kolektif dan masyarakat bisa saling berdampingan?”. Setelah pertanyaan dikumpulkan Badri baru menjawab. Badri menjelaskan satu persatu, mulai dari bagaimana memulai menghasilkan kegiatan bermanfaat di dalam tongkrongan itu sendiri.
Yang saya tangkap dari penjelasan Badri, nongkrong dan membicarakan sesuatu itu adalah permulaan yang baik. Karena memang di Komunitas Gubuak Kopi pun, nongkrong dan pertemuan-pertemuan kecil menjadi metode yang sederhana untuk memulai wacana yang lebih besar. Tapi tentu, bagaimana kemudian kita harus menindaklanjutinya, dengan terorganisir. Di luar yang disampaikan Badri, saya ingat Albert pernah menyampaikan “komunitas” itu seperti sekelompok orang yang berkumpul dengan minat dan tujuan, yang meski tidak selalu sama, tetapi sama-sama sadar memutuskan untuk berkumpul dan melakukan kegiatan. Kegiatan ini kemudian menuntut kita mengorganisir dan mengatur diri. Keteraturan ini dalam konteks tertentu adalah sesuatu yang terprogram, dan pada dasarnya cara Komunitas Gubuak Kopi mendapatkan dana adalah membangun posisi tawar dengan membuat program yang “baik”. Dalam hal ini, tidak lantas membuat program untuk menyenangkan hati pemberi dana, tetapi tetap menjalankan apa yang perlu kita lakukan, dan menggandeng banyak pihak yang kami kira punya kepentingan yang sama. Untuk itu juga diperlukan beberapa pertemuan kecil baik itu di tingkat tetangga hingga pemangku kebijakan, untuk membuat semakin banyak orang mengerti apa yang ingin kita capai.
Di pertanyaan terakhir Farah menambahkan, bahwa dalam ilmu sosiologi terdapat teori Interaksi Simbolik, yang memiliki asumsi bahwa manusia membentuk makna melalui proses komunikasi, dan juga berfokus pada pentingnya konsep diri dan persepsi yang dimiliki individu berdasarkan interaksi individu dengan individu lain. Untuk menyelaraskan antar 2 individu yang memiliki persepsi berbeda, perlu diperhatikan tujuan bersama dan faktor keberagaman.
Sebenarnya seni itu bebas, hanya saja dinding-dinding stigma yang membuat seni itu terlihat eksklusif hanya golongan tertentu yang bisa menikmati. Padahal siapa saja boleh berkesenian dan tidak ada larangan untuk seni. Di Gubuak Kopi itu sendiri dilakukan pendekatan kepada masyarakat jauh sebelum tujuan disebutkan. Kami bangun jalan untuk bersilaturahmi, tidak usah dengan pembicaraan yang berat. Buka obrolan dengan obrolan ringan yang ada di sekitar kita. Dari situ perlahan ketika rasa kekeluargaan dan pertemanan sudah muncul, lalu kita ajak perlahan untuk mengikuti rangkaian kegiatan kita atau merancang kegiatan bersama-sama. Dari situ juga warga merasa bahwa kita juga bagian dari warga.
Di sela-sela Badri berbicara Pak Firman, Pembantu Dekan Fakultas Seni Pertunjukan, bercerita dengan saya, masa-masa Albert kuliah dan awal mula ia mendirikan Komunitas Gubuak Kopi bersama teman-teman lain. Di situ Pak Firman terlihat bangga sekali dengan keberhasilan mahasiswanya dalam mendirikan komunitas yang terus berkembang sampai saat ini. Dan Pak Firman meminta tambahan untuk mengajak mahasiswanya agar mau aktif dalam berhimpun yang menghasilkan. Biasanya soal “entrepreneurship” di sini selalu diasosiasikan dengan produksi barang dan menjualnya untuk menghasilkan uang (profit). Saya tidak tahu kenapa Albert bersedia mengambil kesempatan ini, yang mana kita sebenarnya bukanlah contoh yang tepat soal itu, tapi mungkin ia ingin memperluas lagi kemungkinan dari istilah “entrepreneurship” itu.
Waktu sudah menunjukan pukul 12 yang berarti acara workshop Pelatihan Entrepreneurship Mahasiswa sudah berakhir, kami undur diri kepada para audiens yang hadir. Setelah keluar dari ruang gedung kami beristirahat sejenak di kampus ISI Padangpanjang dan melanjutkan perjalanan kembali ke Solok.